Suster OSA Merintis Asrama dan Kesehatan di Tumbang Titi: Perawat Belanda Pergi, OSA Datang Menggantikannya (6)

0
555 views
Sr. Euphrasia Laan OSA dan Sr. Desideria OSA merintis karya kesehatan di poliklinik dan asrama di Tumbang Titi, sekitar 80 km dari "pusat kota" Ketapang, Kalbar. (Dok OSA/Repro MH)

TUMBANG Titi berlokasi kurang lebih 80 km dari “pusat kota” Ketapang. Meski jauhnya “hanya” 80 km dari kota –kurang lebih sejauh perjalanan Yogya-Solo melalui Klaten dan Delanggu di Jateng– namun jangan tanya betapa pedihnya menyusuri jalur darat dari Kota Ketapang ke Tumbang Titi ini.

Selain jalan penuh kobangan bubur lumpur pekat, di beberapa titik ruas jalan, beberapa kendaraan terpaksa harus meniti di atas miting agar bisa melaju di atas kobangan lumpur tersebut.

Pemandangan ini bukan terjadi di tahun 1953, ketika para suster OSA dari Ketapang tiba-tiba “mendapat durian runtuh” yakni harus mulai berkarya di Tumbang Titi.

Tapi ini terjadi di bulan Juli 2018.

Saat itu, bersama Romo Bangun Pr dan Pipit Prahoro, penulis harus menyusuri “jalur tengkorak” ini dengan kendaraan 4×4 WD mulai dari Air Upas menuju Tanjung-Tumbang Titi melalui Jungkat, Tembelina, dan akhirnya masuk kota Ketapang.

Ilustrasi: Inilah yang disebut ‘jalan perusahaan’ dengan melintasi areal perkebunan sawit di kawasan Sandai, Kabupaten Ketapang, Kalbar. (Topan Putra Tan)

Dalam perjalanan pulang dari Air Upas  –persis di sekitaran Jungkat—sebuah mini van tampak terperosok masuk ke lobang “jebakan Batman” sehingga kedua roda depannya mengalami selip. Setelah berjuang sekian lama dan dibantu dengan dorongan tenaga manusia, mobil jenis city car berhasil “kabur” dari kobangan lumpur di jalan yang sebelumnya telah menelan hampir ¾ rodanya.

Sebuah pemandangan mengharukan yang kami rekam dalam memori ketika di bulan Juli 2018 lalu kami menempuh perjalanan malam di tengah kegelapan disertai hujan rintik-rintik yang menggenangi seluruh kawasan hutan di Jungkal, tidak jauh dari Tumbang Titi.

Jalanan berlumpur atau memang tidak ada jalan dan harus meniti miting adalah hal biasa dialami Uskup dan para pastor yang berkarya di Keuskupan Ketapang. (Ist)

Beberapa jam sebelumnya, butuh waktu setidaknya dua jam untuk antri di jalur ini agar badan jalan yang penuh “jebakan Batman” ini bisa dilalui dengan cara sistem “buka-tutup”.

Nah, di tahun 1953 silam, tentu bisa dibayangkan betapa makin susahnya melakukan perjalanan harus mencapai Tumbang Titi dari Kota Ketapang.

Bisa jadi, jalur darat waktu itu belum tersedia dan karenanya aliran sungai menjadi satu-satunya “jalan” menuju ke sana.

Sebagai Delegatus Missionis Congreatio Passionis (CP) Pastor Rafael Kleyne CP datang menyembut kedatangan lima suster muda misionaris OSA di Ketapang pada tanggal 6 Desember 1949. Pada tanggal 27 Februari 1952, ia ditemukan tewas tenggelam di Sungai Pesaguan di bagian hilir Tumbang Titi. (Dok OSA/Repro MH)

Sungai Pesaguan “makan korban”

Tidak ada “jalan lain” selain dengan pelayaran melalui aliran sungai, seperti yang pernah dilakoni dua misionaris anggota Congregatio Passionis (CP) dari Negeri Belanda: almarhum Pastor Rafael Kleyne CP dan koleganya almarhum Bruder Gaspard Ridder van der Schueren CP.

Namun, nasib baik tak bisa diraih dan nasib malang pun juga tak dapat mereka tolak, ketika kapal air “Bintang Timor”  yang ditumpangi kedua misionaris CP dari Negeri Belanda itu akhirnya menemui nahasnya.

Kapal air mereka menabrak gelondongan kayu belian ukuran besar di aliran Sungai Pesaguan tidak jauh dari hilir Tumbang Titi sehingga terbalik.

Akibatnya, dua misionaris CP itu lalu terseret arus dan meninggal dunia.

Jasad kedua misionaris CP ini dimakamkan di Jungkal di tahun 1952 dan beberapa tahun kemudian di tahun 1958 baru berhasil dipindahkan ke Ketapang.

