HARI Rabu (27/1)pekan lalu sungguh menjadi hari yang membahagiakan bagi keluarga besar Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Juga seluruh umat beriman Katolik.
Sore itu, tepatnya pukul 17.00 WIB dirayakan Ekaristi Tahbisan seorang Diakon dan lima orang imam.
Mereka yang ditahbiskan imam dengan menerima Sakramen Imamat adalah:
- Diakon Hubertus Aditya Prabowo SCJ.
- Diakon Paskalis Aditya Wardana SCJ.
- Diakon Alexander Pambudi SCJ.
- Diakon Marius Ari Saputra SCJ.
- Diakon Benediktus Yogie Wandono SCJ.
Sedangkan Frater Rafael Sudibyo SCJ ditahbiskan menjadi Diakon.
“Dalam Sabda-Mu aku melaksanakannya” yang diambil dari kisah Lukas 5:5 menjadi motto tahbisan keenam yubilaris ini.
Injil itu mengisahkan perjumpaan Yesus dan para murid yang berputus asa, tatkala tidak kunjung mendapatkan ikan meski sudah berusaha semalam suntuk.
“Petrus dan teman-temannya yang merasa sudah payah karena sudah lelah, dalam Injil ini (ketika bertemu dengan Yesus) memiliki semangat untuk memulai lagi. Ketika kita merasa payah, harus ada semangat lagi. Harus ada semangat untuk memulai lagi,” kata Mgr. Aloysius Sudarso SCJ dalam homilinya.
Para imam baru dinasehati agar meniru Santo Petrus yang mengatakan, “Kami akan menebarkan jala lagi. Kata-kata yang harus diikuti oleh para imam,” katanya di gereja Santo Petrus Palembang, tempat tahbisan berlangsung.
Semangat menebarkan jala lagi, menurut Uskup Agung Aloysius, membuahkan mukjizat di tengah aneka kesulitan hidup.
Menjala, bukan memancing
“Yesus memberikan tugas kepada para murid untuk menjala manusia. Mengapa tidak memancing?” tanya uskup yang kini telah berusia 75 tahun ini.
Ikan, jelas bapak uskup, jika dipancing akan sakit. Mulutnya akan robek. Sebaliknya, jika ikan dijala, maka ia tidak akan terluka.
Begitupun dengan manusia. Menjala manusia berarti Allah ingin merangkul manusia. Allah menginginkan manusia yang dijalanya dengan kasih, tetap hidup.
Kualitas penjala manusia
Menjadi penjala manusia, sesuai dengan perintah Yesus, kata Uskup Aloysius, harus punya beberapa kualifikasi.
“Ada syarat-syaratnya. Pertama, kita harus sabar. Harus menunggu. Jangan menarik jala cepat-cepat, karena mungkin ‘ikan-ikan’ belum masuk dalam jala. Kita harus coba lagi, coba lagi, tidak menerima begitu saja. Kita harus melihat pada saat yang tepat, umpan yang tepat, dan kita harus mendengarkan bukan kata-kata kita sendiri, melainkan Yesus yang bersabda.”
Yesus yang memerintahkan Petrus dan teman-temannya meebarkan jala, tidak serta-merta membuat mukjizat. Namun, mata Tuhan Yesus dapat melihat suatu kedalaman, pun para imam dan diakon harus memiliki mata yang mampu melihat kedalaman.
“Para pelayan (imam dan diakon) harus mempunyai mata melihat begitu dalam. Tebarkanlah jalamu ke dalam. Kedalaman adalah hubungan kita dengan Yesus sendiri,” pungkas uskup agung.
Dari idealitas menuju realitas
Sebelum ditahbiskan, uskup mengingatkan para calon tertahbis untuk keluar dari idealitas mereka.
“Anda dari kehidupan yang tentu banyak idealitas waktu di seminari. Anda akan masuk dalam kenyataan. Tidak ada jaminan otomatis bahwa kita akan bersukacita setelah kita ditahbiskan menjadi imam,” tutur monsinyur.
Uskup Agung Aloysius meminta para imam dan diakon baru belajar dari kisah Santo Paulus yang menasehati Titus, imam mudanya.
“Dia mengatakan kamu (Titus) harus kuat. Umat Allah menginginkan kekuatan dari imamnya. Kekuatan bukan soal kuasa dan otoritas, tetapi kekuatan untuk melayani, kekuatan untuk mencari inspirasi bersama. Diharapkan kita punya integritas, disiplin, dan mencintai.”
Di akhir homilinya, dia berpesan agar para tertahbis harus terus berusaha untuk bijaksana, ugahari, mengontrol diri, tenang dalam sabda Yesus, serta meneladan Pater Leo Dehon, sebagai pendiri Kongregasi SCJ yang selalu dekat dengan Ekaristi.