Sudah 70 Th Karya Misi Kongregasi Suster OSA, Masih Berani Keluar dari Zona Nyaman (5)

0
373 views
Sewaktu masih muda dan pernah menjadi Pemimpin Umum Kongregasi OSA Sr. Lucia Wahyu juga sudah biasa melakukan turne ke pedalaman dengan naik sepeda motor; berani keluar dari zona nyaman di biara menuju ke "pasar" (Dok. OSA).

PARA sahabat terkasih.

Sejarah kisah misi Kongregasi OSA di Indonesia kurun waktu selama 70  tahun ini mengantar kita pada pemahaman penting sebagai berikut. Yakni, bahwa untuk bisa dan berani keluar dari:

  • kenyamanan diri;
  • zona kenyamanan rumah atau komunitas itu bukan perkara gampang.

Berani keluar dari kondisi di mana kita telah merasa nyaman tinggal di sebuah daerah atau negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi itu sungguh tidak mudah.

Namun benarlah kata Yesus: “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, itu mungkin bagi Allah.”

Melihat kiprah para suster OSA perintis pada masa itu di Tanah Misi (baca: Keuskupan Ketapang) akan bisa membuka cakrawala baru bagi kita bahwa inilah sesungguhnya makna semangat “Duc in Altum.”

Itulah keberanian diri untuk melangkah keluar, lebih jauh, lebih dalam, ke dalam suatu ragam hidup dan lingkup budaya baru yang lain sama sekali, masuk ke dalam sebuah pola hidup yang jauh dari modern, sangat alami, sangat terbatas.

Melanjutkan karya misionaris perintis

Situasi baru ini membutuhkan sentuhan hati, tatapan persaudaraan, senyum keikhlasan, sentuhan fisik yang membangun, mendidik, menyembuhkan.

Itulah jala kemanusiaan yang dibawa para suster perintis OSA dari Negeri Belanda ke Tanah Misi (baca: Keuskupan Ketapang di Kalbar) yang kemudian berkembang dan seterusnya dilanjutkan oleh para suster OSA lokal asal Indonesia hingga saat ini.

Sangat tepat bahwa para saudara dan saudari OSA ini membawa serta dalam perjalanan misi mereka sebuah semboyan yang meneguhkan yakni “Cor Unum et Anima Una in Deum” yang berarti  “Sehati dan Sejiwa Menuju Tuhan.”

St. Augustinus sungguh menyadari bahwa perjalanan bersama ini harus dilandasi dengan cinta kasih, persaudaraan sejati dan kebenaran iman.

Komunitas sungguh menjadi pusat kehidupan bersama.nItu karena dari sanalah, karya kasih keluar itu sungguh dapat dirasakan sebagai karya persaudaraan.

Ini agar tidak ada saudara atau saudari yang boleh tinggi hati dan berbangga diri karena dapat melakukan sesuatu seolah-olah tanpa bantuan orang lain dan terutama bantuan ilahi dari Allah sendiri.

Konteks kekinian

Bagaimana kita mau memaknai hidup dan perjalanan serta perjuangan kita dalam konteks dunia kita yang serba maju dan sulit dibendung ini?

Tadi dalam konteks misi, para misionaris itu rela meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus –termasuk melepaskan segala keterikatan dengan keluarga, komunitas, pekerjaan sebelumnya, impian-impiannya—serta melangkah dengan pasti untuk tugas pelayanan yang total demi Gereja Kristus.

Lalu bagaimana dengan kita dalam konteks kekinian?

Berkaitan dengan tema perayaan 70 tahun ini, bagaimana kita memberi bobot pada perjalanan hidup kita saat ini?

Harapannya adalah  agar kelak semua itu menjadi catatan sejarah yang manis, karena kita telah berani “bertolak lebih dalam” untuk menemukan makna terdalam dari setiap proses yang kita alami.

Kisah masa silam

Saya masih ingat cerita dari beberapa pastor misionaris mengenai tugas pengutusan mereka.

