Puncta 17 Maret 2024
Minggu Prapaskah V
Yohanes 12: 20-33
SEORANG gadis membenci ibunya karena ibunya hanya punya satu mata. Mata yang satunya cacat sehingga nampak buruk. Gadis itu malu karena sering diejek oleh teman-temannya.
Setelah lulus SMA dia pergi dari rumah dan menjalani kehidupan di luar negeri. Dia tidak pernah berhubungan lagi dengan ibunya.
Waktu reuni SMP dia berniat ketemu dengan teman-temannya dan sekaligus menengok rumahnya. Rumah kecil tak terawat dan lapuk itu masih diingatnya.
Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Waktu itu pun dia tidak menyempatkan pulang.
Ia membuka pintu rumahnya dan menutupnya kembali. Ia tercenung ada sebuah amplop terselip di pintu itu. Dengan iseng ia membuka. Ternyata sebuah surat, tulisan ibunya.
“Larasati, anakku, ibu memikirkanmu setiap saat. Maafkan ibu waktu ibu ke Singapura dan membuat takut anak-anakmu. Maafkan ibu jika membuat kamu malu di hadapan teman-temanmu dulu. Ibu tidak pernah cerita apa yang terjadi dengan mata ibu. Dengan surat ini, ibu ingin jujur terbuka padamu.
Pada waktu kamu masih kecil, kamu mengalami kecelakaan dan kehilangan satu mata, tapi ibu tak sanggup melihat anak ibu tumbuh cacat dengan satu mata saja, jadi ibu berikan satu mata untukmu. Ibu bahagia karena anakku punya mata yang sempurna untuk melihat dunia. Maafkan ya Ndhuk.”
Cintaku untukmu Larasatiku.
Pengurbanan seorang ibu yang sungguh mulia. Kita sering melalaikan dan tidak mempedulikannya.
Yesus berkata, “Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja. tetapi jika mati, ia akan menghasilkan banyak buah.”
Yesus tidak silau oleh ketenaran sampai-sampai orang-orang Yunani datang kepada-Nya.
Tetapi Dia menyadari pengutusan-Nya harus dijalani dengan mengorbankan Diri yakni ditinggikan pada kayu salib.
“Apabila Aku ditinggikan di bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.”
Mati di kayu salib itulah cara Yesus menyelamatkan semua orang. Jika Ia tidak mati, seperti biji gandum itu, Dia tetap hanya satu biji saja. Karena pengorbanan Yesus, maka semua orang diselamatkan.
Seperti ibu tadi yang rela mengorbankan matanya, supaya anaknya selamat dan sempurna, demikianlah Yesus tidak menyayangkan nyawa-Nya untuk keselamatan kita umat manusia.
Biji gandum itu mati tetapi menghasilkan banyak buah. Beranilah kita mengorbankan diri agar banyak orang merasa dicintai.
Pergi ke Magelang mampir Seminari,
Sarapan di Blabak beli tahu ketupat.
Salib adalah puncak pengorbanan diri,
Karenanya kita selamat dunia akherat.
Cawas, pengurbanan tidak pernah sia-sia
Rm. A. Joko Purwanto Pr