SIAPA pun yang pernah datang blusukan masuk kawasan pedalaman dan
hulu Kabupaten Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat, maka akan menjadi mahfum akan
beberapa hal berikut ini.
- Medan perjalanan di seluruh pelosok pedalaman Kabupaten Ketapang itu luar biasa berat dan penuh tantangan.
- Tidak ada jalan mulus beraspal, selain hanya ada di Kota Ketapang dan dari “pusat kota” menuju Kendawangan dan arah ke Sandai. Itu pun tidak semuanya sudah mulus dan beraspal. Lepas dari badan jalan beraspal, lalu kembali ke “zaman purba” berupa jalan tanah berbatu-batu dan licin di kala musim hujan.
- Selebihnya dan dalam perjalanan lanjutan, maka yang tersedia hanyalah kondisi jalan tanah dengan tekstur permukaan berbatu-batu, pasir, lumpur sehingga di musim hujan menjadi penuh kobangan bubur lumpur dan penuh lautan debu di musim kemarau.
- Beberapa kawasan hanya bisa dijangkau melalui “jalan perusahaan” dan aliran sungai seperti jalan menuju Sepotong, Beringin, Randau Limat, dan kawasan lainnya.
- Di banyak kawasan permukiman belum atau tidak tersedia pasokan listrik PLN, maka sinyal HP tidak tersedia.
Ya, sekarang ini masih begitu
Paparan kondisi fasilitas publik seperti di atas itu tidak terjadi di tahun 1949. Itulah waktu, ketika para suster misionaris OSA generasi awal mulai menginjakkan kakinya di Ketapang tanggal 6 Desember 1949.
Sungguh, sama sekali bukan. Tapi kondisi itu masih terjadi sekarang di bulan April 2019.
Jadi, kalau di tahun 2019 – setelah 74 tahun Indonesia merdeka— jalan di Kabupaten Ketapang masih sangat “belepotan”, maka tidak bisa dibayangkan bagaimana “peta fisik” model perjalanan di zaman dulu. Yakni, ketika para suster misionaris OSA dan para pastor misionaris Congregatio Passionis (CP) harus meninggalkan “pusat kota” di Ketapang menuju daerah-daerah hulu dan kawasan pedalaman untuk misi pewartaan.
Foto-foto dokumentasi koleksi Kongregasi OSA dan Passionis (CP) di Keuskupan Ketapang sudah bisa “bicara banyak” tentang kebiasaan para suster-imam misionaris itu ketika mereka melakoni turne .
Inilah sebuah pola perjalanan mereka setiap kali mengunjungi umat di kawasan hulu dan pedalaman.
Salah satunya –hal yang tidak biasa di Jawa—adalah suster dan pastor bersama naik sepeda motor berboncengan. Manakala rombongan tidak ada pastornya, maka suster OSA harus rela membonceng pengemudi pria lain.
“Hal seperti ini sudah biasa kami lakukan sejak dulu dan bahkan sampai sekarang,” tutur Sr. Sesilia OSA kepada penulis di Biara OSA Ketapang di awal Februari 2018.
Seragam tempur
Tiba-tiba saja muncul istilah “seragam tempur” para suster OSA setiap kali melakukan perjalanan turne ke kampung-kampung atau harus “berlayar” menyusuri peta aliran sungai menuju kawasan hulu.
Yang dimaksudkan dengan istilah “seragam tempur” lapangan untuk para suster OSA itu tidak lain model busana khusus yang harus mereka kenakan, ketika misalnya harus naik sepeda motor atau malah berboncengan dengan pengemudi pria yang mesti “membawa” mereka bisa berpergian.
Dari dulu sampai sekarang, pola berbusana “seragam tempur” dan kalau perlu bahkan harus berboncengan dengan kaum pria –apakah itu pastor, imam, dan pria awam—masih sering dialami para suster OSA setiap kali mereka melakukan turne.
“Di Jawa atau tempat lain, mungkin pemandangan suster boncengan naik sepeda motor sama pria itu dirasa kurang ‘sedap dipandang’ dan bisa menimbulkan interpretasi macam-macam. Tapi di medan juang pastoral di Keuskupan Ketapang, hal itu sudah sangat jamak alias lazim terjadi,” papar Sr. Sesilia OSA, suster senior pengampu program pendampingan para suster junior.
Di Ketapang, pemandangan seperti itu tidak perlu menimbulkan banyak penafsiran yang tidak perlu.
“Medan juang di lapangan yang becek dan penuh debu serta deburan lumpur basah mau tak mau telah memaksa kita memakai ‘seragam tempur’ tersebut. Dan kalau perlu, maka berboncengan pun tak mengapa dan hal itu sering terjadi,” paparnya.
Meniti miting
Busana biara khas “seragam tempur” para suster OSA itu terdiri dari kap kepala, busana atas biarawati, dan celana panjang.
Kalau pun suster OSA harus naik sepeda motor sendiri, maka dia bisa duduk ngangkang di atas sadel atau duduk ngangkang di belakang pengemudi.
Jadi, mandi lumpur basah karena terkena cipratan air atau bahkan “terjun bebas” masuk ke kobangan lumpur karena badan tak seimbang saat meniti miting adalah hal biasa bagi para suster OSA di wilayah kerja Keuskupan Ketapang.
Miting adalah jalan titian berupa gelondongan atau lapisan kayu yang berdiri di atas kobangan lumpur di mana roda-roda sepeda motor dan mobil bisa melaju perlahan. Salah keseimbangan badan, maka tubuh berikut motornya bisa jatuh terpeleset dari miting. Salah stir, maka roda mobil bisa selip dan tidak bisa jalan.
Korban bencana miting sudah banyak. Salah satunya adalah Romo Simon Yogatama Pr, imam diosesan Keuskupan Ketapang.
Pastor insinyur teknik industri ini pernah mengalami rontok gigi bagian rahang depan, lantaran sepeda motornya selip dan kemudian terperosok jatuh dari ketinggian 2 meteran, ketika berjalan melaju dan meniti di atas titian miting.
Lalu, merasa kapok kah sang pastor asal Yogyakarta ini dengan insiden kecelakaan tunggal ini?
Ternyata tidak. Romo Simon Pr malah mengaku dirinya sungguh bisa sangat menikmati perjalanan turne dengan naik sepeda motor.
Dan ternyata, pengalaman avonturir melakukan turne seperti itulah yang telah memotivasi Pastor Simon Yogatama Pr lalu memilih jadi imam diosesan untuk Keuskupan Ketapang. Dan bukan tempat (keuskupan) lainnya. (Berlanjut)