RUPANYA berpastoral bersama umat di wilayah Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalbar, menjadi hari-hari penuh sukacita. Ini yang dirasakan segenap imam Kongregasi Passionis (CP) dan para suster biarawati Kongregasi St. Augustinus dari Kerahiman Ilahi (OSA) yang berkarya di wilayah pastoral Keuskupan Sanggau ini.
Ini setidaknya kesan singkat penulis yang baru saja menginjakkan kaki di Sekadau sejak awal Juli 2018 lalu, setelah sebelumnya berkarya di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang.
Di kebun atau di hutan karet
Lihat saja di sana. Banyak atmosfir sukacita bisa saya rasakan gaungnya, ketika hari-hari berisi untaian pengalaman hidup segenap Umat Katolik di wilayah pastoral Keuskupan Sanggau ini.
Mereka hidup dalam sukacita, ketika hidup kesehariannya diisi dengan kegiatan berkerja di ladang atau menoreh pohon karet di hutan.
Sebagai suster biarawati OSA dan “orang baru” di Sekadau, saya merasa senang bisa menyapa mereka.
Juga sangat hepi, saat saya bisa datang menyambangi Umat Katolik di “lapangan”. Itu terjadi, ketika mereka tengah bersibuk diri dengan kegiatan berkebun atau menoreh karet di luar permukiman mereka.
Layaknya pepatah lama berbunyi veni, vidi, vici (saya datang, melihat, dan menang), saya sungguh merasa dikuatkan ketika datang ke wilayah kerja umat, bisa menyaksikan mereka bekerja. Pada saat-saat seperti itu, panggilan saya menjadi seorang religius merasa diteguhkan dengan hal-hal sederhana seperti itu.
Pengalaman hidup sehari-hari mereka yang begitu riil di lapangan kehidupan itu sungguh merupakan hal ‘istimewa’ bagi saya yang sehari-hari hidup di balik dinding tebal biara.
Yang paling mengasyikkan tentu saja kesempatan riil bagi saya sekarang ini yakni bisa mendengarkan kisah-kisah hidup umat di sana. Sukacita dan duka mereka seakan juga menjadi bagian hidup saya.
Di biara, tentu kisah sukacita dan duka berbeda atmofirnya. Di Sekadau ini, kisah-kisah kehidupan di lapangan itu begitu nyata.
Bersama OMK ke hutan
Menjadi sebuah kegembiraan di hati saya, ketika akhirnya saya bisa berjalan bersama-sama OMK setempat dan kemudian bersama-sama pergi ke pedalaman dan hutan –hal sama yang juga pernah saya rasakan sebagai anak dan remaja waktu masih sangat belia.
Hari-hari bahagia semasa kecil yang indah hidup di kampung halaman –jauh dari kebisingan kota—kini mengisi relung-relung hati saya.
Yang menyenangkan adalah berikut ini. OMK di Sekadau ini sangat aktif berdinamika. Mereka tak sungkan bercerita kepada saya dengan berbagi cerita dan pengalaman selama ini.
Foto-foto di bawah ini sudah sangat berbicara dan bisa menggambarkan betapa semangat mereka itu telah ikut memompa kobaran jiwa religius saya sebagai suster biarawati OSA.
Mengenal kearifan lokal
Meskipun saya berdarah Dayak dan berasal dari wilayah pastoral Keuskupan Agung Pontianak, namun masuk ke wilayah pastora Keuskupan Sanggau tetaplah menjadi hal baru bagi saya. Di situlah dan berkat bergaul akrab dengan OMK dan umat lokal, saya mulai belajar memahami aneka kearifan lokal setempat.
Selain mengalami sukacita lantaran mendapat sahahat-sahabat baru di wilayah kerja yang baru, saya juga merasa hidupku telah diperkaya dengan mulai mengenal banyak kearifan lokal Sekadau, adat-istiadat dan budaya orang lokal.
Sama-sama Dayak, tapi pasti citarasanya juga berbeda-beda di setiap daerah.
Sebelunya, bidang karya pastoral saya adalah menjadi guru TK St. Theresia dan Playgroup di Ketapang sembari merangkap menjadi bendahara. Kini, hal sama saya jalani di Sekadau. Namun, karena audiensnya berbeda, maka saya pun harus bisa menyesuaikan diri dengan tantangan baru.
Saya termotivasi harus bisa cekatan mengenal lingkungan baru. Inilah tatanan hidup sosial baru dengan ragam tata nilai budaya dan adat yang jelas berbeda dari tempat di mana saya berasal dan tumbuh besar serta berbeda pula dari tempat di mana selama tiga tahun terakhir ini saya telah berkarya.
Sekadau is Sekadau. Ketapang lain lagi ceritanya. Dan itu mengasyikkan. Setiap kali diutus berkarya oleh Kongregasi OSA, maka para suster OSA harus bisa cekatan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
Saling menguatkan
Sudah pasti beda antara keseharian kami sebagai religius OSA dengan keseharian umat Sekadau yang saya dan teman-teman suster lain layani setiap hari.
Perjumpaan dengan mereka yang membawa sukacita menjadikan hidup kami juga lebih ‘berwarna’.
Mereka mau mengerti kami. Juga, kami pun ingin memahami mereka, A-to-Z.
Dengan bergaul langsung dan terjun dalam kegiatan keseharian mereka, maka saya pun menjadi kenal dengan kesehariannya.
Kini, saatnya saya merasa bersyukur bahwa Kongregasi telah membawa saya ke Nanga Mahap di Kabupaten Sekadau ini untuk belajar mengenal medan pelayanan pastoral yang baru dan berbeda.
Di sinilah saya mulai belajar apa artinya harus mengenal lapangan kerja dan umat yang harus saya layani dalam semangat sukacita melayani mereka di bidang pendidikan formal.
Anak-anak PAUD St. Augustinus di Nanga Mahap, Sekadau, berjumlah 30 orang. Suster-suster OSA telah merintis karya pendidikan formal ini mulai tahun 2012. Dengan meneruskan karya rintisan para suster senior sebelumnya, maka saya ikut merasa terpanggil berkarya melalui bidang pendidikan formal untuk mewartakan kabar sukacita di tengah kerumunan anak-anak PAUD St. Augustinus.
Saya bukanlah pribadi sempurna. Gratia supplet, semoga rahmatlah yang akan menyempurnakannya.
Kredit foto: Sr. Maria Ludovika OSA.