Surat Gembala Uskup Agung KAJ di Hari Lingkungan Hidup Sedunia Juni 2016

0
2,583 views
Uskup Agung Keuskupan Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo bersama Pastor Kepala Paroki St. Andreas Pastor Celsius Mayabubun MSC, dan Romo Prof. Martin Harun OFM berpose bersama dengan tim peduli sampah lingkungan paroki di bulan Februari 2016. (Mathias Hariyadi/Sesawi.Net)

SURAT GEMBALA HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA 2016

(Disampaikan sebagai pengganti khotbah, pada Misa Sabtu/Minggu, 4-5 Juni 2016)

 MENJAGA IBU BUMI, RAHIM KEHIDUPAN”

Para Ibu dan Bapak, Suster, Bruder, Frater,

Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus,

  1. Setiap tanggal 5 Juni, masyarakat dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Peringatan ini dimulai pada tahun 1971 itu sebagai tindak lanjut Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup pada tanggal 5-7 Juni 1970; diadakan untuk mengajak semua orang agar sungguh peduli pada lingkungan hidup. Gereja, yang adalah kita semua, sebagai bagian dari masyarakat dunia, sudah seharusnya menanggapi ajakan itu secara aktif dan nyata.
  1. Konferensi PBB pada tahun 1970 itu didasari keprihatinan akan makin rusaknya lingkungan hidup. Sekarang, setelah 46 tahun, kondisi lingkungan hidup tidak lebih baik. Bahkan kondisi itu menjadi lebih buruk, termasuk di Indonesia dan khususnya di Jakarta. Di Indonesia, kehancuran lingkungan  semakin  dirasakan  dengan  hancurnya hutan-hutan tropis yang merupakan paru-paru dunia. Menurut data dari Pengamat Masalah Kehutanan (Forest Watch) Indonesia, sampai tahun 2000-an ada sekitar 10 juta hektar hutan di Indonesia hancur. Ada pula yang berganti wajah menjadi perkebunan monokultur. Kehancuran ini juga tampak jelas dalam pengusahaan tambang yang tidak mempedulikan perbaikan lingkungan. Kondisi laut di Indonesia pun di banyak tempat sangat memprihatinkan. Bukan hanya karena hancurnya terumbu  karang, tetapi juga karena polusi laut oleh sampah-sampah yang bertaburan merusak kehidupan laut dan akhirnya merugikan kita semua. Gambar kehancuran itu masih bisa diperpanjang lagi.

    Gerakan peduli sampah oleh aktivis Paroki St. Andreas Green Ville Jakarta Barat di bulan Februari 2016. (Mathias Hariyadi/Sesawi.Net)
  1. Di Jakarta, wajah lingkungan tak kalah muram. Ada tiga jenis polusi yang merusak Jakarta. Polusi udara terjadi karena jumlah kendaraan bermotor yang tidak terkontrol, selain karena polusi dari pabrik-pabrik di sekitar Jakarta. Menurut data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, sampai tahun 2014 ada 13 juta sepeda motor dan sekitar 4,5 juta mobil di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selain itu, yang juga sangat terasa adalah polusi air. Polusi air tanah tidak hanya terjadi oleh bakteri coli dari septic tank yang tidak terkelola baik, tetapi juga oleh perembesan air laut ke dalam lapisan tanah yang makin meluas karena penyedotan air tanah secara berlebihan. Polusi air ini pun makin jelas dengan kotornya sungai-sungai di Jakarta oleh sampah, khususnya sampah plastik dan styrofoam. Tidak ada satu pun dari ketiga belas sungai yang mengalir di Jakarta bisa dikatakan bersih. Sampah plastik dan styrofoam itu pula yang menjadi sumber polusi tanah karena plastik dan styrofoam membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa hancur. Perlu diketahui bahwa dari 8000 ton sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta setiap harinya, kira-kira 1000 ton adalah sampah plastik dan styrofoam.
  1. Sebenarnya, lingkungan hidup yang makin hancur itu adalah juga cermin dari ketidakpedulian kita, yang merupakan cermin dari kurang dalamnya iman. Paus Fransiskus, dalam Ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan pada 18 Juni 2015 lalu, dengan kata-kata yang keras mengatakan bahwa ketidakpedulian itu adalah bagian dari keserakahan, dan keserakahan adalah salah satu bentuk dosa ekologis. Karena itu, pertobatan ekologis menjadi sebuah keharusan bagi umat beriman. Menurut Paus, keterlibatan kita untuk menjaga lingkungan adalah sebuah keharusan iman, bukan sekedar pilihan.

