MENGHADAPI para calo yang mengais rezeki lewat dengan cara memperdagangkan insan perempuan lemah merupakan hal biasa baginya.
Tubuh boleh kurus, kecil, suara memang tak sekeras gertakan para calo yang kadang kurang ramah, namun tak menjadi halangan baginya untuk menyuarakan keadilan bagi insan perempuan.
Selama tujuh tahun, suster kelahiran Temanggung di Jateng ini telah mengabdikan diri dan menyalurkan berkat ilahi dari Allah di tanah NTT.
Ini terjadi melalui karya pelayanannya yang boleh dikatakan berisiko tinggi bagi seorang perempuan yaitu melawan praktik human traficking atau perdagangan perempuan untuk menjadi TKI di negara lain secara ilegal.
Suster Laurentina PI begitulah ia biasa disapa. Saya bertemu suster biarawati Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi ini pertama kali dalam pertemuan para penggiat dan aktivis kemanusiaan untuk para korban trafficking di Makassar, Juli 2013 lalu.
Pertemuan sekilas itu telah memberi decak kagum pada saya.
Ya, awalnya saya sedikit ragu melihat penampilan fisiknya yang kurus dan kecil. Namun ternyata fisik bukanlah jaminan, karena di balik fisiknya yang kecil dan kurus, ia memiliki keberanian dan cinta yang luar biasa untuk berjuang menghadirkan keadilan bagi kaum perempuan dan keluarga korban.
Selama tujuh tahun mulai dari Atambua, Kefamenanu, dan Kupang, Sr. Laurentina PI telah menjadi ‘musafir keadilan’ dan kebenaran melalui sosialisasi dampak buruk dari trafficking di paroki-paroki.
Hal sama dia lakukan juga bagi anak-anak sekolah dan anak-anak asrama serta ia terus mendampingi keluarga atau kaum perempuan dari incaran para calo perdagangan kaum perempuan.
Menghadapi calo
Suster yang kini berdomisili di Biara PI, Nasipanaf, Kupang, NTT, ini mengisahkan bahwa tantangan terbesar dalam mendampingi para korban trafficking adalah ketika berhadapan dengan para calo.
Demikian juga berhadapan dengan instansi pemerintah terkait.
Namun tantangan itu tidak pernah menjadi penghalang baginya untuk menyuarakan keadilan dan mendampingi kaum perempuan, korban perdagangan dan para TKI asal NTT yang meninggal dunia di tempat perantauan.
Bersama mereka, ia selalu mendampingi anggota keluarga menunggu kedatangan jenasah di Bandar Udara El Tari Kupang dan mengantar hingga ke tempat tujuan.
Ia menjadi jembatan menyediakan ambulans dan kendaraan mengantar jenazah TKI hingga sampai ke tempat tujuan. Pelayanan seperti ini menjadi hal yang paling membahagiakan baginya. Jika gagal, maka itu adalah pengalaman yang menyedihkan bahkan membuatnya menangis.
Demikian ungkap suster biarawati PI lulusan S-1 Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik Widuri, Jakarta Pusat ini.
Tantangan internal Gereja
Namun yang paling menyedihkan dan justru bagi Suster Laurentina PI menjadi tantangan terberat itu justru datang dari ‘kaum berjubah’ sendiri.
Suster Laurentina PI mengisahkan bahwa masih banyak kaum berjubah di kota bersikap cuek dan tidak peduli pada salah satu persoalan terbesar di NTT yaitu human trafficking.
Jawaban yang diberikan oleh ‘kaum berjubah’ sering sangat menyakitkan dan menyedihkan, ketika diajak untuk melakukan sosialisasi, pendampingan keluarga dan korban serta aksi damai berupa doa bersama untuk para TKI yang meninggal dunia di tempat perantauan.
Kaum berjubah lainnya, entah imam diosesan maupun religius, sering mengelak diri dengan memberi jawaban, “Itu bukan kharisma tarekat atau perhatian keuskupan kami.”
Sebuah jawaban yang sangat menyakitkan. Padahal kita semua tahu, persoalan kemanusiaan dan keadilan adalah panggilan semua umat Allah untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran itu tanpa pernah berhenti pada batas kharisma tarekat atau tidak.
Meski berhadapan dengan berbagai tantangan, Suster Laurentina PI adalah satu dari sekian banyak suster yang menunjukan keberanian atas nama kemanusiaan, keadilan dan kebenaran bagi kaum perempuan di wilayah NTT.
Di saat banyak orang sibuk berteriak tenaga kerja, sibuk berkampanye soal mengatasi trafficking di wilayah NTT, Suster Laurentina PI telah melakukan itu secara berani dengan cinta yang luar biasa.
Ketika banyak kaum berjubah masih sibuk bicara soal kharisma tarekat, Suster Laurentina PI justru merombak sekat dan batas-batas. Itu lantaran kemanusiaan, keadilan dan kebenaran tidak pernah mengenal kharisma tarekat namun gerakan cinta dan nurani kemanusiaan adalah alasannya.
Sirene ambulans adalah panggilan untuk bekerja
Suara sirene ambulans di Bandara El Tari Kupang menjadi suara yang terus memanggil dan membangunkan suster di saat penghuni kota Kupang lainnya masih pulas dalam mimpi indah.
Bagi Suster Laurentina PI, pelayanannya yang berhadapan dengan para calo di arena tirani trafficking itu telah mematangkan imannya. Yakni, bahwa kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran telah menjadi perisai keberanian untuk terus berjuang meski menghadapi beratnya tantang dan risiko kematian. Namun jiwa dan cintanya telah kuat seteguh batu karang kota Kupang.
Terimakasih Suster Laurentina PI yang telah menghadirkan ‘Penyelenggaraan Ilahi’ di tanah NTT.
PS: Ditulis di Manila: Hunyo, 19 Juni 2018, atas izin Suster.
Secara pribadi saya sudah lama prihatin akan mimok dan penyakit kronis di tanah kelahiran ini. Tetap teguh Suster kita berjuang untuk tujuan yang sama dengan cara berbeda. Boleh saya dpt no atau email sr. Laurentia? Terimakasih.
Terima kasih atas teladannya, Sr.