Sungguhkah Istrinya Paling Cantik bagi Seorang Suami?

1
2,451 views

SEORANG penginjil pernah bercerita kepada saya seperti ini: “Jujur saya mengakui bahwa bukan istri saya sekarang yang paling cantik bagi saya di seluruh dunia”.

Dia menyebut bahwa kalau ada orang mengatakan bahwa istrinyalah yang paling cantik, dan karena alasan itulah dia mempersunting istrinya menjadi pasangan hidup, maka itu adalah bahasa bualan semata. “Kalau ada orang mengatakan demikian, orang itu adalah orang munafik”, demikian menurut penginjil itu.

Mengapa demikian? Penginjil tersebut berpendapat, kalau kita memandang dari segi fisik, secantik apa pun istrinya pasti masih ada lagi orang yang lebih cantik darinya. Menjadikan seseorang sebagai istri bukan pertama-tama soal kecantikan, tapi hatinya, kepribadiannya, bebet-bobot-bibit, dan yang wataknya sungguh terpuji. Itu baru nama kecantikan yang sangat diidamkan: inner beauty (kecantikan dari dalam).

Lalu saya tanggapi: “Tapi kan Pak, sangat wajar untuk memandang seseorang lalu memilih kemudian, pertama-tama harus melihat kecantikan fisik lebih dahulu”. “Iya, memang betul”, katanya. “Tapi kita memilih seseorang sebagai istri atas dasar cinta, cinta yang bersumber dari Tuhan, bukan soal cantik semata”, lanjutnya.

Inner beauty

 “Sebab kalau bukan bersumber dari Tuhan, suatu ketika cinta kita akan luntur dan bisa beralih kepada yang lain. Karena itu, tolok ukur utama untuk memilih pasangan hidup adalah cinta yang tulus dan ikhlas kepada seseorang, sehingga kita berani untuk menjadikannya sebagai istri, bukan karena kecantikan fisik. Sebab itu saya seringkali dongkol mendengar pernyataan suami-suami bahwa istrinyalah yang paling cantik baginya dari semua wanita yang pernah dikenal atau dipacarinya” sambungnya.

 “Kan memang  begitu”, kata saya menyela. “Bukan begitu Pak, harus kita bedakan dua hal: kecantikan luar (kecantikan fisik) dan kecantikan dari dalam (inner beauty).

Dengan itu jelas bagi kita, manakah yang lebih penting, sebab kalau suatu ketika si istri itu sakit dan kecantikannya yang dahulu itu luntur dan membuat kita tidak tertarik lagi, lalu apakah kita meninggalkan dan menceraikan dia. Saya kira tak boleh, itu melanggar janji pernikahan kita ketika kita diberkati dahulu. Karena itu, marilah kita jujur memberikan ungkapan-ungkapan, agar hidup kita tidak diliputi kemunafikan”. Demikian si penginjil tadi mengakhiri pembicaraan kami.

Sabda Tuhan

 Dalam Injil Yohanes 15:9-17 diuraikan: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

Dalam teks lain dalam Injil dikatakan juga bahwa:

“Apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan manusia, kecuali karena kematian”. Itu berarti bahwa persatuan suami istri yang telah disahkan dalam sakramen ilahi (Sakramen Perkawinan) yang disaksikan oleh pejabat resmi Gereja (imam atau diakon) telah dimeteraikan hingga maut memisahkan mereka. Pengenalan mereka satu sama lain ketika pacaran membuat keduanya yakin bahwa cinta mereka tulus dan ikhlas. Kekurangan dan kelebihan masing-masing jelas ada. Tapi yang paling penting adalah mereka sebagai pasangan suami istri mampu menerima kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing. Menerima apa adanya pasangan adalah sesuatu yang mutlak perlu diresapkan selama menjalani hidup perkawinan. Bacaan sabda Tuhan di atas merupakan nats yang seringkali dikutip dan disitir oleh imam ketika akan meresmikan dan memberkati pasangan suami-istri. Yesus menandaskan: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”.

Kasih dan bukan yang lainnya

Yesus lebih menekankan kasih, bukan yang lain. Sebab kasih bisa melampaui semua hal-hal lain. Segala kekurangan dan keburukan bisa dihilangkan dan dilupakan, kalau andalannya adalah kasih. Tetapi kalau kita mengutamakan harta dan pangkat, ikatan perkawinan bisa bubar.

Artinya, kalau salah satu dari pasangan suami-istri memperoleh warisan harta dari orangtuanya, tidak boleh hal itu menekan apalagi mengecilkan harga diri pasangannya. Ataupun kalau salah satu dari pasangan suami-istri memperoleh jabatan atau pangkat di instansi pekerjaannya, sebaiknya dijadikan sebagai pendukung untuk memperkokoh ikatan perkawinan.

Dan bukan sebaliknya, untuk merendahkan apalagi menyepelekan pasangan. Prinsip yang harus dipegang adalah datangnya harta atau jabatan tersebut adalah rejeki bersama pasangan dan berkat dari Tuhan karena Tuhan sayang kepada keduanya (suami-istri). Kalau pemikiran dan pemahaman yang demikian yang merasuk dalam diri kita, maka pasangan kita menjadi “utusan dan kiriman istimewa” dari Tuhan sendiri untuk membahagiakan kita.

Namun kenyataan kehidupan ini kita tidak mengafirmasi pemahaman yang demikian, bahkan ketika seseorang memperolah jabatan atau pangkat yang lebih baik, pada saat yang sama, seorang suami mengalihkan perhatiannya kepada wanita lain. Atau kalau memperolah rejeki yang cukup lumayan, seseorang berani mengatakan bahwa tambahnya harta tersebut bukan karena pasangannya tapi karena usahanya sendiri. Kalau demikian yang terjadi, maka ikatan perkawinannya dengan pasangan bisa bubar sebelum maut memisahkan mereka berdua.

Kasus-kasus perselingkuhan yang marak terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh retaknya komitmen suami-istri dalam membangun dan mempertahankan ikatan perkawinan mereka. Karena itu, salah strategi yang tepat untuk melestarikan kehidupan perkawinan adalah dengan tetap memegang komitmen perkawinan, supaya segala godaan dan tantangan yang kita hadapi bisa berlalu begitu saja sesuai dengan berlalunya waktu tanpa membekas dalam kehidupan kita.

Oleh sebab itu, konsep yang hendak kita bangun adalah rasa cinta yang tulus dan ikhlas kepada pasangan kita, bukan terutama ditentukan oleh kecantikan fisiknya, atau harta dan jabatannya. Tetapi komitmen yang teguh senantiasa dipegang oleh kedua individu yang telah dipersatukan menjadi satu kesatuan relasi yang tidak terpisahkan. Sebab berharganya seorang suami ditentukan oleh kehadiran istrinya, demikian juga sebaliknya harga diri seorang istri terbangun berkat penghargaan dan penghormatan yang tulus dari suaminya. Dan hal yang mengikat keduanya adalah rasa cinta yang mendalam di antara suami istri, yang diperlihatkan dengan inner beauty masing-masing.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here