Puncta 18.03.23
Sabtu Prapaskah III
Lukas 18: 9-14
MASIH ingat syair lagunya Farel Prayoga? “Wong kongene kok dibanding-bandingke, saing-saingke, ya mesti kalah.”
Orang zaman sekarang mudah sekali membanding-bandingkan. Kaya-miskin, mewah-melarat, pinter-bodoh, sukses-gagal, cantik-jelek.
Seolah kualitas pribadi hanya dinilai dari harta kekayaan, kesuksesan, dan penampilan serba “wah.”
Setelah muncul kasus penganiayaan oleh anak pegawai perpajakan mencuat di media sosial, langsung muncul reaksi spontan di medsos.
Kebanyakan marah, gemes, jengkel, kecewa dan menghujat. Ada yang merasa berhak menyalahkan, menghakimi, menghukum. Tidak sedikit yang melakukan perundungan di medsos.
Dengan kasus ini muncul orang-orang yang bersikap sok suci, merasa paling benar dan tidak kasihan tetapi malah “nyokurke.”
Tidak cukup sampai di situ. Kehidupan pribadi dan keluarganya dibongkar dan dikuliti tanpa pandang bulu. Semua orang merasa berhak dan bangga bisa membuka aib orang yang sedang jatuh di muka umum.
Ada perasaan “untung bukan saya” saat menyikapi teman yang sedang jatuh terpuruk. Orang mudah sekali membenarkan diri dan lepas tangan menghadapi teman atau saudara yang mengalami beratnya beban penderitaan.
“Wong Jawa wis ilang tepa selirane.” Orang Jawa sudah kehilangan sikap tepa selira.
Kita sudah tidak punya empati terhadap penderitaan sesama. Kita mudah sekali menyalahkan dan merasa diri paling benar.
Yesus memberi contoh dua orang yang berdoa di Bait Allah. Mereka adalah orang Farisi dan pemungut cukai.
Orang Farisi berdoa di hadapan Allah. Doanya dipakai untuk membanding-bandingkan; “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain; aku bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini.”
Ia membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Yang menjadi fokus doa selalu aku, aku dan aku. Ia menyombongkan dirinya di hadapan Tuhan dan menghina orang lain yang tidak seperti dia.
Sebaliknya pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit. Ia berdoa singkat, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Ia menyadari dirinya di hadapan Allah dan tidak berani memandang wajah Allah.
Menurut Yesus, pemungut cukai ini pulang sebagai orang yang dibenarkan Allah. Sebab barang siapa meninggikan diri akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan akan ditinggikan.
Marilah kita tidak mudah menghakimi orang lain atau menganggap diri paling suci, benar dan sempurna. Yang dipuji dan dihargai adalah orang yang mau merendahkan diri di hadapan Tuhan dan sesama.
Berolahraga melintasi persawahan,
Sambil menikmati gunung Merapi.
Guru terbaik adalah pengalaman,
Moral terbaik adalah kerendahan hati.
Cawas, belajar dari ilmu padi…