Saudari-saudara terkasih,

  1. Kutipan Injil yang dibacakan pada hari ini berkisah tentang anak seorang janda yang dihidupkan kembali oleh Yesus. Hal yang sama juga dilakukan oleh Nabi Elia, seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama. Kisah ini dengan jelas menegaskan betapa mulia dan berharganya kehidupan, termasuk tentu saja kehidupan generasi yang akan datang. Dengan kacamata iman, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Tuhan tidak menghendaki kematian sebelum waktunya. Secara tidak langsung, hal itu berarti bahwa menjadi tugas kita untuk menjaga kehidupan sebaik mungkin, bukan hanya kehidupan kita masing-masing, melainkan juga kehidupan sesama kita. Kita ingat bahwa dengan mencintai sesama, kita mencintai Tuhan.
    Jali Sendang Sriningsih rimbun
    Gua Maria Sendang Sriningsih di Jali, Gayamharjo, Kec. Prambanan yang hingga dulu sampai kini tetap terjaga suasana rimbunnya pepohonan. Foto dibuat akhir Maret 2016. (Mathias Hariyadi/Sesawi.Net)

    Lebih jauh lagi, mengingat bahwa hidup manusia juga tergantung pada ciptaan yang lain, baik yang hidup maupun yang tidak hidup, menjaga kehidupan manusia tidak mungkin dilakukan tanpa upaya menjaga lingkungan. Hukum cinta kasih kristiani mengatakan bahwa kita diajak untuk mencintai Tuhan dengan mencintai sesama. Tetapi seharusnya hukum cinta kasih itu dilanjutkan dengan mengatakan bahwa kita mencintai Tuhan dengan mencintai sesama, dan kita mencintai sesama dengan menjaga lingkungan kita. Itulah yang tersirat dalam panggilan menjaga kehidupan seperti diamanatkan Yesus.

  1. Jika demikian, apa yang perlu kita lakukan? Tidak bisa tidak, kita harus makin mewujudkan kepedulian kita dalam gerakan-gerakan nyata yang sudah dirintis dan terus diupayakan di Keuskupan Agung Jakarta. Gerakan menaruh dan memilah sampah serta gerakan mengurangi pemakaian plastik dan styrofoam perlu terus dijaga dan dikembangkan. Gerakan-gerakan lain perlu dirintis, seperti gerakan menghemat air dan energi. Sehubungan dengan hal itu, sangatlah dianjurkan agar di kompleks gereja-gereja, sekolah, biara dan rumah yang halamannya cukup luas dibuat sumur resapan untuk memanen air hujan dan mengurangi genangan. Semoga semboyan “mewujudkan paroki dan sekolah ramah lingkungan” menjadi pengingat bagi kita, keluarga dan lembaga- lembaga yang kita layani untuk terus “Menjaga Ibu Bumi, Rahim Kehidupan”.
  1. Akhirnya, bersama-sama dengan para imam, diakon dan semua pelayan umat, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para Ibu/Bapak/Suster/ Bruder/adik-adik kaum muda, remaja dan anak-anak semua yang dengan beraneka cara terlibat dalam karya perutusan Gereja Keuskupan Agung Jakarta, khususnya dalam menjaga dan mengembangkan gerakan-gerakan peduli lingkungan. Melalui gerakan-gerakan itu kita diajak untuk semakin peduli pada kehidupan manusia sekarang maupun generasi yang akan datang, pada segala makhluk dan alam ciptaan. Sambil menimba kekuatan dari teladan Bunda Maria, kita berharap semoga gerakan peduli lingkungan hidup tetap berlanjut dan berkembang serta mendorong terbentuknya habitus umat di Keuskupan Agung Jakarta yang kita cintai ini. Salam dan Berkat Tuhan untuk Anda semua, keluarga dan komunitas Anda.

† I. Suharyo

Uskup Keuskupan Agung Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here