INI tentang tata nilai yang ditanamkan di dalam keluarga.
Sejak kecil sampai dewasa, saya dibekali dengan tata-nilai yang begitu kuat dan melekat. Tata nilai yang saya terima dari bapak, ibu, dan kemudian dari Kongregasi.
Bahkan sampai saya berusia lanjut pun, tata nilai itu selalu saya genggam dan tak pernah saya lepaskan. Beberapa bisa saya tulis di bawah ini.
- Selalu mengandalkan rahmat Tuhan dalam setiap saat dan peristiwa.
- Semangat peduli pada sesama.
- Gotong royong dalam keluarga dan masyarakat.
- Dalam mengalami musibah, tidak membiarkan diri terpuruk, cepat bangkit dalam iman.
- Konflik tidak dibiarkan terbuka tetapi dihadapi dengan keterbukaan hati.
- Dalam Kongregasi saya berkembang karena dicinta, diakui, dan dipercaya.
- Tugas yang tidak mudah, kadang saya rasakan sebagai “mission impossible”. Bisa terlaksana karena penyerahan diri pada bimbingan Tuhan, dukungan dan kepercayaan banyak orang.
- Hidup bahagia bersama anggota komunitas dari banyak bangsa dan kultur. Diperkaya dengan keunikan masing-masing daerah, etnis dan bangsa, meskipun kadang tidak mudah”.
BKK jadi keluarga kedua untuk selama-lamanya
Tak dapat dipungkiri, Suster Aloysia lahir dan dibesarkan dari dua keluarga besar.
- Pertama adalah keluarga kandungnya yang sampai saat terakhir berada di Desa Bejalen, Ambarawa, Jawa Tengah.
- Kedua adalah keluarga besar Kongregasi Biarawati Karya Kesehatan (BKK).
Kedua keluarga itu bersama-sama membentuk dan membangun proses kehidupan Suster Aloysia dari lahir hingga sekarang.
Tak jelas mana yang lebih dominan mewarnainya, yang pasti, lebih dari 70 tahun Suster Aloysia berada di dalam keluarga yang kedua ini.
Tak hanya itu, pertalian relasi antara Kongregasi BKK di seluruh dunia tentunya mewarnai spiritualitas Suster Aloysia.
Kongregasi Biarawati Karya Kesehatan (BKK)
Seperti apa keluarga keduanya itu?
Bicara mengenai BKK, tak bisa lepas dari Dr. Maria Anna Dengel, yang lahir di kota Tirol, Austria, tanggal 16 Maret 1892.
Mendengar di sisi lain dunia, yaitu di Rawalpindi, India, banyak wanita dan anak-anak meninggal karena adat istiadat dan agama yang melarang kaum laki-laki menolong persalinan kaum perempuan.
Anna Dengel tersentuh oleh pengalamannya sendiri bagaimana rasanya ketika kehilangan ibunya tercinta.
Itulah yang menjadi pemicu bagi Anna Dengel untuk berefleksi dan melakukan dua hal yang menarik perhatiannya.
Pertama adalah dunia medis, terutama kesehatan bagi ibu dan anak. Kedua adalah pengabdian bagi kemanusian melalui hal pertama.
Setelah melakukan pergulatan dan perjuangan yang tak kenal lelah dan menyerah, akhirnya cita-cita Anna Dengel menjadi sebuah kenyataan.
Paus Pius XI mengeluarkan dekrit yang mengizinkan lembaga-lembaga religius mengabdikan dirinya termasuk pada karya kesehatan dengan praktik medis lengkap di negara-negara misi.
Maka perkumpulan saleh yang didirikan pada tanggal 30 September 1925 resmi menjadi sebuah Kongregasi religius dengan nama Society of Catholic Medical Missions yang sekarang dikenal dengan nama Medical Mission Sisters atau dalam bahasa Indonesia Biarawati Karya Kesehatan (BKK).
Kehadiran BKK di Indonesia
Belum lama setelah Indonesia merdeka, Menteri Kesehatan Indonesia ingin mendirikan sekolah bidan di Indonesia bagian Timur.
Keinginan ini ditangkap oleh Mgr. Willekens SJ. Beliau menghubungi Biarawati Karya Kesehatan di Belanda dan mengundang para Suster BKK untuk membantu Menteri Kesehatan Indonesia mewujudkan keinginannya.
Atas undangan tersebut, Sr. Dr. Eleonore Lippits, pimpinan BKK di Belanda memutuskan mengirim lima Suster BKK Belanda ke Indonesia yang juga merupakan utusan dari Dinas kesehatan Masyarakat pemerintah Belanda untuk membantu Departemen Kesehatan Indonesia.
Lima Suster BKK misionaris pertama ke Indonesia
Tanggal 10 Maret 1947 tibalah suster-suster BKK pertama di Jakarta yaitu: Sr. Anna Kersemakers BKK, Sr. Theresia van Ham BKK, Sr. Willibroard Meijer BKK, Sr. Thecla Ruiten BKK, dan Sr. Elisabeth Hemmelder BKK.
Kelompok ini untuk sementara menumpang di komunitas Suster Carolus Borromeus, RS Carolus, Jakarta untuk proses penyesuaian makanan dan iklim di Indonesia selama tiga bulan.
Pada tanggal 5 Juni 1947, mereka berangkat ke Makasar, Sulawesi Selatan dan tinggal selama beberapa bulan bersama para Suster JMJ di Komunitas Stella Maris.
Sepuluh hari kemudian, tanggal 15 Juni 1947, mereka mulai mendirikan Sekolah Bidan Pemerintah di Makassar dengan nama Melania yang kemudian hari diganti namanya menjadi “Klinik Bersalin Sitti Fatima”.
