Jumat 19 Januari 2024
- 1 Samuel 24:3-21.
- Mzm 57:2.3-4.6.11.
- Markus 3:13-19.
DALAM hidup, sering terjadi pergumulan antara otak dan hati kita. Pikiran mengatakan sesuatu, tetapi hati menginginkan sesuatu yang lain.
Banyak orang yang dituntut keberaniannya untuk mengikuti panggilan hatinya sampai mencapai tujuan kehidupan ini. Memang, tak mudah untuk selalu menuruti kata hati. Ada beragam hal yang membuat kita bimbang. Juga, mungkin kita tidak memiliki keberanian untuk menanggung risikonya.
Belum lagi, jika kata hati kita itu bertentangan dengan kehendak atau pendapat orang-orang di sekitar kita. Kita mungkin akan makin ragu. Namun, tidak ada yang salah dengan menuruti kata hati kita. Kita akan belajar banyak hal, begitu kita melakukan apa yang menjadi kata hati kita.
“Panggilanku sebagai seorang imam diawali oleh sebuah keterpesonaan,” kata seorang sahabat.
“Pengalaman batin saya diawali ketika saya berziarah ke Gua Maria Sriningsih,” ujarnya. “Kejadian saat itu membuatku ingin berbakti pada Gereja dengan menjadi pelayan Tuhan,” lanjutnya.
“Saat itu, jalan menuju gua Maria belum semudah dan sebaik sekarang, pada misa malam itu saya melihat romo yang tertatih-tatih naik ke bukit tempat Gua Maria Sriningsih dan setelah sejenak istirahat kemudian mempersembahkan misa,” kisahnya.
“Wajahnya nampak begitu tenang dan sangat senang dengan pelayanannya itu;” sambungnya.
“Sepanjang perayaan Ekaristi itu, hati saya terpesona dan bergejolak hingga muncul suara halus, mengapa kamu tidak berbakti seperti romo itu,” paparnya.
“Sejak peristiwa itu, ada keinginan untuk tahu tentang romo dan mencari jalan untuk menjadi romo, namun belum berani mengungkapkan kepada siapa pun,” urainya.
“Hingga suatu hari saya mendaftar ke seminari dan diterima, saya memberi tahu orang tua dan saudaraku, mereka tidak habis pikir bagaimana saya memilih panggilan hidup itu, padahal sebagai seorang anak saya termasuk anak yang bandel,” ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,”Kemudian naiklah Yesus ke atas bukit. Ia memanggil orang-orang
yang dikehendaki-Nya dan merekapun datang kepada-Nya.”
Yesus memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya. Ia tidak membatasi pilihannya pada kelompok tertentu saja. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Mereka yang dipanggil perlu merespons dengan datang kepada-Nya.
Panggilan seseorang untuk mengikuti rancangan Tuhan sering kali lahir dari kehendak Tuhan sendiri.
Ia sendirilah yang memilih orang-orang yang dikehendaki-Nya. Namun, manusia pun memiliki kebebasan untuk mengatakan ‘ya’ atau menjawab ‘tidak’ atas tawaran panggilan dari Allah. Sebab, panggilan dari Allah tak pernah berarti sebuah pemaksaan.
Setiap orang yang serius pasti menjawab panggilan Tuhan untuk melayani dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Panggilan Tuhan itu khas dan menyentuh relung hati kita. Suara Tuhan mungkin tidak sejelas yang kita dengar dalam Kitab Suci saat Tuhan memanggil para nabi, namun suara Tuhan itu lembut menyentuh hati kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mendengar dan mengikuti suara panggilan Tuhan dalam hatiku?