Tahun 2023 dan Pemilu 2024, Catatan Kecil Jelang Akhir Tahun

0
193 views
Ilustrasi: Ketiga kontestan Pilpres 2024 yang akan bertarung memperebutkan kursi kekuasaan sebagai presiden dan wapres RI 2024-2029. (Ist)

TAHUN 2024, tepatnya tanggal 14 Februari bersamaan dengan Hari Valentine dan Hari Rabu Abu -hari permulaan “retret agung” bagi umat Katolik sedunia- Negara Kesatuan Republik Indonesia akan melakukan pemilihan umum. Untuk memilih anggota DPR tingkat kabupaten, provinsi dan pusat. Juga pemilihan presiden dan wakil presiden baru untuk Republik Indonesia.

Tiga momen penting akan terjadi di hari yang sama. Entahkah para pemangku kebijakan sudah mempertimbangkan ketiga hari itu atau secara kebetulan terjadi, tetapi bagi saya menorehkan beberapa pesan penting.

Beberapa hari sebelumnya, kita merayakan Isra Miraj Nabi Muhammad tanggal 8 Februari 2024. Pada hari itu, umat Muslim sedunia diajak untuk selalu rendah hati (tawadu) sebagai seorang hamba yang bertakwa kepada Allah Yang Mahakuasa. Selain rendah hati, kita semua juga diajari bersikap dan bertindak tangguh dalam beriman kepada Allah. Sebuah pelajaran iman yang luar biasa luhur bagi kita semua.

Romo Mangunwijaya Pr.

Haul peringatan meninggalnya Romo Mangun

Jeda sehari, kita merayakan Tahun Baru Imlek tanggal 10 Februari 2024. Bagi Gereja Lokal Keuskupan Agung Semarang, tanggal 10 Februari itu juga menjadi hari peringatan meninggalnya Romo YB Mangunwijaya Pr.

Almarhum Romo Mangun adalah sosok tokoh bangsa yang amat dekat dengan kehidupan rakyat kecil dan terpinggirkan, seorang imam multi predikat: sastrawan, budayawan, arsitek, voice of voiceless (kaum pinggiran Kali Code).

Lalu, bagi Ikatan Alumni Filsafat dan Teologi (IKAFITE) Kentungan, hari itu menjadi hari yang khusus. Karena akan ada serangkaian acara yang telah dirancang dalam rangka haul meninggalnya Romo Mangun.

Selepas Tahun Baru Imlek, Gereja Katolik mulai memasuki Masa Prapaskah yang diawali dengan Hari Rabu Abu. Inilah hari ketika umat Katolik menandai dirinya dengan abu di dahi atau kepala. Dilakukan sebagai tanda pertobatan sekaligus memasuki masa “retret agung” selama 40 hari menuju Paskah.

Bersamaan dengan itu, dunia juga merayakan Hari Kasih Sayang. Kasih sayang berarti semua orang merayakan hari persaudaraan dan kesetaraan, hari tiada perang dan dendam. Tetapi, kondisi ini seharusnya bukan berlangsung pada hari itu saja.

Bagi bangsa Indonesia, hari itu adalah hari untuk memilih dan menentukan para wakil rakyat mulai dari tingkat kabupaten hingga pusat. Sekaligus hari pemilihan presiden dan wakil presiden dari tiga pasangan calon yang tampil. Tiap kelompok boleh mengunggulkan pasangannya, tetapi tidak harus memecah belah kebersamaan kita sebagai bangsa.

Bukankah sebelum pemilu kita sudah dibekali dengan permenungan-pemenungan yang mendalam mulai meneladan sikap iman Sang Nabi, merayakan kegembiraan tahun baru Imlek, Hari Kasih Sayang. Dan khusus bagi orang Katolik, kita langsung memasuki masa “retret agung”. Sehingga siapa pun pilihan kita, tidak merusak persiapan kita untuk memasuki masa Prapaskah.

