RUPANYA, dua tahun setelah visitasi ke Ketapang di Kalbar oleh Pemimpin Umum Kongregasi OSA Nederland, Moeder Sr. Agneta OSA, langsung dari Heemstede, terjadi “perubahan besar” di Biara Induk Mariënheuvel di Nederland.
Ketika misi awal ke Ketapang itu pertama kali ditawarkan ke “publik” OSA di akhir tahun 1948, maka dari 600-an orang suster yang ada waktu itu malah sampai tercatat ada sebanyak 200-an suster yang menyatakan diri ingin “melamar pekerjaan” menjadi misionaris.
Namun, sejarah akhirnya berkata lain.
Yang terpilih dari 200-an orang “pelamar” itu hanya lima orang suster saja. Mereka adalah Sr. Euphrasia Laan OSA, Sr. Prudentia OSA, Sr. Mathea Bakker OSA, Sr. Maria Paolo OSA, dan Sr. Desideria OSA.
Gelombang kedua
Kini, di tahun 1952, persis dua tahun setelah kunjungan resmi Moeder Sr. Agneta OSA ke Ketapang dan tiga tahun setelah misi gelombang pertama, jalur karya misi ke Kalbar itu kini dibuka lagi.
Namun kali ini, yang berhasil masuk “perangkap radar” Moeder Sr. Agneta OSA hanya dua orang saja. Mereka ini adalah Sr. Wulfrana OSA dan Sr. Clementina OSA.
Pada saat itu, kedua suster misionaris OSA ke Ketapang “gelombang kedua” ini boleh dibilang sudah tidak lagi muda belia.
Kedua suster misionaris OSA dari Heemstede di Nederland ini berhasil tiba di Ketapang, Kalbar, pada tanggal 10 Februari 1952.
Karena sudah “senior”, maka Sr. Wulfrana OSA langsung didapuk mulai berkarya menggantikan posisi Sr. Euphrasia Laan OSA sebagai Pemimpin Biara.
Sr. Clementia OSA juga mendapat tugas istimewa.
Ia mendapat otoritas agar segera bisa merintis karya pendidikan keterampilan khas untuk gadis-gadis remaja mengisi waktu dan kesibukan di rumah tangga.
Ia juga didapuk merancang karya berupa tempat tinggal untuk kaum remaja puteri itu dalam bentuk rumah asrama.
Kursus keterampilan RT
Karya pendidikan dengan fasilitas tinggal di asrama itu mulai dirintis di Ketapang. Langkah itu diambil, seiring dengan semakin banyaknya gadis-gadis lokal Dayak dan Tionghoa untuk mengikuti program pendidikan kursus keterampilan khas perempuan untuk kebutuhan rumah tangga.
Para gadis remaja itu datang ke “pusat kota” Ketapang dari berbagai loksi di seluruh wilayah Ketapang, terutama dari kawasan pedalaman dan hulu.
Karena datang dari jauh, kepada mereka ini lalu disediakan tempat tinggal dalam bentuk asrama oleh para suster OSA Belanda yang kala itu sudah berjumlah tujuh orang.
Bersama para suster misionaris OSA ini, para gadis Dayak dan Tionghoa ini mulai mengikuti latihan dan kursus keterampilan menjahit, berkebun, dan lainnya.
Berita duka CP
Hanya dua tahun setelah Moeder Sr. Agneta OSA pergi meninggalkan Ketapang, berita duka datang dari Congregatio Passionis (CP) di Ketapang.
Ini terjadi pada tanggal 27 Februari 1952, ketika kabar duka itu menyambar telinga semua pastor misionaris CP dan tujuh suster misionaris OSA di Ketapang.
Beritanya singkat tapi menggelegar.
Kabar duka yang sampai di Ketapang di awal tahun 1952 itu mengatakan, kapal motor yang mengangkut dua misionaris CP menuju Tumbang Titi itu telah terbalik. Lebih lanjut disebutkan bahwa para penumpangnya dipastikan telah tewas tenggelam, setelah kapal motor mereka terbalik lantaran menabrak batu cadas di sebuah titik perairan sungai dengan arus deras penuh riam.
