PADA tanggal 1 Juni 2023 diadakan pentahbisan diakonat Fr. Benidiktus Paulus, sekaligus perayaan syukur lustrum pertama Mgr. Paulinus Yan Olla MSF sebagai Uskup Keuskupan Tanjung Selor. Jatuh tanggal 5 Mei.
Tampak menghadiri acara 17 orang imam beserta 1 orang bruder, 2 frater dan 6 orang suster serta umat. Acara diadakan di Stasi St. Maria Ratu Rosario Bunyu, salah satu stasi Paroki St. Yosef Pekerja Juata, Tarakan.
Pulau Bunyu terkenal dengan batu bara dan minyak buminya. Sebagian besar penduduk Pulau Bunyu bekerja di tambang milik Pertamina ini.
Pulau Bunyu
Orangtua dan keluarga Frater Beni juga ikut hadir. Umat Stasi Pulau Bunyu saling bekerjasama menyiapkan seluruh rangkaian kegiatan dengan sangat baik.
Mulai dari transportasi bagi semua tamu, akomodasi, makanan enak berlimpah yang disiapkan dengan sepenuh hati tanpa lelah oleh ibu-ibu, sampai ke suguhan acara dari OMK Stasi Pulau Bunyu yang kompak.
Rangkaian acara dimulai hari Rabu, 31 Mei 2023, rombongan bapa uskup disambut di depan Gereja dengan berbagai tarian daerah dan gerak-lagu SEKAMI oleh anak-anak dan OMK.
Setelah itu pada sore hari diadakan doa Rosario bersama di gua Maria dan ditutup dengan misa penutupan Bulan Maria.
Esoknya merupakan puncak acara dengan perayaan misa. Dalam homilinya, Bapa Uskup Paulinus mengatakan:
“Rasa syukur bukan untuk membanggakan jabatan kita, tetapi untuk memurnikannya kembali. Jika penugasan membawa hasil, maka hasil itu semata-mata adalah karya Tuhan.
Sementara kekurangan, kedosaan dan kelemahan yang melekat padanya dikembalikan pada Tuhan untuk dimurnikan dan diluruskan agar bisa efektif untuk pelayanan.”
Perjuangan panjang
Bapa uskup menggarisbawahi proses perjuangan Frater Beni yang panjang.
Pada refleksi akhirnya Frater Beni mengatakan, “Bapa Uskup, silahkan menggunakan saya untuk segala hal di keuskupan ini.”
Mgr. Paulinus mengingatkan ada nilai-nilai tertentu, seperti ketaatan dan kerendahan hati yang merupakan sesuatu yang sulit dipahami oleh dunia modern, bahkan dianggap ketinggalan zaman.
Latihan kerendahan hati dan ketaatan sering kali menjadi sangat sulit untuk dilakukan para imam baik Diosesan maupun Tarekat.
Oleh karenanya diperlukan rahmat Tuhan untuk mampu menempatkan panggilan yang mengalir dari ketaatan tersebut. Karena itulah bentuk pelayanan untuk mencari kehendak Tuhan.
Pada sambutannya di acara ramah tamah setelah misa tahbisan, bapa uskup mengisahkan momen dirinya dipanggil oleh Nuncius: Mgr. Piero Pioppo.
Beliau sempat terkejut dengan pemberitahuan mengenai dirinya terpilih sebagai Uskup Keuskupan Tanjung Selor. Ketika selesai berdoa bersama Nuncius, ia akhirnya memberi kesediaannya menerima tugas baru tersebut.
Nuncius mengatakan pilihan itu telah benar, karena buah yang masak jika tidak dipetik maka akan jatuh dan membusuk.
Panitia dan umat telah menyiapkan kejutan untuk perayaan syukur Lustum I Bapa Uskup. Saat acara berlangsung tiba-tiba lampu padam, beberapa saat kemudian terdengar lagu Selamat Ulang Tahun dari Jamrud.
Kue dan lilin dibawa keluar dan Bapa Uskup beserta Diakon Beni diundang untuk naik ke panggung untuk bernyanyi bersama, meniup lilin dan memotong kue.
Pada acara itu juga diberikan kesempatan pada Diakon Beni, Romo Paroki – Romo Saverius Mandut dan Ketua Panitia untuk memberikan sambutan. Acara juga diramaikan oleh anak-anak SEKAMI, nyanyian dan drama dari OMK.
Setelah acara berakhir, sebagian umat dan tamu undangan masih memilih melanjutkan kegiatan dengan menari bersama.
Seperti lingkaran obat nyamuk bakar jalan panggilanku
Namanya Benidiktus Paulus. Lahir di Mara Satu, 16 Oktober 1992. Ia berdarah campuran, ibu Dayak Kayan, bapak Flores Timur Lembata.
Mengisahkan jalan panggilannya ia berkata, “Saya merefleksikan seperti lingkaran obat nyamuk. Melingkar terus, akhirnya sampai ke pusat dan habis. Tidak lurus seperti teman-teman saya.”
Bapaknya koster di Gereja Mara Satu. Sejak SD Diakon Beni sering membantu sang bapak di Gereja, kemudian menjadi misdinar ketika SMP. Ia pun kerap ikut romo-romo turne.
Selesai SMP, Diakon ditawari masuk seminari di Jawa oleh romo paroki. Ia merasa dirinya saat itu masih kecil, tak banyak berpikir langsung mengiyakan tawaran tersebut.
Sampai di Seminari Garum Blitar, ia mengalami culture shock, tidak terbiasa dengan disiplin belajar sehingga beberapa nilainya jelek. Akhinya ia hanya bertahan satu tahun. Saat akan keluar, romo rektor menawarkan Diakon Beni melanjutkan sekolah di SMA biasa dan bisa tinggal di Paroki.
Namun saat duduk di bangku SMA, daya juang Diakon naik, ia berhasil menyelesaikan studinya dan kembali muncul keinginan untuk masuk ke seminari. Ia kemudian menghubungi romo yang dulu menawari masuk seminari.
Romo tersebut mengarahkannya untuk pulang, masuk ke Seminari Menengah St. Yosef Tarakan, yang saat itu sudah dibuka dua tahun.
Diakon pun masuk di Kelas Persiapan Atas (KPA). Ia seangkatan dengan Romo Markus Ngatun yang ditahbiskan Mei tahun lalu.
Diakon menyelesaikan tahun rohani di Lawang, lalu melanjutkan studi Filsafat dan Teologi di Malang selama empat tahun. Diakon pulang ke seminari di Tarakan untuk masa pastoral dan membantu di Paroki St. Yosef Pekerja, Juata.
Studi di Roma
Selesai masa pastoral, Diakon diminta melanjutkan studi ke Universitas Urbanianum di Roma, menyelesaikan bakaloreat Teologi selama tiga tahun.
Ketika ditanya apakah Diakon mengalami “culture shock” selama di Roma, ia menjawab, “Malah tidak. Kalau dilihat dari kesulitan, memang lebih sulit di sana. Tapi mungkin mental saya sudah terbentuk.
Sudah siap mental, karena saya tidak mau gagal lagi, jadi harus giat dan bertekun.”
Diakon menyelesaikan studinya tepat waktu. Bulan Juni tahun lalu ia kembali ke tanahair, dan berharap akan ditahbiskan menjadi Diakon pada Agustus tahun kemarin. Namun meleset dari harapannya, Bapa Uskup Paulinus Yan Olla MSF memintanya untuk kembali ke Malang selama setahun, mendalami Hukum Gereja, Sakramen Perkawinan, Pastoral Konseling dan Homiletika.
Studi tambahan ini agak unik, Diakon diminta hadir sebagai pendengar, tidak harus mengikuti ujian-ujian yang ada.
Ayah Diakon yang bernama Paulus Making (almahum), termasuk salah seorang dari mereka yang pertama kali menyebarkan iman Katolik di Mara Satu, Kalimantan Utara. Menurut Diakon, beliaulah yang memberinya teladan dan semangat. Diakon mengaku sedikit merasa kecewa ketika pentahbisan diakonatnya tertunda. Namun ia menyadari bahwa ia harus belajar taat pada Uskup. Selain itu ia merasa bahwa ketika ada komunikasi yang baik, Bapa Uskup sangat mendukung.
Saat wawan hati terakhir saat Mgr. Paulinus menemuinya di Malang, Diakon secara terbuka menyampaikan situasi hatinya dan juga perenungannya mengenai ketaatan dan penyerahan diri demi keuskupan.
Diakon bersyukur akan studi tambahan selama sepuluh bulan tersebut. Ia mendapatkan banyak pembelajaran, bimbingan dan kesempatan melakukan pengolahan diri. Ia juga mendapatkan banyak dukungan dari imam diosesan di Tanjung Selor.
Motto yang diipilih Diakon Beni adalah, “Dalam kesesakan aku telah berseru kepada Tuhan, Tuhan telah menjawab aku dengan memberikan kelegaan.” (Mzm. 118:5).
Ketika ditanya mengenai harapannya ke depan, Diakon mengatakan saat ini ia berfokus bagaimana ia dapat memberi diri, menerima segala tugas apapun yang diberikan. Ia siap untuk belajar karena menyadari perbedaan situasi dan kondisi setiap paroki yang ada di Tanjung Selor.
Ia yakin bahwa segala kesulitan dapat dihadapi jika ia tetap menjaga keterbukaan dengan Bapa Uskup dan mencari dukungan dan rekan-rekan imam lainnya. Baik itu keadaan sulit dan mudah, ia akan syukuri.
Sementara terhadap Keuskupan Tanjung Selor, Diakon berharap umat dapat berjalan bersama, dapat menerima dan setuju dengan segala keputusan Bapa Uskup dan Dewan Kuria.
Diakon juga berharap imam-imam Diosesan Keuskupan Tanjung Selor selalu bersatu dan bekerjasama demi berkembangnya Keuskupan Tanjung Selor.