RAJA Ahab amat sedih dan tidak mau makan, karena Nabot menolak permintaannya untuk tukar guling kebun anggurnya (1 Raj 21: 4).
Kebun itu terletak dekat tanah milik sang raja. Dia ingin memperluas kebunnya dengan cara mengambil tanah milik Nabot. Menukarnya dengan tanah di tempat lain.
Nabot menolak, karena tanah itu warisan. Dia sadar bahwa tanah warisan tidak boleh dijual atau dipindah tangankan (1 Raj 21: 3).
Begitu mendengar alasan suaminya bersedih dan tidak mau makan, Isebel, isterinya, menulis surat dengan tanda tangan palsu suaminya. Isinya memerintahkan supaya para tua-tua membuat tuduhan palsu atas Nabot, sehingga dia bisa dilempari batu hingga mat (1 Raj 21: 11-14). Itulah yang terjadi.
Setelah Nabot mati, Isebel mengambil kebun anggur Nabot dan memberikannya kepada suaminya (1 Raj 21: 15). Ahab pun tenang hatinya.
Demikianlah sikap penguasa yang sewenang-wenang. Melakukan apa saja, termasuk merebut tanah milik rakyat dengan cara keji.
Kisah itu bukan cerita dahulu kala. Kita pernah mempunyai penguasa yang berlaku demikian. Raksasa politik dan ekonomi yang sesukanya mencaplok tanah dan milik orang kecil; bahkan aset negara.
Rakyat tidak berani melawan. Kini, pemimpin justru membagikan sertifikat tanah kepada rakyat, sehingga mereka bisa menggarap tanahnya sendiri dan menikmati hasilnya.
Penguasa yang lurus, jujur, dan berani membuat rakyat menikmati surat sang penguasa.
Senin, 13 Juni 2022
Peringatan St. Antonius Padua