TANGGAL 20 Agustus 1955 menjadi hari penting bagi Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah (St. Augustinessen, OSA). Namun, tidak berlebihan juga kalau kita mau mengatakan bahwa tanggal yang sama itu juga punya makna khusus bagi Congregatio Passionis (CP).
Ini bak kata pepatah yang sering berlaku di dunia korporasi bisnis. Jalinan kerjasama itu selalu saja bisa saja terjadi, manakala koordinasi dan kegiatan saling membantu itu akhirnya membawa dampak positif yang bermanfaat dan menguntungkan kedua belah pihak.
Karya misi Congregatio Passionis
Tiga orang pastor Congregatio Passionis (CP) datang dari Negeri Belanda mengawal karya misi awal mereka di Ketapang. Kisah awal karya misi CP ini terjadi beberapa tahun sebelum Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah –biasa disebut Augustinessen atau OSA— menginjakkan kaki di Tanah Kayong.
Para pastor perintis karya misi CP di Kalbar sudah hadir di Ketapang sejak bulan Juli 1946. Sementara, Augustinessen baru datang di akhir tahun 1949.
Ketiga pastor pionir pembawa awal misi CP ke Ketapang itu adalah Pastor Canisius Pijnappels CP, Pastor Bernardinus Knippenberg CP, dan Pastor Plechelmus Dullaert CP.
Mereka datang atas rekomendasi dan permintaan Mgr. Tarcisius TJ Valenberg OFMCap dalam kapasitasnya sebagai Vikaris Apostolik Borneo Belanda yang waktu itu berkedudukan di Pontianak.
Kronik peristiwa CP di Ketapang
Berikut ini sedikit kisah balik karya awal misi para pastor dan bruder CP di Ketapang.
Tahun 1939, Pater Dominikus selaku Propinsial CP Provinsi Belanda resmi menunjuk tiga orang imam perintis misi Congregatio Passionis ke Kalbar, khususnya di Ketapang.
Namun, Pastor Theophile Seesing CP urung berangkat karena jantungnya tiba-tiba bermasalah. Akhirnya, Pastor Plechelmus Dullaert CP lalu menggantikannya sebagai misionaris.
Tanggal 12 Juni 1946, ketiga imam misionaris CP angkatan pertama itu memulai perjalanan layarnya. Mereka meninggalkan Joskade Rotterdam di Nederland dengan menumpang kapal militer Bolendam menuju Indonesia via Southampton di Inggris, Port Said di Sinai-Mesir, Colombo di Srilanka, dan Singapura, hingga akhirnya berhasil tiba di Batavia (Jakarta) tanggal 26 Juli 1946.
Perjalanan dari Belanda menuju Jakarta itu terjadi dalam kurun waktu mulai tanggal 12 Juni hingga menjelang akhir Juli 1946.
Begitu tiba di Batavia, kedatangan mereka sudah disambut oleh para imam Fransiskan Kapusin dan kemudian diinapkan di Biara OFM di kawasan Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Begitu tiba di Jakarta, maka pada tanggal 26 Juli 1946, mereka bertiga langsung terbang dari Batavia dengan pesawat Dakota menuju Pontianak.
Tugas pertama sudah menanti
Berikut ini daftar tugas pertama yang langsung mendarat di pundak ketiga imam misionaris CP begitu tiba di Pontianak bulan Juli 1946.
- Pastor Plechelmus Dullaert CP langsung berlayar menuju Ketapang.
- Pastor Canisius Pijnappels CP langsung ke Nyarumkop, Singkawang.
- Pastor Bernadinus Knippenberg CP sebagai superior misi tetap tinggal beberapa bulan di Pontianak. Ia merasa perlu mempelajari garis-garis besar karya pastoral, administrasi, kearsipan kebijakan misi, pemerintahan, agama lain, dan belajar bahasa Hok Lo.
