KURUN waktu tahun1959-1960 adalah masa-masa sulit bagi segenap misionaris asing –terutama yang datang dari Negeri Belanda—yang tinggal di Indonesia. Suasana tegang dan tak menentu itu juga melanda hati para suster OSA misionaris dari Nederland di Ketapang dan Tumbang Titi, Kalbar.
Rasa tidak aman secara psikis itu dialami oleh para suster misionaris OSA generasi pertama yang berjumlah lima orang dan yang sudah 10 tahun hidup di Ketapang dan kemudian juga di Tumbang Titi, sejak mereka tiba di Ketapang tanggal 6 Desember 1949. Suster-suster misionaris OSA lainnya generasi kedua dan ketiga yang datang di tahun-tahun berikut juga mengalami rasa kegelisahan yang sama.
Mereka ini sama-sama terkena imbas negatif dampak krisis politik yang sepanjang tahun 1957-1959 tengah serius membebati Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Aski polisionil vs. agresi militer Belanda
Dalam sejarah nasional Indonesia, kita mengenal dua istilah berbeda namun sejatinya keduanya mencerminkan satu peristiwa yang sama.
Pemerintah Kerajaan Belanda lebih suka menyebutnya dengan terminologi “Aksi Polisionil” untuk mengesankan sebagai aksi aparat keamanan guna menegakkan tata tertib sipil di bekas negara Hindia-Belanda (baca: Indonesia). Sengaja memakai istilah “polisionil”, karena pihak kolonial ingin memainkan fungsinya sebagai penertib tata sosial sipil yang di mana-mana selalu diampu oleh polisi.
Namun, Pemerintah RI dengan sengaja memiliki kosa kata sendiri untuk menyebut “Aksi Polisionil” tersebut. Kita mengerti mengapa di buku-buku sejarah nasional menulis istilah “Agresi Militer Belanda”.
Dengan istilah “agresi” (dari kata bahasa Inggris aggression yang berarti datang menyerbu, menyerang masuk ke wilayah negara lain), maka yang ingin ditonjolkan justru “semangat” berbeda.
Ini bukan lagi gerakan penertiban tata sosial sipil atau penegakan law-and-order yang di dunia internasional selalu saja menjadi ranah kerjaan polisi. Melainkan ini aksi militer –ngajak perang sungguhan—dengan tujuan jangka panjang: ingin menguasai kembali Indonesia di bawah rezim kolonial Pemerintah Kerajaan Belanda.
Dua kali aksi militer
Aksi Polisionil atau juga dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda adalah operasi militer yang dilancarkan oleh militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia. Terjadi dua kali Agresi Militer Belanda di Indonesia yakni:
- Agresi pertama berlangsung mulai 21 Juli sampai 5 Agustus 1947.
- Agresi kedua terjadi sejak 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949.
Memanglah, ini urusan politik dan militer antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Belanda yang berdampak luas atas muncul sentimen anti Belanda di Indonesia. Atmosfir rasa tidak suka ini sangat menghangat di banyak organ Pemerintah RI sebagai reaksi politik atas terjadinya dua kali insiden Agresi Militer Belanda di Jawa dan Sumatera pada tahun 1947 dan tahun 1949.
Konferensi Meja Bundar di Amsterdam
Dwi Tunggal Soekarno-Hatta resmi mendeklarasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tahta Suci Vatikan termasuk satu dari negara dan pemerintahan asing yang langsung mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI.
Pemerintah Kerajaan Belanda baru resmi dan secara politik mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Jadi, pengakuan itu baru kesampaian resmi dilakukan oleh Pemerintah Belanda selang empat tahun usai Proklamasi.
Peritiwa inilah yang sering kita kenal dalam sejarah nasional sebagai “penyerahan kedaulatan negara” soevereiniteit overdracht dari Pemerintah Kerajaan Belanda ke Pemerintah RI.
Yang segera terjadi, luapan kegembiraan menyeruak di mana-mana.
Sebuah artikel bertitel Indonesia Opens New Chapter as Sovereign State muncul di harian Canberra Times edisi 29 Desember 1949 dengan kalimat berikut ini: “Drum berhias pita merah putih ditabuh di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, hingga Timor.”
“Hari ini, Batavia kembali ke nama lamanya: Jakarta,” tulis koran terbitan Australia ini.
Namun, sejarah mencatat perjalanan panjang untuk peristiwa soevereiniteits overdracht ini.
Upacara penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia digelar tiga kali.
- Sidang pertama terjadi di Istana Op De Ham di Amsterdam, Nederland.
Wapres RI sekaligus PM Drs. Mohammad Hatta memimpin delegasi Indonesia hadir di .
“Kedua negara –yakni Indonesia dan Belanda— tidak lagi saling berlawanan, kini kita berdiri berdampingan,” ungkap Kepala Negara Kerajaan Belanda Ratu Juliana usai menandatangani naskah perjanjian soevereiniteit overdracht tersebut.
Menggunakan bahasa Indonesia, Bung Hatta menimpali pentingnya penyelesaian damai guna mengakhhiri konflik dengan pernyataan berikut ini:
“Empat tahun lamanya, rakyat kita timbal balik hidup dalam persengketaan, karena merasa dendam di dalam hati. Bangsa Indonesia dan Bangsa Belanda, kedua-duanya akan mendapat bahagianya. Anak-cucu kita, angkatan kemudian akan berterima kasih pada kita.”
- Di Istana Negara Jakarta terjadi seserahan kedaulatan
Wakil Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia Tony Lovink menyerahkan mandat kedaulatan kepada rekannya dari Indonesia: Wakil PM Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Setelah penandatanganan naskah perjanjian, Sri Sultan dan AJJ “Tony” Lovink keluar dari ruangan dalam Istana dan mereka berdiri di halaman depan Istana menyaksikan bendera Belanda mulai diturunkan.