Ini merupakan sekolah bidan pertama di Indonesia bagian Timur.
Pada tanggal 11 November 1949 menyusullah kelompok kedua dari Belanda untuk memulai pelayanan kesehatan di Solo.
Selama mempersiapkan tempat, mereka tinggal bersama para Suster OSF di Jl. Kebalen, Solo.
Setelah persiapan selesai, mereka pindah dan langsung mulai dengan klinik bersalin di Jl. Kebalen.
Tidak lama kemudian, Mgr. Soegijapranata SJ menghendaki agar para Suster mendirikan RS Katolik di kota Solo. Setelah ditemukan tempat yang sesuai, didirikanlah RS Brayat Minulya di Jl. Tagore, Solo.
Tahun 1952, Kepala Daerah Kotamadya Parepare, bersama perwakilan rakyat mengundang Suster BKK yang ada di Makassar untuk memulai suatu pelayanan kesehatan di Parepare.
Tahun 1954, pimpinan BKK mengutus Sr. Elisabeth Hemmelder BKK dan Sr. Theresia van Ham BKK untuk memulai karya kesehatan di Parepare.
Pada tanggal 1 Mei 1954, pelayanan kesehatan di Parepare diresmikan dengan pelayanan awal berupa poliklinik dan bangsal bersalin yang mengambil tempat di pastoran.
Pada tahun 1955, dibangun RS Bersalin Fatima yang kemudian berkembang menjadi RS Fatima pada tahun 1968.
Tiga puteri Indonesia jadi anggota Kongregasi pertama
Pada tanggal 21 November 1953, tiga pemudi mengetuk pintu biara BKK di Lawang -dekat kota Malang-, Jawa Timur.
Itu merupakan rumah pembinaan BKK di Indonesia. Mereka berangkat dari Solo bersama-sama, dengan tekad yang sama, untuk mengabdi sesama.
Mereka adalah Xaveria, Laetitsia, dan Aloysia.
Suster Xaveria dan Suster Letitsia sudah mendahului kita; telah berpulang ke rumah Bapa. Beristirahatlah dalam damai Tuhan.
Baca juga: 90 Tahun Sr. Aloysia BKK, Jadi Suster Biarawati tanpa Izin dan Restu Orangtua (2)
Sementara Suster Aloysia BKK masih tetap berkarya di tengah-tengah hiruk-pikuk masyarakat Indonesia yang kompleksitasnya bertambah berlipat ganda.
Perjalanan hidup Suster Aloysia sudah melanglang buana hampir ke seantero dunia. Kota-kota besar di Eropa, dijelajahinya, seperti London, Maastricht, Berlin dan Roma, sementara di Asia, Suster Aloysia tak asing dengan kota-kota di Filipina, India, dan Pakistan.
Di dalam negeri, Suster Aloysia bertugas di kota-kota di mana Kongregasi BKK berkarya, seperti Solo, Lawang, Semarang, Jakarta, Parepare, dan Makasar.
Khusus di Parepare, Suster Aloysia pernah lama bertugas di sana: selama 11 tahun. Menjabat sebagai staf direksi RS Fatima, milik Keuskupan Agung Makasar yang dikelola oleh Kongregasi BKK.
Yang pantas disebut di sini selain itu, Suster Aloysia pernah menuntut ilmu di East Asian Pastoral Institute (EAPI) di Ateneo de Manila University Campus Katipunan, Quezon City, Philipines.
EAPI adalah lembaga pastoral residensial yang dikelola oleh Ordo Jesuit.
Mereka mengadakan pelatihan pembaruan, pengkinian, sabatika, dan kepemimpinan.
Setiap semester, EAPI menampung pria dan perempuan dari berbagai belahan dunia – awam, religius dan rohaniwan – untuk hidup dan bergabung dalam program untuk pembaharuan pribadi, untuk jeda spiritual dan peninjauan hidup, untuk pengembangan dan efektivitas yang lebih besar dalam pelayanan mereka sebagai pemimpin komunitas.
Yang harus digarisbawahi adalah, program-program di sana ditujukan untuk mempertebal rasa pengabdian bagi pelayanan misi. (http://eapionline.org)
Penutup
Satu abad kurang 5 tahun. Itulah lawatan hidup Suster Aloysia. Dan selama itu pulalah hidupnya hanya untuk Tuhan, sesama dan sesama.
Saya teringat cerita Suster Aloysia saat kami menutup suatu pembicaraan di telepon beberapa hari yang lalu.
Ketika saudari-saudari komunitas di rumah biara Solo mengadakan “pesta durian”, buah tangan dari seorang sahabat, dengan nada datar Suster Aloysia mengatakan dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
Saya tak tahu apakah itu ungkapan dari pertahanan dirinya yang tak tergoyahkan:
“Aku seneng banget duren. Nanging mung mangan 3 biji. Wis cukup. Kudu ngerti batesan. Aku rak nduwe pantangan mangan, nanging kudu weruh dewe.”
Kalimat bijaksana yang membuatnya bertahan sehat dan fit sampai hampir seabad.
Ditambah pegangan hidupnya yang merujuk ke pesan Suster Anna Dengel, hingga hidupnya nyaris sempurna:
Seluruh program pengutusan kita adalah: “Biarlah terangmu bersinar di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah.”
Jika kamu melakukan itu dengan baik, kamu tidak hanya melayani sesama tetapi memuliakan Allah, dan kamu tidak perlu kuatir akan hasil-hasilnya.” Refleksi dari Matius 5:16. (Selesai)
PS: Kisah Kongregasi Suster BKK diambil dari https://apibkk.wordpress.com/mms-our-history/