Tanggal 1 Oktober 1946, Pastor Bernardinus Knippenberg CP akhirnya tiba di Ketapang, setelah beberapa bulan lamanya tinggal di Pontianak untuk mempelajari banyak hal.
Bulan November 1946, semua imam misionaris CP yang hanya “berjumlah” tiga orang itu telah lengkap berada di Ketapang. Selanjutnya, Pastor Canisius Pijnappels CP dan Pastor Plechelmus Dullaert CP langsung bertolak menuju Tumbang Titi.
Sedangkan Pastor Bernardinus Knippenberg CP tetap tinggal di “pusat kota” Ketapang untuk reksa pastoral Umat Katolik berbahasa Mandarin dan lainnya.
Waktu itu, jumlah umat kurang lebih sudah ada 140-an orang dari total jumlah keseluruhan sebanyak 600-an orang di seluruh penjuru Ketapang.
Sampai Juni 1947, dua orang imam Fransiskan Kapusin (OFMCap) masih ikut membantu karya reksa pastoral di Ketapang. Mereka itu adalah Pater Martinus OFMCap dan Pastor Leo de Jong OFMCap.
Tanggal 1 Juli 1950, Vikaris Apostolik Borneo Belanda Mgr. Tarcicius TJ van Valenberg OFMCap mengangkat Pater Raphael Kleyne CP sebagai vicarius delegatus daerah misi Ketapang.
Tanggal 27 Februari 1952, bersama Bruder Gaspard Ridder van der Schueren CP, Pastor Raphael Kleyne CP tewas tenggelam di Sungai Pesaguan.
Keduanya tengah dalam perjalanan pulang dari Ketapang menuju Tumbang Titi dengan menumpang perahu air “Bintang Timor”. Namun, kapal air itu lalu menabrak gelondongan kayu belian, saat moda transportasi perairan itu berlayar menyusuri sungai dari Ketapang ke kawasan hilir di Tumbang Titi.
Tahun 1953, Pastor Gabriel Wilhemus Sileken CP diangkat menjadi Superior Congregatio Passionis untuk daerah misi Ketapang sekaligus menjabat vicarius delegatus misi untuk wilayah yang sama.
Sebelum berangkat ke Ketapang menjadi misionaris, Pastor Gabriel W. Sillekens CP adalah Provinsial Congreatio Passionis Provinsi Belanda. “Setelah selesai menjalani tugas sebagai Pemimpin CP Provinsi Belanda, dia pergi ke Indonesia dan menjadi misionaris di Ketapang sejak tahun 1952,” papar Pastor Cornelis Frumau CP, satu-satunya pastor misionaris CP asal Belanda yang masih tinggal dan hidup di Indonesia tahun 2019 ini.
Di bulan Juni 1954, atas izin Paus Pius XII, maka berdirilah Praefektur Apostolik Ketapang.
Tahta Suci Vatikan lalu menunjuk Pastor Gabriel Wilhelmus Silekens CP, mula-mula sebagai:
- Praefek Apostolik Ketapang: 25 Agustus 1954–3 Januari 1961.
- Administrator Apostolik Ketapang: 3 Januari 1961–2 April 1962.
- Uskup Keuskupan Ketapang: 2 April 1962–15 Maret 1979.
CP gandeng OSA menggarap Ketapang
Namun, wilayah Ketapang itu sungguh terlalu luas bagi para imam dan bruder misionaris CP.
Karena itu, sudah sedari akhir tahun 1948, Vikaris Apostolik Borneo Belanda Mgr. Tarcisius TJ Valenberg OFMCap sudah mantap berkeputusan ingin “menggandeng” para suster Augustinessen dari Heemstede (OSA) agar bersedia datang menyemai karya misi di Ketapang.
Permintaan ini akhirnya menemukan perwujudannya dengan datangnya lima orang suster muda OSA yang berhasil mendarat tiba di Ketapang tanggal 6 Desember 1949.
