INI ringkasan buah pikiran Budiman Sujatmiko dalam webinar nasional “Orang Muda dan Politik” bersama STFT Widya Sasana, Malang.
Budiman adalah seorang aktivis yang terlibat dalam peristiwa bersejarah di Indonesia, yaitu ‘Sabtu Kelabu’ tanggal 27 Juli 1996. Lalu moderatornya adalah dosen STFT Widya Sasana: Dr. Yohanes I Wayan Marianta, SVD.
Webinar ini diselenggarakan pada hari Selasa, 5 April 2022, mulai pukul 19.00 hingga 21.45 WIB.
Webinar diawali dengan perkenalan profil pembicara secara singkat oleh moderator. Kemudian dilangsungkan webinar ini dengan metode ‘semi-podcast’.
Ada begitu banyak pertanyaan yang menjadi tema dari pembicaraan dalam webinar ini.
Tema-tema tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
Motivasi gerakan politik di masa muda
Berangkat dari rasa jengkel dan marah akan keadaan yang serba tidak adil dan tidak bebas, Budiman Sujiatmiko mulai melakukan gerakan politiknya. Kondisi kenyataan hidup yang terjadi pada masa itu, secara langsung mendorong tokoh politikus muda yang gigih ini untuk melakukan gerakan politikalnya.
Jadi bukan berawal atau berangkat dari rasa keberanian. Tetapi suatu perasaan marah sekaligus kecintaannya terhadap rakyat, bangsa, dan ilmu pengetahuan.
Cinta yang besar tersebut membuatnya semakin gigih untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat yang pada masa itu sama sekali tidak diperhatikan.
Hal spesifik yang dilakukan Sujiatmiko adalah berusaha menyamaratakan keadilan ekonomi, kewenangan desa, kebebasan rakyat, hegemoni manusia. Baginya, manusia harus memperalat alam, bukan sebaliknya.
Tambahan lain yang berguna adalah manusia Indonesia perlu menjadi manusia filosofis, yaitu manusia yang analitis dan kritis terhadap keadaan manusia, terutama saat revolusi berlangsung. Dengan demikian manusia dapat kokoh bertahan sebagai manusia yang integral dan tidak terpengarruh dengan hasutan sesat.
Filsafat bagi orang muda belum usang, terutama etika. Tak lupa juga spiritualitas yang berperan sebagai penyokong filosofis insani.
Sujatmiko menekankan agar orang muda Indonesia masa kini punya kemarahan yang sehat sebagai modal pergerakan untuk melakukan sebuah perubahan.
Kemarahan ini bersifat operasional. Artinya harus ada tindakan nyata bukan kemarahan verbal semata.
Menuju 100 Tahun Indonesia
Budiaman Sujatmiko berpendapat bahwa di tahun 2045 di mana Indonesia genap berumur satu abad, dunia akan menghadapi suatu kenyataan yang disebut dengan ‘era singularitas’.
Hal ini terjadi atas dukungan dari kemajuan teknologi dan rekayasa genetika. Pada era ini segala sesuatu, termasuk manusia berfusi ke dalam suatu rupa yang kompleks. Di saat yang sama, manusia global akan berusaha untuk menemukan sesuatu yang bersifat plural.
Pada saat ini juga, Indonesia menjadi ‘oase’ di padang gurun mayapada.
Maka dari itu, pluralitas dan keanekaragaman di Indonesia harus dijaga dan dilestarikan. Keanekaragaman itu dapat dilihat dalam keberagaman sumber daya alam dan sumber daya manusia dari Sabang sampai Merauke.
Masukan lain dari Sujatmiko berupa cita-citanya bagi manusia Indonesia; manusia Indonesia harus bebas, setara, maju, berdaulat, dan lestari.
Hal lain yang menjadi tekanan tersendiri adalah; pengetahuan tentang bahasa (lokal-internasional), ilmu sejarah, filsafat untuk membentuk pribadi, teknologi, dan komputer sebagai keterampilan unggulan zaman ini.
Sebagai generasi penerus bangsa, orang muda harus berani berimajinasi.
Berimajinasi yang dimaksud adalah membuat atau mendesain zaman. Tidak hanya beradaptasi dan melakukan antisipasi saja, tetapi perlu membuat dan menciptakan suatu peradaban yang unggul demi kemajuan bangsa.
Pada bagian ini orang muda Indonesia harus memiliki kreativitas dalam berbagai aspek kehidupan terutama ekonomi dan politik. Dengan ekonomi dan politik yang baik, Indonesia dapat mencapai kesejahteraan nasional.
Pendidikan di Indonesia
Berdasarkan sebuah pertanyaan dari seorang peserta webinar, Budiman mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia harus membentuk karakter manusia yang analitikal, bukan referensial.
Hal ini berarti bahwa dengan ilmu yang didapat dari bangku pendidikan, seseorang harus memanfaatkan ilmu tersebut untuk melakukan suatu kreasi, temuan, serta penciptaan sesuatu yang baru.
Ilmu yang dimiliki bukan dijadikan sebagai referensi sebab dengan demikian ilmu itu bersifat pasif dan nirfaedah.
Kemudian, cara belajar yang baik adalah tentang bagaimana cara berpikir, bukan apa isi pikiran. Memang benar bahwa kita belajar dari isi pikiran para cendekiawan. T
etapi tidak boleh berhenti di situ. Manusia Indonesia harus mengetahui ‘bagaimana seorang cendekiawan mampu berilmu seperti demikian’.
Cara belajar seperti ini dinilai sangat efektif bagi perkembangan nalar generasi masa depan Indonesia.
Terakhir tentang pelajaran yang pada hakikatnya pelajaran formal harus membentuk pribadi yang humanis, bukan herois dengan demikian kehidupan manusia dijamin lestari selamanya.