@pmsusbandono
13 November2020
“Ciri orang Katolik pelit: Ikut misa live streaming. Pas kolekte, komputer dimatikan”. (Dari laman FB Almarhum Romo Romualdus Maryono S.J.)
Suatu kisah berlokasi di Gereja Santo Yosef, yang dikenal sebagai Gereja Gedangan, Jalan Gedangan Semarang, sekian puluh tahun lampau.
Saat itu, tanggal 22 Juni 1955, bayi kecil laki-laki, berkulit gelap sawo matang, usia 7 hari, dipermandikan di sana.
Entah Romo siapa yang membaptis, siapa pula sang wali baptis.
Nama permandian si bayi adalah Paulus Maria, dan bayi itu adalah saya. Sejak itu, Gereja Gedangan tak lagi menjadi buah-pikir si bayi yang tumbuh dan beranjak dewasa di paroki lain, Gereja Santa Familia, Atmodirono, masih di Semarang.
Sampai kemudian kira-kira setahun lalu. Di suatu hari Sabtu, sore hari, si bayi, yang sekarang sudah menginjak senja, kali itu kembali ke Gereja Gedangan, atas undangan Pastur Kepala Paroki, Romo Romualdus Maryono S.J..
Saya diminta untuk memberikan pencerahan kepada sekira 100-an anggota OMK (Orang Muda Katolik) Paroki Gedangan. Topiknya “Disruption Era”.
Itu perjumpaan saya yang pertama dan yang terakhir dengan Romo Maryono. Untung, sebelum acara resmi, saya masih sempat ikut Misa Sabtu sore yang beliau pimpin. Selesai misa, saya memperkenalkan diri dan menyapa sang Romo.
“Romo, saya senang sekali. Misanya singkat, hanya 50 menit. Kotbahnya pendek, ringkas, tapi mengena dan mak jleb”.
Romo Maryono menerima uluran tangan saya dan menggenggamnya agak lama. Sedikit mengguncangkan telapak saya, suatu pesan kehangatan yang dikirimnya.
“Misa singkat, karena itu yang diinginkan umat. Semua ritual tak terlewatkan. Gusti Yesus nomer satu, umat nomer dua, pastur nomer tiga”.
Senyumnya menghias ucapannya yang ramah. Gurat-gurat jenaka tergaris di wajahnya. Kesan pertama muncul di hati saya. Romo Maryono sangat nalar, sekaligus humoris.
Penjelasannya (tentang misanya yang singkat) mengesankan bagi yang mendengar. Kalimat-kalimatnya agak mbeling, kaya status FB yang saya kutip sebagai kalimat pembuka. Saya suka.
Romo Maryono membuka acara. Tak seperti opening speech pada umumnya, pesannya singkat, padat dan mengena.
“Kaum muda harus terus belajar dan jangan terlena dengan daerah nyaman yang sedang dinikmati. Belajar dari siapa saja, dari mana saja, saat kapan saja”.
Romo Maryono terus menyimak diskusi. Komentarnya kadang keluar. Selalu menyentak, polos, lucu, dengan wajah tanpa dosa. Nampaknya itu sudah menjadi balung-sumsum-nya.
Simak saja kalimat FB yang saya kutip di atas. Itu diposting Romo pada tanggal 28 Oktober tahun lalu.
Meski tetap mengirim pesan mulia, nadanya tetap lucu dan menggelitik.
“Orang pelit punya sejuta akal untuk menghindar kolekte”.
Usai acara, Romo Maryono menraktir kami makan soto terenak di Semarang. Bukan kami yang ke warung, tapi angkringan soto yang diboyong ke tempat acara, gedung pertemuan Paroki Gedangan.
Acara yang luarbiasa. Kami tertawa bersama dan bergembira ria menikmati makan malam yang aduhai lezatnya. Plus guyonan Romo yang terus menghiasi ruangan.
“Romo Maryono pancen loma”.
Setelah acara, kami tak pernah berjumpa muka. Komunikasi hanya lewat FB. Dari sana saya lebih mengenal Romo sebagai seorang humanis, pluralis, temannya banyak, semuanya dekat, dari berbagai golongan.
Kadang-kadang saya khawatir dengan guyonan-nya. Beliau sering menyerempet hal-hal sensitif, yang herannya, dibalas guyonan juga oleh yang ditembaknya.
Itulah pribadi Romo Maryono. Selalu merak ati, dan loveable.
Sampai siang itu, Kamis, 12 November 2020. Saya membaca suatu WAG tentang kepulangannya ke haribaan-Nya. Romo Romualdus Maryono S.J., meninggal dunia, pada pukul 10.45, di RS St. Elisabet Semarang.
Seakan tak percaya membacanya. Tak pernah mendengar Romo Maryono gerah. Masih teringat postingan-postongan FB yang selalu menggelitik senyum teman-temannya. Kadang senyum lepas, sering senyum kecut.
Romo Maryono pandai menggoda, sekaligus memberi masukan. Pribadi yang menarik.
Sejak itu, laman FB-nya penuh ucapan simpati, duka-cita dan selamat jalan dari sahabat-sahabatnya. Puluhan atau mungkin ratusan menyatakan rasa sedih atas kepergiannya. Orang baik cepat dipanggilNya, karena Tuhan lebih mencintainya.
Satu ungkapan mengentalkan prihatin saya. Seorang sahabat Romo Maryono mengungkapkan rasa duka melalui FB. Penuh nada kasih, hormat, dan toleran. Tak terasa butir-butir kecil airmata membuat saya mbrebes mili.
@pmsusbandono
13 November2020