Mereka mengatakan begini: di zaman kami, ketika akan ditugaskan tidak ditanyakan lebih dulu mau tugas di mana, mau fasilitas apa, tetapi hanya dengan surat kecil yang diletakkan di meja yang isinya siapkan barang dan besok berangkat ke tempat ini atau itu.

Unsur ketaatan sangat dibutuhkan di sini. Tidak ada tawar-menawar, yang ada hanyalah siap sedia entah waktunya baik ataupun tidak baik, “Karena mewartakan injil itu sebuah keharusan bagiku,” demikian menurut Santo Paulus.

Sewaktu muda, Sr. Lucia Wahyu OSA juga sudah biasa terjun ke lapangan untuk turne.
“Seragam tempur” para suster OSA di kala melakukan turne ke pedalaman dengan naik sepeda motor: bercelana panjang hitam agar tidak terlalu tampak bila kotor oleh cipratan lumpur. Itulah yang dilakukan Sr. Elisa Petra OSA yang harus menempuh perjalanan sejauh 3-4 jam dari Tanjung menuju Air Upas, Juli 2018. (Mathias Hariyadi)

Menolak tugas pengutusan

Dalam konteks hidup bakti, kisah misionaris zaman silam itu tadi tentu akan mendapat tanggapan berbeda bila terjadi dengan sebagian imam atau biarawan-biarawati zaman sekarang.

Mungkin saja orang yang mau ditugaskan menolak karena tidak siap, atau rekan kerjanya tidak cocok, atau karena tidak ada mobil, tidak ada jaringan internet, tidak ada signal untuk telpon atau sms, dan seterusnya.

Ada banyak alasan bisa dibuat untuk mempertegas penolakan dia terhadap tugas perutusan yang diberikan oleh komunitas. Atau ada yang karena terlalu nyaman tugas di satu tempat/unit kerja sehingga ketika akan dipindah, merasa seakan dunianya akan runtuh, kerajaannya goyah dan lain sebagainya.

Kondisi riil wilayah reksa pastoral yang diampu oleh Keuskupan Ketapang di Kalbar di mana para suster OSA selalu dan di mana-mana juga sering ikut “mencicipi” tantangan medan pastoral di lapangan seperti ini. (Dok Sr. Elisa Petra OSA)
Jalanan becek di kala hujan dengan banyak kobangan lumpur pekat di musim hujan, tapi jalanan penuh lautan debu di musim kemarau. (Dok. Sr. Elisa Petra OSA).
Jalan setapak menuju kawasan perkampungan di mana Sr. Elisa Petra OSA sebagai bidan profesional sering datang membantu proses persalinan.
Tantangan medan pastoral itu sangat riil di wilayah Keuskupan Ketapang di Kalbar: jalanan sepi, penuh jebakan “Batman” berupa kobangan penuh lumpur pekat yang bisa membuat selip roda kendaraan. (Sr. Elisa Petra OSA)
Melawan rasa malas menjadi tantangan tersendiri bagi para imam, bruder, dan suster dalam menjalankan reksa pastoral dan layanan kesehatan serta pendidikan di pedalaman Keuskupan Ketapang, Kalbar. (Sr. Elisa Petra OSA)
Inilah medan yang setiap kali dihadapi Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi dan para imam serta para suster yang berkarya di wilayah Keuskupan Ketapang,  setiap kali mereka keluar pastoran dan biara untuk melakukan bertemu umat di kawasan hulu atau pedalaman melalui programturne ke paroki-paroki di luar Kota Ketapang. (Sr. Elisa Petra OSA)

Dalam konteks dunia pendidikan misalnya, ada guru-guru yang ketika mencari pekerjaan dan melamar sebagai PNS dan diterima begitu bersemangat, tetapi ketika diberi SK tugas di kampung, di pedalaman tidak bersedia untuk berangkat karena jauh, sudah nyaman di kota, takut kotor kena lumpur, tidak mau susah, merasa tidak cocok kalau ditugaskan di kampung karena lebih cocok di kota, dsb.

Ref: Augustinian nuns on bikes and boats to help youth and infants in W Kalimantan (video-photos)

Tantangan di zaman sekarang

Hal yang sama bisa terjadi dalam dunia kerja yang lain, misalnya dalam dunia kesehatan, pemerintahan. Ada ketakutan bertolak lebih dalam, takut keluar dari zona nyaman yang sudah ada selama ini.

