PADA tahun 1958, Pastor Eduard CP berkunjung ke Meraban. Sudah pada saat itu juga, Bapak Fransiskus Li Tan Jit –sekarang masih hidup dan sudah sepuh denga usia 101 tahun—punya ide cemerlang.
Di tahun 1958 silam itu, Pak Fransiskus Li lantang mengusulkan nama Santo Yosef agar bisa dipakai sebagai santo pelindung wilayah reksa paroki Meraban. Waktu itu, wilayah Meraban boleh dikatakan masih menjadi kawasan kunjungan pastoral berkala.
Mayoritas tukang kayu
Mengapa sengaja memilih nama Santo Yosef? Demikian alasan masuk akal Pak Fransiskus Li. Itu karena sebagian besar pekerjaan umat Katolik di Meraban waktu itu adalah menjadi tukang kayu.
Di tahun 2019 ini, Pra Paroki St. Yosef Meraban genap 61 tahun. Oleh karena itu, Pra Paroki Santo Yosef baru saja mengadakan Musyawarah Pastoral bertema “Menggali Sejarah dan Spiritualitas Santo Yosef dalam Memberi Teladan kepada Umat”.
Romo Lintas dalam ceramahnya dengan semangat mengajak 54 peserta MusPar dari 10 kring dan 5 stasi untuk meneladan sikap Santo Yosef yang selalu 4M, yakni: Menjaga, Melindungi, Mendoakan, dan Menolong.
Menguatkan dan memberi harapan
MusPar Pra Paroki St. Yosef Meraban ini juga dihadiri Vikjen Keuskupan Ketapang Romo Sutadi Pr. Dalam kesempatan ini, ia menjelaskan arah gerak Gereja Keuskupan Ketapang menuju G21 dan G33.
Pada kesempatan memimpin misa syukur Hari Raya Santo Yosef, ia berbalas pantun dengan umat lokal Meraban yang berharap agar segera Meraban bisa ditingkatkan statusnya menjadi Paroki Mandiri.
“Pergi ke Meraban memakai kereta api, lanjut jalan kaki ke Ketabar. Umat Meraban hendak jadikan paroki, dimohon untuk bersabar,” demikian berbalas pantun itu terjadi di mimbar homili.
Selain itu, ia juga mengajak umat untuk beriman seperti Santo Yosef yang tetap bekerja dalam diam. Tetap setia dan tulus, tidak mudah mengeluh dan tekun dalam pekerjaan.
Misa syukur ini diikuti sekitar 500-700 umat. Setelah misa, acara berlanjut dengan makan bersama di tujuh lokasi kring dan diiringi musik pelepas lelah (MPL) oleh Grup Band dari Semandang.