MESKI masih terhalang oleh kendala perizinan dan hal-hal lainnya, namun inilah harapan para suster biarawati aktivis kemausiaan.
Para suster biarawati yang mayoritas tidak terlalu dikenal oleh publik ini selalu aktif mendampingi para korban praktik ‘perdagangan manusia’ (illegal human trafficking).
Impian besar mereka adalah bisa mendapatkan peluang boleh mendampingi para korban praktik kejahatan melawan kemanusiaan sampai di pengadilan.
Selama ini, pendampingan para suster aktivis itu masih sebatas di areal shelter, advokasi kepada korban dan keluarga, dan proses membantu memulangkan korban ke kota asalnya.
Beberapa pokok masalah, tantangan, dan harapan besar bisa mendampingi para korban sampai di pengadilan itu mengemuka di sesi lokakarya bertema “Pelatihan Paralegal bersama LBH APIK Jakarta untuk CWTC–IBSI”.
Program pelatihan dan lokakarya ini dibesut oleh Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) dan dikerjakan oleh CWCT-IBSI. Kegiatan ini telah terselenggara di Rumah Doa St. Maria Guadalupe di Jakarta Timur, 15–18 Mei 2018 lalu.
CWTC adalah forum internal di IBSI. Mereka yang aktif di komisi ini adalah para suster biarawati aktivis yang aktif dalam kegiatan advokasi, pendampingan, dan aksi nyata menyelamatkan para korban praktik ‘perdagangan manusia’ secara ilegal.
CWTC adalah singkatan dari Counter Women Trafficking Commisssion.
Human Trafficking under Spot of Indonesian Nuns Involved in Humanitarian Movement
19 suster lintas tarekat
Pogram pelatihan paralegal untuk para suster aktivis kemanusiaan ini dihadiri oleh 19 orang suster lintas tarekat religius dari seluruh Indonesia.
Mereka adalah Sr. Agustina BKK, Sr. Kristina Fransiska CP, Sr. Mathildis FMM, Sr. Dominique FSGM, Sr. Katarina FSGM, Sr. Valentina FSGM, Sr. Stella HK, Sr. Yosina MC, Sr. Irena OSU, Sr. Gracia PK, Sr. Vincentia PMY, Sr. Ana RGS, Sr. Nita RGS, Sr. Lidwina RGS, Sr. Xavera SPM, Sr. Genobeba SSpS, Sr. Mawartina SSpS, Sr. Sesilia SSpS, dan Sr. Yosephine SSpS.
Seorang frater dari Ordo Fransiskan yakni Sr. Charles OFM bersama seorang pendeta Bapak Sugiyanto dari Lampung juga ikut serta dalam program pelatihan paralegal ini.
Yang menarik, ikut pula Bapak Eka Munfarida dari Kita Institute di Wonosobo, Jateng –satu-satunya peserta non Kristiani dalam program ini.
Analisis masalah
Masalah krusial yang dihadapi oleh para suster biarawati aktivis kemanusiaan menolong para korban praktik perdagangan manusia adalah tidak bisa melakukan pendampingan total hingga sampai di pengadilan.Selama ini, para suster aktivis kemanusiaan itu tidak pernah bisa ikut mendampingi para korban sampai ke persidangan, karena tidak punya lisensi (izin).
Padahal, beberapa dari suster biarawati ini berasal dari ‘kalangan profesional’ dengan latar belakang studi bidang hukum alumni beberapa universitas ternama.
Selain membahas problem tersebut, forum besutan CWTC–IBSI juga ingin meningkatkan kapasitas beberapa anggota Kongregasi Suster. Utamanya adalah tarekat suster yang telah memiliki tempat lokasi penampungan sementara yang biasa disebut shelter atau safehouse.
Diskusi dan analisis masalah itu menjadi penting, demikian kesan umum para peserta lokakarya, agar masing-masing suster dari lintas tarekat religius itu punya sistem ‘cara kerja’ dan SOP (standard operational procedures) yang sama dalam upaya memberi pendampingan para korban.
Masuk dalam kategori para ‘korban’ ini adalah mereka yang oleh kelompok lain telah dijadikan ‘barang dagangan’ dalam praktik bisnis illegal human trafficking. Juga mereka –terutama kaum perempuan- yang sering menjdi korban KDRT, pekerja perempuan di bawah umur.
Mayoritas korban dari semua praktik tidak baik yang telah menciderai kemanusiaan itu adalah adalah kaum perempuan. Mereka ini sungguh rentan dengan gampang bisa menjadi ‘incaran’ bagi praktik perdagangan manusia, sasaran KDRT, dan dijadikan pekerja –baik di dalam maupun di luar negeri— sekalipun masih di bawah umur.
Materi pembekalan
Selama pelatihan berlangsung, para suster aktivis gerakan kemanusiaan yang menjadi peserta lokakarya diberi berbagai materi bahasan. Itu mulai dari materi tentang perbedaan seks dan jender, bentuk-bentuk ketidakadilan jender, hak-hak asasi manusia, hak-hak asasi perempuan.
Para peserta juga menerima informasi mengenai hal-hal berikut ini:
- Keberadaan lembaga-lembaga HAM dan layanan publik.
- Apa dan siapa para legal.
- Keterampilan paralegal.
- Teknik konseling.
- Penguatan psikologis korban.
- Gerakan dan langkah advokasi .
- Praktik membuat perencanaan advokasi.
- Identifikasi aktor dan pelaku ‘kejahatan’.
Merangsang rasa ingin tahu
Program pelatihan ini sangat menarik. Itu karena pemrasaran menyampaikan berbagai metode pembelajaran yang dilaksanakan secara variatif.
Hal itu membuat peserta pelatihan dirangsang rasa ingin tahunya dan menjadi kian bersemangat untuk secara intens mendengarkan, menyimak, bertanya, melakukan syering informasi dan pengalaman di lapangan atas berbagai kasus yang terjadi dan ditangani.
Membangun jejaring kerjasama
Tentu saja, setelah selesai program pelatihan, lalu muncul harapan dan ekspektasi para peserta.
Diharapkan setelah pelatihan paralegal ini, masing-masing suster dan para peserta lain lalu tidak berhenti ‘di situ’. Melainkan, masing-masing semakin dimotivasi untuk kemudian aktif saling berbagi dan meningkatkan aktivitas berjejaring sosial.
Membangun jejaring itu penting, demikian salah satu butir rekomendasi bersama, baik di tingkat lokal dengan mitra kerja, di tingkat nasional dengan mitra organisasi lain yang memiliki perhatian dan keprihatinan yang sama.
Termasuk di sini adalah membangun kerjasama dan jejaring yang konstruktif dengan Kongregasi Religius lintas tarekat, pemerintah, aparat penegak hukum dan keamanan, Gereja Lokal, dan tentunya juga masyarakat umum.
Yang pasti, semangat bersama semakin menggumpal dengan seruan ini: “Stop human traficcking. Hentikan KDRT. Hindari merekrut tenaga kerja di bawah umur.”
Ref: Suore contro la tratta di persone: un seminario per assistere le vittime fino in tribunale