Dalam konteks hidup pelajar?

Idealnya dengan kecanggihan iptek, maka daya juang dan semangat belajar yang kreatif menjadi pola yang efektif untuk lebih maju dan berkualitas.

Tetapi nyatanya anak tidak mau diarahkan oleh guru, tugas-tugas yang diberikan guru diabaikan tanpa rasa bersalah, mau sekolah dengan syarat yang membebani orangtua, tidak tahan hidup dalam pembinaan yang ketat dan disiplin.

Uang yang dikirim orangtua habis dipakai untuk membeli pulsa data, bermain game dan pacaran daripada untuk membayar les tambahan, membeli kelengkapan sekolah dan sebainya.

Di manakah nilai dan semangat  “Duc in Altum” dalam keseharian para pelajar?

Anggota Dewan Pimpinan Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) Provinsi Indonesia: kurun waktu 1977-1983. (Dok OSA)
Anggota Dewan Pimpinan Umum Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) Provinsi Indonesia: kurun waktu tahun 1990-1996. (Dok OSA)

Harapan kemuridan

Rekan-rekan orang muda yang terkasih,

Kita telah membahas tema ‘panggilan para murid’ dengan melihat sikap Petrus dan kawan-kawannya, kira-kira menjadi murid itu seperti apa? Atau, apa yang diharapkan dari seorang murid?

  • Murid itu ciri khasnya adalah belajar, maka yang diharapkan sudah tentu adalah orang yang mau selalu berguru/belajar dari Sang Guru.
  • Orang yang dalam proses belajar biasanya taat, setia, maka yang diharapkan adalah sikap ketaatan dan kesetiaan kita untuk belajar pada Sang Guru Utama yakni Yesus Kristus.
  • Ciri lain yang muncul dalam diri seorang murid adalah rendah hati, maka untuk dapat memperoleh banyak ilmu pengetahuan serta iman yang kokoh diharapkan sikap terbuka dan rendah hati, tidak malu bertanya atau minta petunjuk pada Sang Guru.
  • Murid itu tidak hanya melihat dan mendengar, tetapi juga menjadi saksi, maka sungguh diharapkan bahwa sesudah proses belajar kita, kita dapat menjadi saksi kebenaran cinta Tuhan kepada dunia.
Anggota Dewan Pimpinan Umum Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah Provinsi Indonesia: kurun waktu tahun 2002-2007. (Dok OSA)
Anggota Dewan Pimpinan Umum Kongregasi Suster Santo Augustinus Provinsi Indonesia: kurun waktu tahun 2007-2012. (Dok OSA)

Ayo tetap semangat

Mari rekan-rekan muda yang baik:

  • Jadilah Orang Muda Katolik yang hebat yang berani untuk bertolak lebih jauh ke dalam.
  • Jangan berpuas diri dengan yang dangkal saja.

Itu  karena Tuhan telah dan selalu menyediakan bagi kita  banyak rahmat,  asal kita berani dan mau menolakkan perahu iman, harapan, dan cinta kita lebih dalam.

Juga bila jala kemanusiaan itu kita lemparkan, niscaya kita akan menangkap sangat banyak orang untuk kembali dan lebih dekat dengan Tuhan.

Audaces fortuna iuvat

Akhir kata, inilah perkataan Vergilius yang mengatakan: “Audaces fortuna iuvat” yang artinya “nasib baik menolong mereka yang berani” .

Ingat juga kata-kata Santo Augustinus:

Seorang Kristen bukanlah yang menaklukkan Kristus, melainkan yang ditaklukkan Kristus. Biarkan Dia menaklukan di dalam engkau; biarkan Dia menaklukkan untuk engkau; biarkan Dia menaklukkan engkau.”

Sekian dan terima kasih.
In Deum: Ketapang, 7 Maret 2019

Romo John Richard Yempormase OSA
(Bersambung)

“Duc in Altum”, Semangat Perayaan 70 Th Karya Misi Suster Augustinian (OSA) di Indonesia (4)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here