Jadi, kedatangan lima orang suster OSA di Ketapang itu terjadi dalam kurun waktu empat tahun kurang sebulan, setelah sebelumnya para imam dan bruder misionaris Congregatio Passionis (CP) sudah berjibaku terlebih dahulu melayani Umat Katolik di Ketapang.
Kedatangan lima orang suster OSA itu sudah didesain oleh Mgr. Tarcisius TJ van Valenberg OFM sebagai tenaga Gereja untuk mengurusi karya kesehatan dan pendidikan.
Karya kesehatan itu langsung bisa dieksekusi, hanya tiga hari setelah kelima suster OSA yang masih “bau kencur” itu tiba di Ketapang.
Tiga suster OSA langsung bekerja sebagai perawat di RS Daerah Ketapang. Mereka adalah Sr. Maria Paolo OSA, Sr. Desideria OSA, dan Sr. Mathea Bakker OSA.
Dua lainnya yakni Sr. Euphrasia Laan OSA dan Sr. Prudentia OSA mengurusi rumah tangga biara.
Menggarap Tumbang Titi
Pada tanggal 10 Februari 1952, datanglah dua suster OSA kategori senior yang merupakan angkatan kedua misionaris OSA ke Ketapang.
Mereka itu adalah Sr. Wulfrana OSA dan Sr. Clementina OSA.
Sr. Wulfrana OSA didapuk menjadi Kepala Biara OSA Ketapang guna menggantikan Sr. Euphrasia Laan OSA yang masih kategori yunior banget. Sementara, Sr. Clementina OSA menggarap karya pendidikan non formal dan merintis asrama.
Kehadiran mereka berdua ini terjadi, setelah kunjungan visitasi Pemimpin Umum Kongregasi OSA Moeder Sr. Agneta OSA ke Ketapang di tahun 1950.
Lalu di bulan Juni tahun 1953, Tumbang Titi menerima kehadiran Sr. Euphrasia Laan OSA dan Sr. Desideria OSA yang kemudian merintis karya kesehatan (polikinik).
Hanya selang setahun kemudian, persisnya tanggal 7 Agustus 1954, datang lagi Sr. Adriana OSA dan Sr. Prudentia OSA ke Tumbang Titi untuk membuka karya pendidikan non formal dan asrama.
Namun, Sr. Adriana hanya sempat beberapa bulan saja tinggal di Tumbang Titi –dari Agustus hingga November di tahun yang sama— karena kemudian dia ditarik kembali ke Ketapang.
Dampak positif bagi CP
Kedatangan rombongan para suster OSA, baik di Ketapang dan di Tumbang Titi, itu di kemudian hari sangat memberi dampak positif bagi karya misi pastoral yang diampu oleh para pastor CP di seluruh wilayah Ketapang.
Sebagaimana dikatakan oleh Pastor Mauritius Mestrom CP dalam sebuah wawancara di tahun 2005, khalayak ramai di Ketapang merasa terpesona oleh pelayanan murah hati dan penuh perhatian dari para suster biarawati Augustinessen (OSA) ini.
Akibatnya, para pastor CP lalu ikut menangguk “untung politik”.
Berikutnya, sosialisasi mereka di khalayak ramai kian menjadi lebih lancar dan berjalan lebih baik.
Kisah-kisah kerjasama yang baik dan berdampak positif yang berhasil dituai bersama oleh Congregatio Passionis dan Kongregasi OSA ini kiranya menjadi pembicaraan hangat antara Moeder St. Agneta OSA dan Pater Raphael Kleyne CP di Ketapang tahun 1950.
Itulah pertama kalinya Moeder Sr. Agneta OSA selaku Pemimpin Umum Kongregasi OSA Nederland berhasil datang mengunjungi Ketapang dan kemudian bertemu dengan Pater Raphael Kleyne CP selaku Superior Misi CP di Ketapang.
Visitasi pertama Sr. Agneta OSA di Ketapang ini berlangsung selama satu bulan penuh.
