BAcaan PERmenungan hariAN: Kamis, 3 Juni 2021
Bacaan:
- Tb 6: 10-11, 7: 1,6,8-13, 8: 1, 5.
- Mrk. 12: 28b-34.
SESUATU yang berharga, mulia dan penting pasti dijaga dan dirawat. Tak ada satu pun yang dapat merongrongnya.
Seorang Farisi ingin mendapat penegasan dari Yesus, apa yang terpenting dalam hidup.
Hidup yang mendatangkan keselamatan. Hidup yang berada dalam pelukan belas kasih Allah. Hidup yang tidak jauh dari ajaran kasih dan Kerajaann Allah Bapa-Nya.
Penegasan Yesus menyadarkan. Bahkan kekuatan berproses dengan kemurniaan hati dalam Roh. Bdk Yoh. 16: 4b-15.
Yesus berkata, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah.” ay 34.
Bukankah hidup lebih berharga dari segalanya. Yang lain dapat dicari, diusahakan, dimiliki. Tetapi hidup dianugerahkan.
Tak mau yang lain
“Pastor, kenapa saya tidak bisa melupakan isteri saya?”
“Saya sedih, Pastor. Hidup saya seakan-akan kacau. Saya begitu mengasihi dia. Saya selalu teringat. Semua kejadian bersama dia selalu saya ingat. Dan saya akhirnya lumpuh, tidak bisa apa-apa tanpa dia,” keluh seorang bapak.
“Di mana isterimu sekarang?,” tanyaku melihat suasana sepi.
“Sudah meninggal Romo, 20 tahun yang lalu,” jawabnya sendu banget.
“Oh, sudah lama juga ya. Tidak ingin mencari penggantinyakah?,” tanyaku sedikit kepo.
“Itu soalnya, Pastor. Anak sudah berkeluarga. Secara fisik sudah bebas. Tidak ada tanggungan lagi. Secara naluri, saya ingin mencari penggantinya, mengisi kekosongan batin, bahkan kesepian saya.
Dulu, kami selalu bersama-sama. Banyak hal yang menggembirakan. Begitu banyak kenangan indah. Sekarang sedih, pilu.
Saya ingin dia kembali. Saya menyesal dan selalu bertanya, Tuhan kenapa dia Kau panggil. Saya tidak kuat. Saya tidak siap.
Hati saya sedih. Pedih.
Saya mengalami ketegangan fisik, emosi, psikis. Kalau saya masuk kamar, saya selalu ingat isteri saya. Tergiang apa yang pernah kami bicarakan, lakukan; bahkan pertengkaran-pertengkaran.
Saat-saat seperti itu, saya sungguh ingin memeluknya. Saya ingin mendengar lagi kata-katanya, merasakan kemanjaannya.
Tidak bisa lagi. Ia sudah meninggal.”
“Setiap memandang fotonya, saya hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Sesak dada ini, Pastor. Saya selalu berkata, ‘Tuhan ambil nyawaku. Aku ingin bersama isteriku lagi’.”
“Kenapa tidak tinggal dengan anak-anak?”
“Tidak Romo. Mereka sudah berkeluarga. Saya tidak mau menjadi beban. Siapa tahu, lama-lama saya tidak menyenangkan mereka. Anak, menantu, cucu kami semua baik.
Mereka berkali-kali meminta saya bergabung.”
“Begitu banyak kenangan di rumah ini. Atau mencari pengganti?”
“Maunya sih mau, Pastor. Tetapi hati saya tidak bisa. Saya tidak bisa menurunkan foto itu.”
Jarinya menunjuk foto almarhumah isterinya yang masih terpajang di dinding. Menangis tersedu.
“Saya tidak bisa melupakan. Belum tentu orang lain bisa menggantikannya. Saya sedih. Saya tegang. Saya tidak mau menghianati isteri saya.”
“Ini kan bukan soal mengkhianati. Soal kehidupan yang terus harus berjalan. Bersama membangun relasi, mengalami lagi kebaikan dan kegembiraan hidup,” kataku meneguhkan.
Dia tetap saja masih menangis
“Doakan saya, Pastor. Terhindar dari pencobaan. Saya tidak mau menyedihkan hati isteri saya. Kendati sudah almarhum, saya tetap mencintainya, selamanya. Semua kini hanya kenangan. Doakan saya, Pastor.”
Ia memandang foto almarhum istrinya dan menangis lagi.
“Setelah menderita dan berjuang bersama, pasangan suami-istri mampu mengalami bahwa pengalaman itu sungguh berharga, sebab mereka mendapatkan beberapa kebaikan, belajar sesuatu sebagai pasangan, atau mereka dapat semakin menghargai apa yang mereka miliki.” Lih. Amoris Laetitia no 130.
Tuhan, teguhkan hidupku dalam kesendirian. Bersama-Mu menapaki jalan kesunyian. Amin.