UMAT Katolik Stasi Santa Maria Padang Bajo Paroki St.Petrus Padang Sappa, Keuskupan Agung Makassar, baru sajqa mengadakan Misa Syukur Panen. Pastor Oktovianus Tandilolo, Pr memimpin Misa Syukur ini.
Perayaan Syukur panen ini dilaksanakan hari Senin, 25 November 2024 di Gereja Stasi Santa Maria Padang Bajo, Kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Banyak umat mengikuti kegiatan ini; termasuk Plt. Kepala Desa Paccerakan Budi Nasir SH menghadiri kegiatan ini. Juga Penyuluh Agama Katolik Kementerian Agama Kabupaten Luwu, Cornelius Timang SS hadir dalam kegiatan ini. Serta umat dari agama lain turut bergembira dalam perayaan ini.
Sesungguhnya perayaan syukur setelah petani melaksanakan panen hasil sawah merupakan tradisi leluhur mayarakat Toraja. Ini sudah dihidupi sejak dahulu kala. Tradisi syukur panen dirangkaikan dengan Perayaan Ekaristi. Ini merupakan salah satu inkulturasi budaya di Paroki St. Petrus Padang Sappa secara khusus dan di Keuskupan Agung Makassar secara umum.
Syukur panen tradisi leluhur Toraja
Syukur panen adalah tradisi perayaan syukur ini telah dilaksanakan oleh masyarakat Toraja sejak dahulu kala. Secara umum dalam tradisi Toraja dikenal dua jenis perayaan yakni:
- Perayaan syukur (Rambu Tuka’).
- Perayaan kedukaan (Rambu Solo’).
Dalam Perayaan Syukur Panen sesungguhnya yang disyukuri bukan hanya hasil panen dari sawah atau kebun saja. Tetapi mensyukuri segala berkat Tuhan kepada manusia. Maka dalam tradisi Syukur Panen dikenal dengan syukur Tallu Lolona (tiga bagian):
- lolo tau (syukur atas kehidupan).
- lolo tananan (syukur atas hasil panen dari kebun dan sawah).
- lolo patuoan (syukur atas hasil peternakan).
Oleh karena itu, sejatinya bukan hanya para petani yang bersyukur dalam perayaan ini. Tetapi semua orang turut merayakannya. Mereka semua bersyukur atas segala berkat Tuhan bagi hidupnya. Terutama kesehatan dan berkat yang terus tercurah kepada manusia.
Membawa piong
Dalam Perayaan Syukur Panen, berbagai hasil bumi dipersembahkan oleh Umat Allah. Misalnya sayur-sayuran, buah-buahan, hasil ternak, dan semua yang mereka dapatkan dipersembahkan bagi Tuhan. Dalam perayaan tersebut juga diadakan upacara pemberkatan bibit benih padi yang akan ditanam pada musim beritkutnya.
Dan yang khas dalam perayaan tersebut adalah setiap rumah tangga membawa piong.
- Piong adalah sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan, dicampur dengan santan dan garam secukupnya lalu dimasak dengan cara dibakar di dalam bambu.
- Tradisi ma’piong (membuat piong) merupakan tradisi yang juga sarat akan makna.
Ma’piong biasanya dimasak secara bersama-sama baik dalam satu keluarga maupun bersama dengan beberapa keluarga lainnya. Ma’piong, biasanya dikerjakan dalam kebersamaan. Maka makna kebersamaan dan gotong-royong menjadi nilai utama dalam ma’piong.
Selain itu, piong juga memiliki makna kesucian, karena proses pembuatannya menggunakan bambu yang alami. Dan tentu saja piong menjadi salah satu ekspresi syukur atas berkat yang diterima oleh manusia dari Tuhannya.
Pastor Oktovianus Tandilolo Pr dalam homilinya mengisahkan, kebiasaan yang dilakukan para leluhur di Toraja pada saat Syukur Panen. Salah satunya adalah tradisi Mangrakan.
Dalam tradisi tersebut, biasanya bapak keluarga memetik bulir-bulir padi terbaik. Lalu padi tersebut akan direbus dengan air mendidih. Setelah itu, ditiriskan dan diikat kembali lalu diletakkan di atas dapur kayu. Padi tersebut kemudian diasapi dan setelah benar-benar kering lalu ditumbuk karena saat itu belum ada penggilingan padi yang modern.
Setelah ditumbuk dan menajadi beras, maka beras tersebut dimasak. Biasanya beras yang telah dimasak menjadi nasi tersebut sungguh harum baunya. Setelah itu, biasanya seekor ayam akan disembelih dan dimasak sebagai lauknya.
Nasi dan ayam yang sudah masak tersebut akan disajikan kepada seluruh anggota keluarga. Dan biasanya mereka akan mengundang tetangga dan kerabat untuk turut menyantap hidangan tersebut.
Kisah Penciptaan Dewi Padi
Selain kisah Mangrakan, Pastor Oktovianus Tandilolo Pr juga mengisahkan kembali Kisah Penciptaan Dewi Padi dalam tradisi Toraja. Dikisahkan bahwa Dewi Padi dalam tradisi Toraja disebut takke buku dan nenek moyang manusia disebut Datu Laukku’.
Dahulu kala, takke buku tinggal bersemayam bersama Puang Matua (Tuhan) pada sebuah tempat yang sangat indah yang disebut baka disura’ tumballang dianggilo. Lalu takke buku memohon kepada Puang Matua untuk turun dari tempatnya yang indah tersebut kepada umat manusia.
Takke buku mengatakan: la lao na’ aku rokko masakka’na litak, la mamma’ na aku rokko ussolanna mata uai kalimbuang boba, anna sumarre-marre lobo’ku anna ma’ganda-ganda daungku anna potuo na’ sangserekangku taru’na Datu laukku’ (Aku akan turun ke tempat yang dingin di tanah; aku akan tidur di bawah mata air; agar aku semakin subur sehingga aku akan menjadi sumber kehidupan bagi saudaraku datu laukku’) umat manusia.
Sejarah itu mengisahkan bahwa nenek-moyang manusia dan Dewi Padi adalah saudara. Maka itu, orang Toraja sangat menghormati dan menghargai padi; dalam hal ini makanan dan minuman.
Selain itu, kisah ini mengisahkan indahnya semangat berbagi yang ditunjukkan oleh Dewi Padi. Karena awalnya, Dewi Padi berada dalam sebuah tempat yang istimewa. Dia tidak akan berguna jika tetap berada di situ. Maka ia pun berinisiatif meminta kepada Tuhan agar ia turun dan menjadi sumber kehidupan bagi manusia.
Oleh karena itu, inti dari Perayaan Syukur Panen adalah adanya semangat berbagi dan berbelarasa kepada semua orang. Hal senada disampaikan oleh bacaan yang dibacakan dalam Perayaan Syukur Panen tersebut yakni tentang Kisah Persembahan Janda Miskin.
Kisah Janda Miskin
Kisah Injil Lukas 21:1-4 mengisahkan tentang persembahan seorang janda Miskin. Sang janda miskin memberi dari kekurangannya. Ia memberi seluruh miliknya.
Sementara orang kaya memberikan dari kelebihannya. Walaupun jumlah yang diberikannya lebih banyak dari janda miskin hal itu tidak berpengaruh pada hidupnya, karena memang hartanya banyak. Oleh karena itu, Yesus memuji Sang Janda Miskin karena dia memberikan seluruh kekayaannya. Ia memberi dari hatinya dengan penuh ketulusan.
Lebih lanjut, Pastor Okto memberi pertanyaan reflektif bagi umat yang hadir. Apakah Anda pernah memberi secara tulus?
Umat yang hadir kemudian menjawab dengan memberikan contoh ketika mereka memberikan makanan kepada orang lain.
Lalu pastor Otto bertanya lagi tentang harapan mereka setelah membantu orang tersebut? Dan umat menjawabnya agar mereka menerima perbuatan baiknya itu dan berharap hidup mereka diberkati.
Pastor Otto pun menjawabnya bahwa sebenarnya perbuatan tersebut tidaklah tulus, karena tetap mengharapkan imbalan dari Tuhan. Sering kali perbuatan baik yang dilakukan kepada orang lain kelihatannya tulus, tetapi ternyata tidak tulus. Bahkan yang lebih parah adalah kebaikan kadang dijadikan senjata untuk menyerang orang lain.
Oleh karena itu, Santa Teresa dari Kalkuta mengatakan bahwa kadang memang pemberian itu; bahkan kita mencari imbalannya dari Tuhan sendiri. Misalnya karya-karya yang dilakukannya secara manusiawi kelihatannya untuk membaktikan hidupnya untuk orang susah dan menderita, tetapi pada akhirnya ia mengharapkan imbalan keselamatan pada akhir zaman.
Karena itu pemberian yang tulus adalah pemberian yang sudah tidak kita ingat lagi. Itulah pemberian yang tulus.
Syukur Panen bermakna saling berbagi
Akhirnya, Perayaan Syukur Panen sebenarnya bermakna saling berbagi dan memberi kepada orang lain. Memberi dengan keiklasan dan ketulusan hati. Berkat Tuhan yang diterima dari sawah, ladang dan berkat lainnya harus dikembalikan kepadaNya dengan ungkapan syukur.
Dan ungkapan syukur itu dilakukan dengan cara melibatkan orang lain. Dalam sukacita kita, dengan cara mengundang mereka berbahagia bersama kita serta berbagi berkat Tuhan secara tulus.
Semoga semakin banyak orang yang mau terlibat berbagi kasih dengan tulus kepada sesamanya.
Cornelius Timang SS
Penyuluh Agama Katolik dan Pengurus Depas Paroki St. Petrus Padang Sappa