Bruder Gaspard Ridder van der Schueren CP meninggal dunia terseret arus Sungai Pesaguan di kawasan hilir dari Tumbang Titi pada tanggal 27 Februari 1952. Jasanya menyediakan air bersih dari sungai sungguh tak ternilai bagi para suster OSA. (Dok OSA/Repro MH)

Tantangan bisa merasa hidup “nyaman” di pedalaman Ketapang itu mesti dicapai dengan selalu siap sedia mau “mengarungi” pelayaran melalui beberapa sungai dari Ketapang menuju Tumbang Titi.

Dan itulah yang juga telah dilakoni oleh Sr. Euphrasia Laan OSA bersama koleganya Sr. Desideria OSA.

Dan itu terjadi di tahun 1953, ketika tiba-tiba saja mereka “harus datang” ke Tumbang Titi lantaran rumah poliklinik yang semula dikelola oleh tenaga perawat orang Belanda yang tinggal di Tumbang Titi tiba-tiba merasa kekurangan tenaga medik yakni perawat.

Tenaga asing pulang ke Belanda

Pada tahun 1953, tiba-tiba saja semua tenaga medik berkebangsaan asing (baca: Belanda) yang sebelumnya bekerja dengan nyaman di Tumbang Titi harus segera pulang ke Nederland.

Karya mereka di sebuah klinik kesehatan di Tumbang Titi menjadi “goyah”, terutama karena perawat-perawat bule akan segera mudik “pulang kampung”.

Hal ini memaksa para suster OSA atas rekomendasi pemerintah lokal di Tumbang Titi agar segera pergi ke pelosok guna mengisi kekosongan tenaga perawat di Tumbang Titi.

“Bersama Sr. Desideria OSA, saya diutus oleh Pemimpin Biara OSA Ketapang yakni Sr. Wulfrana OSA untuk memulai karya di Tumbang Titi,” ungkap Sr. Euphrasia Laan OSA.

Mereka berangkat meninggalkan Ketapang menuju Tumbang Titi dan berhasil sampai di kawasan pedalaman ini pada tanggal 29 Juni 1953.

Mereka berdua langsung berbagi tugas dan tanggungjawab bersama.

Moda transportasi dengan perahu kecil untuk menyusuri aliran sungai di Tumbang Titi di tahun 1953 yang tengah surut. (Dok OSA/Repro MH)

Sr. Desideria OSA memiih bekerja secara purna waktu di poliknilik lokal yang sebelumnya telah ditinggalkan oleh tenaga-tenaga perawat bule dari Nederland. Lalu, Sr. Euphrasia Laan OSA sebagai “Pemimpin Biara” di Tumbang Titi kembali mendapat tugas mengurus rumah tangga biara sekaligus kebutuhan logistik poliklinik.

Meski hanya berdua saja, kedua suster OSA perintis misi Ketapang ini akhirnya berani juga merintis karya baru lagi di Tumbang Titi yakni pendidikan berasrama.

Sr. Adriana OSA: datang dari Belanda di tahun 1954 langsung didapuk bertugas di Tumbang Titi. Namun di sini, ia hanya tinggal beberapa bulan saja dari bulan Juli sampai November 1954. (Dok. OSA/Repro MH)

Begitu tiba ldari Nederland dan mendarat di Ketapang tahun 1954, Sr. Prudentia OSA langsung ditugaskan oleh Sr. Wulfrana OSA selaku Pemimpin OSA Ketapang untuk bertugas di Tumbang Titi. (Dok OSA/Repro MH)

Namun, tak berapa lama kemudian, tenaga-tenaga tambahan baru mengisi lembaran karya baru OSA di Tumbang Titi.

Dua tenaga baru dari Belanda

Pada tanggal 7 Agustus 1954, dua suster muda OSA berhasil tiba di Tumbang Titi. Mereka datang langsung dari Nederland.

Setelah beristirahat sejenak beberapa hari di Ketapang, mereka ini langsung “diperintahkan” oleh Sr. Wulfrana OSA selalu Superior Misi OSA untuk segera menyusul dua suster OSA perintis karya di Tumbang Titi.

“Kedua suster tenaga baru itu adalah Sr. Prudentia OSA dan Sr. Adriana OSA,” ungkap Sr. Euphrasia Laan OSA.

Namun sayang sekali bahwa Sr. Adriana OSA hanya bisa berkarya beberapa bulan saja di Tumbang Titi.

Ia baru tiba di Tumbang Titi dan mulai berkarya di bulan Juli 1954. Dan pada tanggal 20 November 1954, Sr. Adriana OSA resmi “ditarik pulang” dari Tumbang Titi dan kembali ke “pusat kota” di Ketapang. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here