Ilustrasi: Kekuasaan. (Ist)

Beberapa butir permenungan

Akhir tahun 2023 tinggal dalam hitungan jam, sementara itu tahun politik sudah di depan mata kita. Mau atau tidak, setuju atau tidak, pro atau kontra terhadap berbagai dinamika dan proses demokratisasi yang mengiringinya, kita harus melewati tahap ini.

Kita dituntut bersikap rasional; bukan mengedepan emosional sektoral. Agar perjalanan bangsa menuju Indonesia emas tidaklah harus dimulai dari titik nol.

Tegak lurus

Yang sudah bagus perlu ditingkatkan; yang belum sempurna perlu diperbaiki. Tentu pilihan kita harus jatuh ke tangan yang tepat. Yang tidak mudah mengumbar kata-kata terdengar enak di telinga. Tetapi susah dikonkritkan dalam cipta dan karsa.

Meminjam istilah Romo Franz Magnis-Suseno SJ, dalam pesannya kepada pasangan Ganjar Pranowo agar tegak lurus kepada kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan negara dan bangsa harus di atas segalanya. Bukan kepentingan kelompok dan kroninya yang dibungkus dalam nama partai politik.

Sebagai rakyat, kita perlu lebih kritis membaca dan memilah mana yang jualan kecap nomor wahid untuk kepentingan diri dan kelompok dalam bungkusan demi rakyat: mana yang baik isi dan kemasannya memang demi rakyat.

Sebagai salah warga negara yang tentu sudah punya pilihan politik tertentu, saya mengajak pembaca untuk memaknai beberapa butiran refleksi berikut. Dalam menghadapi Pemilu 2024.

Ilustrasi: Jangan sampai ditinggalkan. (Faultable)

1. Berpolitik dengan sikap santun dan terhormat

Di tengah situasi politik yang penuh dengan kepentingan dan ambisi pribadi, kita harus memberi contoh dan berpolitik dengan sikap santun dan terhormat. Ini dapat membangun suasana yang positif untuk menjalankan sebuah pemilu yang adil dan damai.

Semua persaingan antar parpol pengusung haruslah mengedepankan rasa hormat bahwa perjuangan ini bermuara pada kesejahteraan umum (bonum commune); bukan kesejahteraan parsial menurut takaran setiap partai politik.

2. Pemilu sebagai wujud kedaulatan rakyat

Pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat. Jadi, kita harus menempatkan penghargaan dan penghormatan pada apa yang dipilih oleh rakyat di seluruh negeri. Kita perlu menghentikan kebiasaan menghasut dan memfitnah, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kedaulatan rakyat. Tidak ada celah untuk adanya intimidasi apalagi penggiringan suara rakyat untuk paslon tertentu. Biarkan rakyat berdaulat memilih pemimpin yang dipercayainya bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan.

3. Bersikap tanggungjawab dalam memilih calon

Memilih calon pemimpin bukanlah hanya masalah hak, tetapi juga tanggungjawab besar. Kita harus jeli memilih calon pemimpin yang layak dan berkualitas; yang akan memimpin dengan kecerdasan, keadilan, dan pengabdian yang tulus bukan karena fulus. Dan pemimpin yang dipercayai hendaknya menjalankan mandat yang dipercayakan kepadanya juga dengan penuh tanggungjawab. Seusai pemilu, siapa pun yang terpilih, kita tetaplah rakyat dari negara yang sama.

4. Memperkuat integritas dan moralitas politik

Dalam konteks pemilu, integritas dan moralitas politik menjadi hal yang sangat penting dalam menyeleksi calon pemimpin yang pantas memimpin bangsa ini. Kita perlu memperkuat nilai-nilai integritas dan moralitas politik dalam diri kita sendiri, serta mensosialisasikannya pada masyarakat agar dapat tercipta konstelasi politik yang bersih dan bermartabat.