Membangun biara OSA di Pal 2
Pertemuan kedua Moeder Sr. Agneta OSA dengan petinggi Misi CP Ketapang terjadi lima tahun kemudian yakni di tahun 1955.
Namun di tahun 1955, Moeder Sr. Agneta OSA malah bisa bertemu Mgr. Gabriel Sillekens CP yang saat itu sudah menjadi Praefek Apostolik Ketapang.
Yang terjadi kemudian dan ini lagi-lagi rangkaian kerjasama sangat baik antara OSA dan CP.
Ketika OSA melontarkan ide besar ingin membangun kompleks biara baru sebagai ganti “bangunan biara” di rumah kontrakan di Jl. Radio (kini Jl. Urip Sumoharjo) Ketapang, maka prakarsa itu langsung mendapat respon positif dari Congregatio Passionis melalui Mgr. Gabriel W. Sillekens CP selalu pemangku otoritas Gereja Katolik di Ketapang.
“Segera setelah visitasi selesai, maka Moeder Sr. Agneta OSA langsung pulang meninggalkan Ketapang menuju Nederland. Namun, beliau pulang dengan membawa mandat dari kami, para suster OSA misionaris di Ketapang—yang sebelumnya mengatakan kepada beliau soal kemendesakan untuk segera dibangunkan rumah biara baru,” tutur Sr. Mathea Bakker OSA di Nederland tahun 2005, seraya mengingat detil diskusi soal pembangunan biara baru OSA di Ketapang tahun 1955.
“Kami membutuhkan bangunan biara baru. Itu karena jumlah suster yang telah datang ke Ketapang sudah ada lebih dari delapan orang. Sementara, rumah kontrakan untuk bangunan biara menjadi terlalu kecil untuk kami dan anak-anak asrama. Pun pula, di tahun 1955 itu, jumlah anak-anak asrama juga sudah bertambah semakin banyak,” ungkapnya.
Mari kita sekedar mengingat memori di masa lampau.
Di tahun 1955 itu, para suster OSA yang telah tinggal berada di “pusat kota” Ketapang adalah Sr. Wulfrana OSA (Superior), Sr. Clementina OSA (karya asrama dan kemudian novisiat). Lalu juga, Sr. Mathea Bakker OSA, Sr. Maria Paulo OSA, dan Sr. Prudentia OSA – ketiganya menjadi perawat di RS Daerah Ketapang.
Masih ada satu lagi yakni Sr. Adriana OSA yang sempat hanya beberapa bulan “mampir kerja” di Tumbang Titi mulai bulan Juni 1954, namun kemudian pulang kembali ke Ketapang di bulan November di tahun yang sama.
Sementara, di Tumbang Titi tetap ada Sr. Euphrasia Laan OSA (Superior), Sr. Desideria (perawat poliklinik), dan Sr. Adriana (karya pendidikan dan asrama).
Ternyata, demikian penegasan Sr. Mathea Bakker OSA dalam sebuah wawancara di Nederland, kepulangan Moeder Sr. Agneta OSA itu usai visitasi kedua kali itu tidak hanya membawa “mandat” berisikan pesan urgensi perlunya membangun biara baru OSA.
“Tetapi juga kabar gembira bagi para suster OSA misionaris, baik di Ketapang dan di Negeri Belanda,” kata Sr. Mathea Bakker OSA lagi.
“Itu karena Mgr. Gabriel Sillekens CP lalu menawari lahan tanah yang amat luas di Jl. Pal 2 Ketapang untuk lokasi pembangunan biara baru OSA Ketapang,” pungkasnya sembari menyungging senyum.
Tuntas sudah dalam kisah pendek ini bagaimana Congregatio Passionis (CP) dan Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah (Suster Augustinessen, OSA) itu di mana-mana selalu “bergandengan tangan” untuk bersama-sama menggarap tanah subur bagi persemaian iman di Tanah Kayong alias Ketapang, Kalbar. (Berlanjut)