Renungan Harian
Rabu, 22 Desember 2021
Bacaan I: 1Sam. 1: 24-28
Injil: Luk. 1: 46-56
DALAM sebuah perayaan syukur 50 tahun perkawinan, saya meminta bapak yang merayakan pesta untuk berbagi pengalaman.
“Romo dan bapak ibu sekalian, hanya satu kata yang bisa menggambarkan perasaan kami berdua saat ini yaitu syukur. Rasanya tidak ada satu kata yang tepat mewakili perasaan kami selain kata syukur.
Kami berdua sempat bicara seandainya Tuhan memanggil kami sudah siap, karena kami telah mengalami mukjizat besar dalam hidup kami.
Mengenang 50 tahun perjalanan hidup perkawinan kami, keluarga kami bisa seperti ini dan bahkan bisa merayakan 50 tahun hidup perkawinan adalah mukjizat luar biasa.
Kami tidak pernah membayangkan dan tidak pernah berani untuk membayangkan keluarga kami bisa seperti ini; terlebih siapa saya ini.
Ketika saya memutuskan untuk menikah dengan isetri saya ini, tidak ada satu orang pun dalam keluarga isteri saya maupun keluarga saya menyetujui.
Apalagi keluarga isteri saya, menolak mentah-mentah. Saya hanyalah seorang desa yang “ngenger” (ikut menumpang hidup) di keluarga iseri saya.
Saya “ngenger” sejak saya lulus SD, dan disekolahkan oleh orangtua isteri saya hingga lulus STM.
Sejak STM dan isteri saya SMA bibit cinta sudah mulai tumbuh di antara kami, tetapi kami sembunyi-sembunyi.
Setelah lulus STM saya bekerja di sebuah pabrik dan bisa hidup mandiri. Setelah merasa mandiri saya memberanikan diri untuk meminang isteri saya.
Dan itulah awal “bencana” terjadi.
Keluarga isteri saya marah luar biasa, menganggap saya sebagai anak tidak tahu diri dan sebagainya.
Intinya saya ditolak, dan isteri saya kalau tetap memilih saya, harus pergi dari rumah dan tidak akan dianggap anak lagi.
Puji Tuhan waktu itu isteri saya memilih saya, sehingga diusir dari rumah.
ami menikah romo, tidak satu keluarga pun yang datang, hanya kami berdua dengan beberapa teman.
Tidak ada pesta apa pun, yang ada pesta airmata; airmata sedih dan airmata bahagia tidak tahu lagi memilahnya.
Romo, puji Tuhan romo, berkat Tuhan yang melimpah selalu ada di keluarga kami. Meski harus bekerja keras saya bisa melanjutkan kuliah dan isteri juga bisa menyelesaikan kuliah sehingga kehidupan keluarga kami semakin baik.
Dalam perjalanan waktu beberapa kali, kami mencoba untuk menghubungi keluarga baik dari pihak saya maupun isteri.
Dari pihak saya lebih cepat menerima kami tetapi keluarga isteri sama sekali masih tertutup.
Baru saat ibu isteri saya sakit, kami boleh menengok bersama anak-anak. Saat beliau melihat anak-anak sudah besar, anak-anak sehat, sekolah baik, anak-anak sopan, bapak dan ibu mulai luluh dan mau menerima kami.
Bahkan ibu bersedia untuk berobat dan untuk sementara tinggal di rumah kami.
Romo, kami amat bahagia ketika di masa sepuh dan akhir hidup orangtua isteri ada bersama kami.
Itu hal yang tidak pernah kami bayangkan.
Semua luka yang pernah ada, sudah tidak pernah terasa lagi, yang ada hanyalah kebahagiaan kami.
Kami juga bangga bahwa keluarga kami sering disebut oleh orangtua sebagai keluarga yang patut dicontoh adik-adik.
Apalagi di saat terakhir bapak mertua mengatakan bahwa beliau bangga dengan keluarga kami.
Demikian Romo perjalanan hidup keluarga kami yang penuh mukjizat. Saya selalu berpikir siapa saya ini sehingga boleh mengalami hal yang luar biasa seperti ini,” bapak itu mengakhiri kisahnya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Samuel, pengalaman syukur Hana atas anugerah besar, maka tiada lain selain bersyukur dan menyerahkan anaknya kepada Tuhan.
“Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku apa yang kuminta dari padaNya. Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan.”