Dua misionaris CP yang bernasib malang itu adalah Pastor Rafael Kleyne CP dan Bruder Gaspard Ridder van der Schueren CP.
Kedua misionaris Belanda dari CP ini tengah berada di sebuah kapal motor dalam perjalanan pulang menuju Tumbang Titi.
Dalam perjalanan mereka pulang dari “pusat kota” Ketapang menuju Tumbang Titi dan harus melalui aliran sangat deras Sungai Pesaguan yang penuh riam dan batu cadas, kapal motor yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan di sebuah titik bagian hilir Tumbang Titi.
Pastor Rafael Kleyne CP dan Bruder Garpard Ridder van der Schueren CP itu dipastikan meninggal, setelah kapal motornya terbalik lantaran menabrak log kayu belian yang mengapung sedkit tenggelam di bawah permukaan air. Begitu terjun ke sungai, tubuh mereka –sekalipun bisa berenang– tidak kuasa menahan kuatnya pusaran riam sehingga kemudian tubuh mereka ikut terseret masuk ke pusaran air dan tenggelam oleh derasnya aliran Sungai Pesaguan.
Mereka dalam perjalanan pulang dari Ketapang menuju Tumbang Titi dengan berlayar dengan Kapal Air bernama “Bintang Timor”.
Bruder Garpard van der Schueren CP tiba sebagai misionaris CP di Ketapang, Kalbar pada tahun 1951. Setahun kemudian, ia meninggal dunia di sungai karena tenggelam.
Almarhum Br. Gaspard Ridder van der Schueren CP ini memiliki keponakan kandung, yakni almarhum Romo Frits van der Schueren SJ.
Sebagai imam misionaris dari Nederland, Romo Frits van der Schueren SJ ini pernah berkarya antara lain di Paroki Blok B, Paroki Theresia, dan Paroki Ekspatriat Jakarta.
Kedua jenazah misionaris Passionis ini dimakamkan di sebuah desa bernama Jungkal. Beberapa tahun lalu, makam itu dibongkar dan kerangka jenazahnya kemudian dipindahkan ke Ketapang.
Kawasan hilir Tumbang Titi dekat Kendawangan
Pesaguan di tahun 1952 adalah sebuah permukiman penduduk yang berlokasi di kawasan hilir Tumbang Titi.
Kini di tahun 2019, Pesaguan itu sudah menjadi suatu kawasan hunian penduduk di mana telah berdiri lembaga administratif pemerintahan sekelas kecamatan.
Dulu sekali, kalau para pastor misionaris itu akan melakukan turne –misalnya harus pergi Tumbang Titi dari Ketapang– maka tidak ada jalan lain lagi selain harus melewati Sungai Pesaguan.
Kalau datang dari arah “pusat kota” Ketapang, maka Pesaguan itu terletak sebelum Tumbang Titi.
Di tahun 2018, untuk mencapai Tumbang Titi dari arah yang sama, penulis membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 8 jam perjalanan dengan naik mobil tipe 4×4 four-wheel drive.
Itu pun harus rela menahan bosan, jenuh, dan banyak “bermatiraga” karena tidak ada rest area, warung makan kadang ada dan kadang malah tidak ada, selain kawasan hutan ilalang dan perkebunan sawit.
Kedua orang misionaris anggota Congregatio Passionis (CP) itu dinyatakan tewas tenggelam di Sungai Pesaguan yang lokasinya tidak seberapa jauh dari Tumbang Titi.
Jasad kedua misionaris CP dari Negeri Belanda itu dimakamkan di Jungkal, tidak jauh dari Tumbang Titi.
Ada catatan penting berikut ini:
10 April 1958: Sudah lama direncanakan untuk memindahkan jenazah Pastor Rafael Kleyne CP dan Br. Gaspard Ridder van der Schueren CP dari Jungkal ke Ketapang. Di belakang tanah pekarangan tanah Susteran di Ketapang sudahdisediakan kuburan.
