SIANG yang super panas itu terjadi pada tanggal 27 Desember 2016. Penulis berdua tengah berada di bawah teriknya panas matahari khas Ketapang, Kalimantan Barat.
Mampir di Biara Santo Augustinus (OSA) Ketapang
Sejenak, kami baru saja selesai mengunjungi Seminari Menengah Santo Laurensius di kawasan Payakkumang, Ketapang. Diantar oleh Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi.
Dalam perjalanan pulang menuju Wisma Keuskupan, kami berdua diajak mampir ke Biara
Kongregasi Suster-suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah atau OSA. Lokasinya tepat di jantung ‘pusat kota’ Ketapang.Hanya selemparan baru dari Kantor Bupati Kabupaten Ketapang di Jl. Jenderal Sudirman atau Paal sesuai nama jalan di zaman dulu.
Berkenalan dengan Sr. Regina OSA
Ini merupakan kunjungan kami untuk kedua kalinya ke Biara Susteran OSA Ketapang, Kalbar. Terjadi setelah empat tahun sebelumnya, penulis diam-diam diajak masuk ke kompleks residensial dan karya para Suster OSA ini.
Waktu itu, penulis sama sekali tidak “kenal” apa itu Kongregasi Suster OSA. Hanya gara-gara diajak masuk oleh Ancelmus Molly Paher.
Dalam kunjungan dadakan bersama Mgr. Pius Riana Prapdi di akhir bulan Desember 2016 itu, kami bertemu dan berkenalan sekilas dengan Pemimpin Umum Kongregasi OSA waktu itu: Sr. Ignatia OSA. Juga dengan para Suster Agustinian lainnya.
Pertemuan singkat dan hangat itu terjadi di ruang rekreasi dan ruang tamu yang luas. Lalu, secara kebetulan juga kami berdua juga bertemu dan langsung berkenalan dengan Sr. Regina OSA. Menjadi lebih akrab lagi, karena teman perjalanan kami bisa omong “bahasa ibu mereka” Tiochu.
Mengesankan dan menarik minat
Pertemuan di akhir tahun 2016 dengan suster sepuh berdarah campuran Tionghoa -Sr. Regina OSA- ini menjadi menarik atas dua hal.
Pertama, karena Sr. Regina OSA baru saja merayakan pesta emas 50 tahun hidup membiara sebagai suster biarawati Suster Augustinian tahun 2016.
Ia merayakan pesta emas hidup membiara berbarengan dengan kolega saudara OSA lainnya yang masih terbilang “tantenya” yakni Sr. Agneta OSA alias Tan Nai Loy.
Kedua, Sr. Regina OSA yang punya nama asli sebagai Heng Su Kiat ini adalah cucu
misionaris awam katolik. Ketiga misionaris awam itu datang langsung dari Daratan Tiongkok menuju Singapura untuk tujuan berdagang. Lalu kemudian, sembari berdagang, mereka juga mewartakan Kabar Gembira di Tanah Kayong atau Ketapang.
Kisah ini terjadi di tahun 1910. Baptisan pertama di antara masyarakat Dayak baru terjadi tahun 1918 di Serengkah – tidak jauh dari Tumbang Titi.
Dua fakta di atas langsung membetot perhatian kami.
Ketemu dan melakukan wawancara
Bulan Juni 2018, penulis berjumpa lagi secara intensif dengan Sr. Regina OSA di Augustinian Spirituality Center (ASC) Ketapang.
Kali ini, pertemuan dengan Sr. Regina OSA itu terjadi dalam konteks lokakarya jurnalistik bersama sejumlah suster OSA yunior.
Berikut ini kisah kecil di balik lokakarya jurnalistik bersama para suster muda OSA di ASC Ketapang, Kalbar.