“Sebentar terdengar sorakan, tapi segera berhenti,” demikian diungkapkan Herman Burgers, tentara Belanda yang menjadi saksi peristiwa tersebut — meski hanya lewat radio– dalam bukunya De Garoeda en de Ooievaar dari situs Radio Nederland.
Lalu, kemudian yang terjadi adalah kesenyapan. Semua diam.
Bendera Merah Putih lalu ditarik naik untuk dikibarkan. Namun, kata Herman dalam memoarnya itu, sempat terjadi “kecelakaan” di mana penarikan bendera Merah Putih itu tiba-tiba tersangkut talinya macet.
Seorang prajurit Belanda membantu prajurit untuk segera bisa membereskannya. Dalam sekejap, Merah Putih lalu bisa berkibar di udara sehingga tempik sorak pun pecah.
- Upacara ketiga terjadi di Gedung Negara Yogyakarta
Di tengah jalannya rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), Presiden Soekarno menyerahkan mandat kekuasaannya kepada Assaat, Ketua KNPI saat itu.
Namun kemudian, Assaat sebagai Wakil Republik Indonesia yang berdiri sejak 17 Agustus 1945 kembali menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia (RI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang waktu itu lagi-lagi juga diwakili oleh presiden terpilih: Bung Karno sendiri.
“Yang bagi saya penting adalah tindakan simbolisnya. Assaat telah menyerahkan sebuah kotak kayu berisi bendera yang pada tanggal 17 Agustus 1945 dikibarkan di Jl. Pegangsaan Timur 56. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati,” kata Herman sebagaimana pernah dikutip dalam artikel terbitan Liputan6.com tahun 2007 oleh Elin Yunita Kristanti.
Mengutip pendapat Herman, Elin menulis bahwa seremoni ketiga di Gedung Negara Yogyakarta itu punya arti sangat penting.
“Upacara ini harus berlangsung karena kedaulatan Indonesia tidak hanya berdasarkan pada yang diterimanya dari Belanda,” papar Herman Burgers yang dengan tegas menambahkan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 itu hasil perjuangan rakyat Indonesia, bukan hadiah pemberian Belanda.
60 tahun kemudian
Pengakuan resmi berikutnya terjadi 60 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Pada tanggal 16 Agustus 2005 –tepat sehari jelang peringatan 60 tahun Kemerdekaan Indonesia– Menlu Pemerintah Belanda Bernard Rudolf Bot di Gedung Departemen Luar Negeri di Jakarta mengatakan Amsterdam resmi mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Inilah untuk pertama kalinya Pemerintah Belanda mengirim utusan penting untuk menghadiri acara peringatan Hari Kemerdekaan RI di Jakarta.
“Ini adalah pertama kalinya sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya bahwa seorang anggota pemerintah Belanda akan menghadiri perayaan tersebut. Dengan kehadiran saya, pemerintah Belanda mengekspresikan penerimaan politik dan moral,” kata Bernard “Ben” Rudolf Bot, Menlu Belanda kelahiran Batavia tahun 1937.
Ben adalah anak kandung Theo Bot yang dalam Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia waktu itu menjabat Minister Pendidikan, Kebudayan, dan Ilmu Pengetahuan sekaligus Menteri Kerjasama Pembangunan.
Dampak politik pastoral
Berbagai kisah perjalanan politik bangsa Indonesia dalam pertautannya dengan Negeri Belanda itulah yang membuat Pemerintah RI lalu “bersikap keras” terhadap para warga Belanda di Indonesia. Sikap tegas itu juga lalu berimbas tak terkecuali kepada para imam, suster, dan bruder misionaris asal Nederland.
Tahun-tahun 1960-an itu, praktis seluruh kegiatan “ekspor tenaga pastoral asing” dari Nederland ke Indonesia terhenti total. Pasokan misionaris asing kemudian datang dari negara-negara berbeda –masih dari Eropa juga—namun bukan lagi dari Nederland.
Para misionaris asing itu datang dari belahan bumi Eropa lainnya yakni Jerman, Swiss, Polandia, Italia, Inggris, Perancis, Irlandia, dan lainnya.
Pilihan sulit
Para misionaris asing Belanda yang sudahkadung (telanjur) datang dan berada di Indonesia kini dihadapkan pada situasi kebatinan yang amat sulit. Terutama ketika Pemerintah RI di bawah Presiden Soekarno lalu merilis semacam “ultimatum politik” yang kurang lebih berbunyi demikian.
Mau lanjut apa tidak dengan karya pastoral kalian di Indonesia?
Kalau mau lanjut tetap bisa berkarya di Indonesia, maka segera lakukan proses naturalisasi kewarganegaraan. Bila tidak (mau) lanjut, segera tutup karyamu dan kalian harus pulang balik ke Negeri Belanda.
Sejarah misi para suster OSA menoreh goresan tinta emas.
Para suster misionaris OSA itu ternyata menyikapi ultimatum itu dengan “jiwa besar, rela berkorban”.
Mereka memutuskan mantap mau lanjut terus berkarya di Indonesia dan serentak pula bersedia menanggalkan kewarganegaraan Belanda mereka demi karya misi di Ketapang, Kalbar.
Singkat cerita, akhirnya Sr. Clementina OSA, Sr. Desideria OSA, Sr. Euphrasia Laan OSA, dan Sr. Prudentia OSA harus secepatnya meninggalkan Ketapang dan Tumbang Titi menuju Pontianak untuk bisa mengikuti “ujian menjadi WNI”.
Peristiwa yang “makan batin dan emosi” ini terjadi di bulan Agustus 1959.
Caritas Christi urget nos.Cinta akan Tuhan akhirnya memotivasi kita.