Untuk keperluan pemindahan kerangka jenazah kedua misionaris CP dari Negeri Belanda ini, maka Pater Bernardinus Knippenberg CP lalu pergi ke Pesaguan bersama Guru Rehal, seorang ahli adat Dayak) dan di Jungkal diberitahu bahwa kuburan akan digali.
Pater Bernardinus pergi ke Tumbang Titi dan segera memberitahu rencana pemindahkan pemakaman ini kepada para imam CP yang tinggal di Tumbang Titi.
Pagi hari, 12 April 1958, setelah sampai tiba kembali ke Kampung Jungkal, di sana telah berkumpul penduduk dan para demong adat. Hukum adat ditentukan, pada mulanya agak besar, kemudian dapat diringankan.
Makam di uburan dibuka dan tulang-belulang itu kemudian dimasukan ke dalam karung belacu. Karung-karung berbahan dasar kain itu telah disediakan oleh Suster OSA, dan setelah diisi dengan tulang-tulang, maka karung-karung belacu itu lalu ditaruh dalam perut perahu air yang digandeng oleh sebuah motor hingga sampai Pesaguan.
12 April 1958: Pastor Bernardinus Knippenberg CP berhasil tiba di Ketapang dengan membawa tulang-belulang kedua misionaris CP.
13 April 1958: Tulang-belulang itu lalu dimasukan ke dalam peti dan di waktu sore hari dikuburkan. Prosesi penguburan ulang ini dipimpin oleh Pastor Canisius Pijnappels CP. Doa didaraskan dalam bahasa Tionghoa, Melayu, dan Indonesia.
Ketika insiden kecelakaan kapal motor ini terjadi di bulan Februari 1952, tentu saja waktu itu belum ada akses jalan raya dari Ketapang menuju Tumbang Titi.
Yang ada hanyalah Sungai Pesaguan yang juga melewati Kendawangan .
Bahkan di bulan Juli 2018 pun, akses jalan raya dari “pusat kota” Ketapang menuju Tumbang Titi masih “belepotan” kisahnya.
Di sepanjang “jalan provinsi” itu, banyak dijumpai kobangan jalan berisi bubur lumpur pekat. Di sana-sini banyak badan jalan belum terkena sentuhan aspal. Di banyak lokasi, jalanan hanya bisa dilalui kendaraan, hanya kalau sang sopir di balik stir bisa mengemudikan roda kendaraan mereka melaju perlahan-lahan di atas dan melalui miting.
Miting adalah bilah-bilah papan kayu yang sengaja dipasan penduduk lokal di Ketapang sebagai tumpuan utama bagi kendaraan agar bisa meniti jalan di mana di bawahnya ada kobangan lumpur.
Jadi bisa dibayangkan betapa besar risikonya, ketika para misionaris asing itu harus “berlayar” menyusuri Sungai Pawan untuk kemudian bersambung ke Sungai Pesaguan di hilir Tumbang Titi.
Jadi, insiden kecelakaan yang telah menewaskan dua misionaris CP di Pesaguan itu sungguh kisah manusia yang dramatis.
Datang dari jauh di Nederland sana, Pastor Rafael Kleyne CP dan Br. Gaspard Ridder van der Schueren CP itu harus mati menyedihkan.
Mereka telah tewas lantaran tenggelam terseret oleh derasnya arus sungai yang begitu “khas” di Ketapang.
Sungai Pesaguan dekat Kendawangan di kawasan hilir Tumbang Titi itu adalah satu contoh “ganasnya” hidup di kawasan pedalaman Ketapang di tahun 1952.
Dan bahkan sampai sekarang di tahun 2019 pun, situasinya juga tidak berubah banyak, setiap kali menyusuri aliran sungai selama perjalanan turne.
Jadi, jangan main-main dengan aliran sungai di Ketapang. (Berlanjut)