SECARA umum, para perempuan di kalangan suku Indian, khususnya Lakota, menyadari situasi yang sedang terjadi di dalam reservasi. Bagi mereka, populasi suku Indian yang besar jumlahnya adalah suatu asset ‘nasional’.
Asset itu kini sedang tak mampu memainkan perannya dalam kehidupan konkret. Betapa tidak?
Mereka hidup bagaikan berdiri di dua perahu; satu kaki di perahu Gereja dan satu kaki di perahu agama traditional. Berhadapan dengan dunia modern, banyak keluarga tak mampu menjalankan fungsinya akibat kecanduan alcohol, pendidikan rendah, dan kegagalan dalam mengatur ekonomi rumah tangga. Rasa solider satu sama lain sangat tipis. Meminjam sepengal frase dari lagu di Tanahair Indonesia, para perempuan Indian kini sedang bersusah hati seperti Ibu Pertiwi.
Hidup sakit
Itulah sebuah realita konkret dalam masyarakat Indian Lakota.
Bahwa suku-suku Indian di Lower Brule tak aktif di gereja, itu bukan semata-mata karena kesalahan mereka, tetapi juga karena pendekatan gaya reservasi yang cenderung memanjakan mereka. Menjelang Natal, misalnya, setiap orang menerima uang sebesar 700 dollar, tanpa disertai pembinaan bagaimana menggunakannya.
Ada beberapa orang yang mengembangkan uang itu untuk buka usaha. Namun sebagian besar memakainya untuk pesta dan mabuk alkohol, tak terkecuali anak-anak usia remaja. Akibat lebih lanjut, banyak orang mati karena minum alkohol secara berlebihan. Alkohol juga menjadi penyebab kecelakaan mobil di reservasi.
Itulah salah satu bentuk pemunduran suku Indiana di reservasi.
Mengenai ketidakaktifan dalam hidup meng-Gereja kiranya dapat dikaji kembali apa yang terjadi pada awal evangelisasi terhadap suku Indian Lakota. Berikut ini diuraikan sedikit mengenai proses evangelisasi awal terhadap suku Indian Lakota.
- Pertama, pembaptisan kanak-kanak secara massal tanpa disertai penjelasan tentang makna baptisan itu sendiri. Mereka yang sudah dibaptis dimasukkan dalam struktur masyarakat terpisah dari mereka yang belum dibaptis. Upaya ini difahami sebagai model penanaman Gereja di dalam budaya Lakota;
- Kedua, pemberdayaan perempuan-perempuan awam melalui bidang pendidikan. Jumlah tenaga awam yang dibekali dengan ilmu kateketik ini tidak sebanding dengan jumlah kanak-kanak yang dibaptis. Kelompok ini dipersiapkan untuk pendalaman agama terhadap anak-anak Indian katolik dan siap memasuki jenjang-jenjang berikutnya, seperti komuni pertama, khrisma, dst.
Dari kelompok binaan ini katekis perempuan awam ini kemudian muncul para ahli bercerita tentang tokoh-tokoh dalam Kitab Suci. Anak-anak sangat menyukai cerita-cerita mereka.
- Ketiga, pendampingan rohani klan atau kampung yang warganya sudah dibaptis oleh para missionaris. Dalam situasi serba sulit para misionaris mengajar mereka teologi tingkat dasar dan cara mendidik kanak-kanak dalam bidang etika dan moral. (Bersambung)
Photo credit: Romo Vincent Suparman SCJ
Artikel terkait: