BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Rabu, 9 Maret 2022.
Tema: Jalan Lurus.
Bacaan
- Yun. 3: 1-10.
- Lk. 11: 29-32.
KEAGUNGAN dan keindahan hidup sebagai manusia terletak pada kesadaran bahwa dirinya diciptakan dengan segala kelebihan dan kelemahan.
Ada yang menarik dan mengagumkan. Ia diberi sebuah hati. Hati yang mampu memahami, yang dijernihkan oleh akal budi.
Hati yang peka dalam terang suara hati. Hati yang suci yang dinaungi Sang Ilahi.
Hati yang berjuang memutuskan mana yang baik atau sebaliknya; menggerakkan langkah; memantapkan tekad.
Dan di atas semua itu, ia diberi kesadaran untuk tetap berjalan pada kebenaran-Nya sebagai mercusuar hidup.
“Romo, Papa sakit dan lumpuh.”
“Mak glegar hati ini. Betul? Sudah berapa lama?”
“Ada 10 tahun ini Romo.”
“Sejak Romo pindah. Terakhir kita bertemu kira-kira 11 tahun yang lalu.”
“Bagaimana bisa?”
“Ya nggak tahu Romo. Tiba-tiba jatuh dan akhirnya stroke. Kini terbaring kaku dan tidak bisa apa-apa. Matanya pun sulit tertutup. Kesadarannya hilang. Tidak mengingat siapa pun.
Minta doanya ya, Mo.”
Teringat pada seorang sosok yang bagi saya baik, perhatian, care dan bersedia siap untuk apa yang saya butuhkan dalam pelayanan sebagai imam.
Saya ingat. Keluarga inilah yang pertama kali memberi bingkisan Natal kepada anak-anak. Saya baru di paroki itu. Ia tidak ingin namanya diketahui. Mereka siapkan sendiri. Dan akan dikirim ke paroki beberapa hari sebelumnya.
Saya pun tidak tahu, tetapi ada dorongan untuk mengetahui siapa.
Saat itu belum begitu kenal dan dekat.
Selang beberapa lama, keluarga ini mengajak kami makan malam bersama. Semua romo pun ikut serta.
Dari hasil pembicaraan dan kebersamaan, saya merasa betapa keluarga ini rukun, baik dan sangat mendukung kerasulan kami sebagai imam.
“Romo kalau butuh apa-apam jangan sungkan menghubungi kami. Kami akan membantu dengan senang hati. Kami akan mengusahakannya, Romo,” kata sang ayah.
Isterinya pun pintar masak. Kalau giliran, mereka memberi dhaharan romo, saya ingat tidak pernah beli di restoran. Selalu masak sendiri.
“Sekarang keadaannya gimana?”
“Ya begitulah,” kata isterinya.
“Saya juga tidak tahu kenapa ini terjadi pada kami. Kami tidak bisa buat apa-apa. Hanya pasrah dan berdoa. Kalau pagi sampai sore bibi yang merawat. Sore, sepulang dari toko, kami mengambil alih.
Sudah tidak bisa diajak berkomunikasi, Romo.”
Suatu saat saya mengunjunginya. Betul, apa yang diceritakan. Untung ada bibi yang merawatnya baik dan telaten.
“Bagaimana keseharian bapak Bik?”
“Ya, begitulah Bapak Pastor.”
“Sudah biasa merawat mereka yang sakit demikiankah?”
“Sudah Bapak Pastor. Sebelumnya, saya merawat seorang opa hampir lebih dari 13 tahun. Opa meninggal. Saya diminta untuk mengurus bapak.”
“Sudah berapa lama Bik?”
“Baru jalan sembilan tahun.”
“Bibi punya pengalaman apa yang menarik?”
“Apa ya? Saya merawat seperti biasa. Saya gembira aja bisa merawat pasien khusus. Bukan karena upah. Tetapi saya dapat menemani keluarga ini.
Saya melakukan pekerjaan dalam berdoa agar Allah meringankan bebannya. Bahkan secepatnya dipanggil. Kasihan.
Saya selalu sholat di dekat bapak. Supaya bapak juga berdoa sesuai imannya. Kadang saya buatkan tanda salib. Matanya berkaca-kaca.”
“Oh, baik itu Bik. Bapak dulu rajin dan aktif di gereja. Keluarga ini baik dan sangat mendukung kegiatan gereja. Selalu siap mengantar, bahkan menawarkan bantuan yang tidak kami pikirkan.”
Ada beberapa kali bapak matanya tajam melihat ke arah jendela. Tiba-tiba memalingkan kepala dan tidak melihat lagi.
Saya pun mengamati jendela dan berdoa. Kadang sedikit merinding. Tapi tetap saja saya tatap jendela itu.
Saya bilang ke bapak, “Doa Pak. Jangan takut.”
Saya betulkan kalung rosarionya.
Saya berdoa dan memberi Sakramen Minyak Suci. Beberapa hari kemudian, Tuhan akhirnya datang menjemput-Nya.
Ketidakberdayaan adalah bagian dari kemanusiaan. Hanya belas kasih Tuhanlah yang dibutuhkan.
Tertera dalam Injil hari ini, “Sesungguhnya yang ada di sini lebih dari pada Yunus.” ay 32c.
Tuhan, sekalipun aku dalam kegelapan, biarlah sinar-Mu menuntun hidupku. Amin.