Ketika kita dipertontonkan oleh ambisi dan kepentingan yang lalu dengan serta merta mengubah konstitusi demi kepentingan sesaat, hendaknya rakyat tidak hanya tinggal diam. Rakyat perlu menghukum para pemimpin yang tidak memiliki integritas dan moralitas politik dengan tidak memilih dan menjadikannya sebagai pemimpin. Konstitusi saja dibegal demi kepentingan sesaat, apalagi kepentingan rakyat. Jauhkan pemimpin yang tidak memiliki integritas semacam itu dari NKRI.

Ilustrasi: Program Bedah Rumah Paroki Wedi yang melibatkan umat dan warga sekitar dalam gerakan gotong royong. Ini terjadi saat dilakuka bedah rumah milikk Ny. Agustina Parsiyem-Prapto-Wikarno di-Lingkungan-St.Yusup Pencar, Wedi. (Laurentius Sukamta)

5. Solidaritas dan gotong royong

Pemilu yang adil dan damai hanya dapat tercipta apabila seluruh stakeholder terlibat dalam prosesnya. Solidaritas dan gotong royong menjadi hal yang penting dalam membangun kerjasama antara semua pihak, agar dapat menjalankan sebuah pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat.

Hendaknya ini menjadi “tali pengikat” bagi kita untuk bahu membahu menjadikan pemilu 2024 nanti sebagai pemilu yang berlandaskan solidaritas dan semangat kegotong-royongan kita sebagai bangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh bisa dijadikan semangat dan landasan pengikat kita.

Akhirnya, dalam konteks Pemilu 2024, mari kita membangun kesadaran dan mengembangkan karakter yang berkualitas. Kita harus memahami bahwa pemilu tidak hanya menentukan sosok pemimpin, tetapi juga menentukan arah dan masa depan kehidupan kita sebagai rakyat Indonesia.

Semoga refleksi akhir tahun 2023 dapat dipergunakan sebagai refleksi dalam memperkuat nilai-nilai kejujuran, integritas, solidaritas, dan moralitas dalam diri kita, terutama dalam menghadapi kontestasi pemilu yang jujur dan adil (jurdil), transparan, dan berkualitas. 

Mari kita membawa hal-hal positif sepanjang tahun 2023 ini untuk membangun peradaban kasih, budaya perjumpaan yang saling menumbuhkan kedamaian dan rasa hormat, kesetiaan dan kerukunan.

Ilustrasi – Persaudaraan. (Ist)

Hendaknya kita, sebagai umat Katolik menyambut ajakan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti: “Pengasingan dan ketertutupan diri ke dalam kepentingannya sendiri tidak pernah menjadi jalan untuk memulihkan harapan dan membawa pembaruan. Sebaliknya, itu dibawa oleh kedekatan, oleh budaya perjumpaan” (no 30).

Atau seperti perjumpaan Maria dan Elisabeth yang begitu menggetarkan bayi di dalam kandungan mereka, perjumpaan kita sebagai bangsa hendaknya merekatkan kita sebagai saudara yang mudah berbagi duka dan suka.

Berkaitan dengan tahun politik, kiranya seruan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti nomor 182 ini sangatlah menginspirasi: “Cinta kasih politik ini mengandaikan bahwa kita telah mengembangkan rasa sosial yang melampaui mentalitas individualistis. Cinta kasih sosial membuat kita mencintai kesejahteraan umum dan secara efektif mengikhitiarkan kebaikan semua orang, yang tidak saja terdiri dari orang perorangan atau masing-masing pribadi, tetapi dalam matra sosial yang mempersatukan mereka.”

Perjumpaan itu mempersatukan.

Selamat jalan tahun 2023. Terimakasih atas segala berkat yang boleh dicicipi sepanjang tahun. Selamat datang tahun 2024 – tahun kami sebagai bangsa menentukan pilihan yang mencerahkan atau menggelapkan asa.

Mari kita sambut tahun baru dengan sukacita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here