PAGI hari di Bulan Puasa Ramadan satu tahun yang lalu. Akhir April 2021, sekitar pukul 10.00. Saya naik ojol dari Tanjungkarang menuju Kantor Keuskupan Wisma Albertus, Pahoman, Bandarlampung.
Ketika itu pandemi Covid-19 di Indonesia melandai. Pemerintah menggaungkan kepada rakyatnya untuk tidak mudik Lebaran. Saya melindungi diri dengan membawa helm sendiri. Memakai masker. Siap hand sanitizer di dalam tas.
Di perjalanan, saya baru sadar kalau ojol yang saya naiki ini tidak melewati jalan yang biasa saya lalui. Tetapi lewat Pasar Tugu. Semrawut. Macet. Panas. Haus. Membuat saya agak emosi.
Kotbah berulang
Perlahan ojol akhirnya bisa keluar dari Pasar Tugu. Mulai dari situ, ternyata bapak ojol tidak tahu jalan lagi. Duh… malah muter-muter.
Bertambahlah emosi saya. “Gimana lho Bapak ini. Wisma Albertus itu dekat kompleks Xaverius. Dekat GOR Pahoman. (Gelanggang Olah Raga). Itu lokasi terkenal. Semua orang tahu…bla..bla..bla…”
Dari A sampai Z tiada henti saya “berkotbah.”
Beberapa kali bapak ojol itu meminta maaf. Tetapi tidak saya hiraukan. Tetap saja saya “berkotbah.”
Tukang ojek kok gak tahu jalan. Apa gak bisa baca GPS ya, gerutuku dalam hati.
Ketika sampai di area Rawa Laut, Pahoman, saya mulai berkotbah lagi. “Nah, itu yang namanya Wisma Albertus,” ujarku sambil menunjuk gedung wisma yang dimaksud.
“Itu Xaverius. Di belakang sana GOR. Di seberang ada kolam renang. Masak gak tahu sih…” tambahku sambil menunjuk-nunjuk tempat lokasi yang baru saja saya jelaskan.
Kami berhenti tepat di depan Wisma Albertus. Saya turun dari motor ojol.
“Maaf ya,” ujar bapak ojol itu lagi. Saya bergeming. Tak memperhatikannya.
Malah sibuk mencari amplop uang di tas untuk membayar ojol itu.
Ketika tanganku terulur hendak membayar, bapak ojol menstater motornya. Ia pergi tanpa kata. Gantian saya yang ‘melongo’. Termangu. Memandang motor ojol hijau itu hingga hilang dari pelupuk mata.
Tak seputih jubahnya
Lahir rasa sesal yang sangat dalam. Malu. Bukankah saya ini suster biarawati? Image banyak orang, kalau suster biarawati itu adalah sosok pemaaf. Lemah lembut. Sabar. Belaskasih.
Nyatanya? Justru sebaliknya. Tidak sabaran. Emosian. Oh Tuhan, betapa malunya saya. Baju putih yang kupakai ini tidak seputih hatinya.
Mengolah emosi
Meski tahun sudah berganti, namun peristiwa itu masih saja terpendam kuat dalam benakku. Ini pengalaman yang sangat berharga untuk hidupku.
Seperti yang tertulis dalam Kitab Ayub 15: 12, “Mengapa engkau dihanyutkan oleh perasaan hatimu dan mengapa matamu menyala-nyala.”
Tuhan tentu ingin agar kita semua belajar mengolah emosi. Ketika kita tidak mampu mengolah emosi, perasaaan bisa galau.
Pikiran kacau. Mulut meracau. Muka merah. Mata menyala-nyala. Bukan lagi Roh Tuhan yang ada padaku. Tetapi, roh setan merajai hati dan pikiran.
Emosi itu memang pemberian Tuhan. Kita bersyukur memiliki itu. Dengan emosi, hidup menjadi lebih hidup.
Lebih Indah. Karena ada tangis. Tawa. Canda. Amarah. Cemburu. Cinta. Sayang. Memberi pernak-pernik hidup.
Apa jadinya bila hidup kita tak memiliki emosi. Seperti robot. Mummy. Menyeramkan. Hidup akan terasa datar. Kaku. Lurus sepanjang masa. Nah, tinggal bagaimana kita mengendalikan dan mengolah emosi-emosi negatif supaya berdampak positif.
Minta maaf
Kembali saya merenung hidup bapak ojol tadi. Khususnya di masa pandemi ini tahun yang lalu.
Kala itu, pastilah ‘tarikan’ lebih sepi. Penghasilan jauh berkurang. Ketika pulang, bapak ojol harus membawa uang agar anak-isterinya bisa makan. Andai ia pulang tidak membawa uang, bagaimana keluarganya?
Penghasilan sehari untuk makan sehari. Belum lagi ada kebutuhan lain yang juga mendesak.
Ketika saya mau membayar, bapak ojol pergi. Tak mau menerima bayaran. Menurut saya, itu disebabkan bukan karena ia marah karena saya cerewet atau emosi. Tetapi karena ia merasa tidak dapat melayani penumpangnya dengan baik.
Maka, merasa tak pantas untuk dibayar.
Bapak Ojol, betapa mulia hatimu. Engkau tidak memikirkan dirimu saja. Tetapi penumpang yang kau bawa, juga ingin kaubahagiakan lewat pelayanananmu yang tulus.
Maafkan saya, Bapak Ojol.
Terimakasih atas ‘tamparan keras’ yang kau berikan untukku. Saya akan berusaha mengolah emosi negatif yang terkadang muncul tanpa kusadari.
Akan terasa indah bila saya mampu mengolahnya.
“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah.
Sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” (1 Yakobus 19-20).