KETAATAN bagi para Jesuit dulu sekali sering kali digambarkan sebagai sikap layaknya cadaver (mayat) yang siap dibawa kemana pun oleh seorang yang buta. Atau, sering juga diilustrasikan sebagai tongkat di tangan orang buta.
Dengan demikian, para Jesuit itu lalu memaknai kaul ketaatannya kepada Superior itu sebagai pasrah bongkokan alias mau disuruh apa saja dan kemana saja harus mau dan tunduk pada perintah atau tugas yang diberikan oleh Pembesar.
“Befehl ist befehl. Perintah adalah perintah,” demikian almarhum Romo Albert Rutten SJ mengatakannya dalam sebuah sesi pengajaran tentang ketaatan kepada para Novis SJ tahun 1982 untuk menggambarkan betapa “berkuasanya” Superior atas para Jesuit.
Sekedar tahu saja, kata Romo Rutten SJ yang waktu itu menjadi Socius Magister Novis SJ, ujaran berbahasa Jerman itu muncul dari mulut Adolf Hitler. Dan ujaran itu sengaja dia pakai hanya sebagai ilustrasi betapa dalam Societas Iesu (SJ) itu, ketaatan menjadi “nafas penting” bagi setiap pelaku hidup bakti, baik religius imam, suster dan bruder.
Pengganti Tuhan
Tentu makna ketaatan seperti ilustrasi di atas itu berbeda “nuansanya” dengan model ketaatan yang dirasakan oleh para suster muda OSA. Terutama, ketika Novis-novis pribumi asal Ketapang di Kalbar itu di kurun waktu tahun 1954-1959 mulai menapaki jalan pertamanya menuju laku hidup bakti sebagai Postulan dan Novis Kongregasi Suster St. Augustinessen.
“Pemimpin itu bagaikan pengganti Tuhan sendiri,” ungkap Sr. Maria Goretti OSA ketika berkisah tentang pengalamannya menjadi Novis OSA angkatan kedua di Ketapang tahun 1959.
Menurut Sr. Ancilla OSA dan Sr. Maria Goretti OSA, ada tiga hal penting yang mereka lakoni sebagai “cara bertindak” para suster OSA sebagaimana selalu diajarkan oleh Sr. Clementina OSA,magistra bagi empat orang Novis angkatan kedua di Novisiat OSA Ketapang.
- Yang pertama dan yang utama adalah kedisiplinan. “Tidak hanya harus bisa selalu hadir tepat waktu untuk kegiatan apa saja. Tetapi juga disiplin diri dalam mengatur gaya hidup,” papar Sr. Maria Goretti OSA dalam sebuah wawancara.
- Hal yang kedua dan juga penting adalah ketaatan. “Tidak mungkin ada ketaatan, kalau tidak bisa disiplin diri dan tepat waktu. Apa yang dikatakan oleh pemimpin harus kita ikuti. Ibaratnya, kata-kata beliau itu bertuah sekali. Pemimpin itu bak pengganti Tuhan di dunia dan itulah yang diajarkan kepada kami – para Novis OSA angkatan kedua di tahun 1959 itu,” jelasnya lagi.
- Hal ketiga adalah hidup doa yang tertib dan teratur. “Setiap kali terdengar bunyi bel, maka kita langsung cepat-cepat meninggalkan semua kegiatan dan langsung menuju kapel untuk berdoa….Namun, berdoa juga tidak akan terjadi dengan baik dan tertib tanpa terlebih dahulu ada disiplin diri dan taat pada regulae hidup bakti,” demikian penegasan Sr. Maria Goretti OSA mengenang masa-masa pendidikan dasarnya sebagai Novis OSA angkatan kedua tahun 1959.
Memohon dengan rendah hati
Mengenai pokok-pokok pendidikan dasar tersebut, Sr. Maria Regina OSA juga pernah mengatakan hal yang sama.
Kali ini, suster berdarah Tionghoa dan sudah merayakan pesta emas hidup membiara di tahun 2016 lalu itu bicara tentang apa artinya “menjadi” suster biarawati OSA yang harus bisa taat dan bersikap rendah hati.
Saat ditanyai oleh beberapa suster OSA medior dalam rangka program pengembangan diri bersama Words2Share –sebuah gerakan literasi media dan berbagi—Sr. Maria Regina OSA lalu memperagakan diri bagaimana caranya para Novis OSA di tahun 1959 itu ketika harus datang kepada Magistra untuk boleh minta keperluan sehari-hari kepada Pemimpin Novis.
“Saya harus berlutut dengan lalu menengadahkan muka ke atas sembari menjulurkan telapak tangan kepada Magistra,” paparnya di medio tahun 2018.
“Lalu kita harus mengatakan hal yang ingin kita minta kepada Suster Magistra: ‘Suster, saya mohon kepada Suster agar berkenan bisa memberi kepada saya sabun dan sikat gigi …’ Dan begitulah cara kami dulu dilatih untuk belajar taat, rendah hati, dan bersemangat miskin,” ungkap Sr. Regina OSA.
Calon suster OSA pribumi
Di Novisiat OSA Ketapang di bawah asuhan Sr. Clementina OSA, irama pembinaan dan pendidikan dasar sebagai Postulan dan Novis calon Suster OSA itu berlangsung ketat dan tertib.
Beberapa anak asrama Susteran OSA Ketapang yang sudah merasakan denyut nadi model gemblengan tersebut menjadi tidak kaget, ketika mereka memasuki “alam lain” setelah resmi berbusana calon rohaniwati sebagai Postulan dan Novis.
Harap diingat kembali bahwa beberapa murid Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) di Asrama Biara OSA itu pada akhirnya masuk menjadi anggota Kongregasi OSA dan menjadi suster biarawati St. Augustinessen.
Nyatanya, gelombang penerimaan masuk para calon suster OSA dari kalangan pribumi lokal –baik Dayak maupun Tionghoa—dari seluruh penjuru Ketapang itu kian tahun malah kian bertambah.
Berikut ini kronik peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pasca diresmikannya Biara OSA yang baru di Jl. Pal (kini bernama Jl. Jenderal Sudirman) Ketapang:
- 15 Mei 1957: Sr. Joanita OSA tiba di Ketapang langsung dari Nederland. Ia berprofesi sebagai bidan.
- 11 Oktober 1957: Vikaris Apostolik Ketapang Mgr. Gabriel Wilhemus Sillekens CP memberkati kompleks Biara OSA Ketapang yang terdiri dari tiga unit bangunan yakni Susteran, Asrama, dan “Sekolah” (SKP, Sekolah Kepandaian Puteri).
- 13 Oktober 1957: SKP Ketapang mulai beroperasi.
- 13 November 1957: Sr. Loretta OSA dan Sr. Luca OSA tiba di Ketapang, juga langsung datang dari Nederland.
- 14 Maret 1958: Sr. Joanita OSA memulai karyanya sebagai bidan di Tumbang Titi.
- 27 Mei 1958: Tiga orang Postulan generasi kedua memasuki masa pendidikan sebagai Novis. Ketiga Novis OSA angkatan kedua ini adalah Sr. Nicolaus Sina, Sr. Bernadette Sofia, dan Sr. Maria Goretti. Mereka di bawah bimbingan Sr. Clementina OSA sebagai Pemimpin Novis.
- 28 Agustus 1958: Empat Novis angkatan pertama mengucapkan kaul-kaul religius sebagai Suster OSA.(Berlanjut)