KISAH sejarah hidup panggilan Sr. Pieta Mursijati OSF ini sangat menarik. Di usianya yang sudah sangat renta -tanggal 18 Juni 2023 lalu genap berusia 86 tahun- Sr. Pieta masih sangat canthas bicara. Memorinya juga terjaga. Ingat akan peristiwa-peristiwa masa lalu.
Kepada Ping dari Titch TV, Sr. Pieta OSF bercerita bahwa dia tertarik masuk biara antara lain karena kakak kandung pertama sudah terlebih dahulu masuk biara Suster OSF. Namanya Sr. Verenanda OSF – kini sudah meninggal dunia.
Warisan pedagogi Ki Hajar Dewantara
Ibu kandungnya dan kakak perempuan nomor dua sama-sama “diadopsi” oleh kerabat dekat keluarga mereka di Yogyakarta. Sebagai guru, ibunya sangat kental mengimplementasikan ajaran pedagogi dari Ki Hajar Dewantara.
Anggota keluarga banyak jadi religius
Ayah-ibunya punya 13 anak. Selain almarhumah Sr. Verenanda OSF dan salah satu adiknya yang pernah masuk Kongregasi Suster Santa Perawan Maria dari Amersfoort (SPM), dua adiknya juga masuk biara.
Satu orang imam adalah Romo Marga Murwanto MSF dan sang adik bungsu yang kemudian copot jubah sebagai frater dan kini sudah meninggal dunia.
Br. Dominikus Sutrisna BM meninggal karena kapal karam
Kisah menyedihkan terjadi pada Br. Dominikus Sutrisna BM, seorang religius bruder Budi Mulia.
Bersama tiga orang bruder Budi Mulia lainnya, pada tahun 1966 almarhum Br. Dominikus Sutrisna BM diutus ke Pulau Bangka untuk memulai tugas pengutusannya sebagai bruder yunior.
Mereka urung naik pesawat ke Pangkalpinang, dan karenanya memilih naik kapal menuju Bangka.
Namun tidak jauh dari perairan Pangkalpinang, kapal yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan: karam dan kemudian tenggelam.
Banyak penumpang tewas tenggelam dalam insiden kapal ini. Termasuk empat orang Bruder Budi Mulia – semuanya masih muda-muda dan masih tergolong bruder yunior.
Pengurbanan empat bruder Budi Mulia
Kisah sedih ini baru muncul ke permukaan, ketika seorang ibu -juga seorang penumpang kapal- diketahui selamat dalam insiden tersebut. Karena telah “diberi” tumpangan berupa sebuah drum berisi garam sehingga menjadikan drum itu sebagai “pelampung” yang bisa menyelamatkan nyawanya.
“Keempat bruder Budi Mulia itu sengaja memberikan drum itu agar saya -sebagai ibu rumahtangga dengan tanggungan anak- masih ada harapan bisa hidup dengan drum pelampung itu.
Sementara, kami -para bruder BM- mati ya mati, dengan tidak ada tanggungan keluarga dan anak. Kisah ini baru saya dengar dari ibu tersebut, setelah beberapa lama berhasil siuman dari ‘tidur panjangnya’ selama 50 hari,” demikian kisah Sr. Pieta OSF.
Ia berusaha membahasakan kembali testimonial ibu yang berhasil selamat hidup dalam insiden kapal tenggelam. Kisah ini terjadi, ketika empat Bruder BM itu pada akhirnya memilih mati untuk kemudian memberikan drum pelampung tersebut kepada ibu tersebut. (Berlanjut)