“Tak Ada Rotan, Akar pun Jadi”: Berpastoral di Pedalaman Kokonao, Papua (4)

0
2,552 views

Suatu saat  pada  awal  bulan Desember 2008, kami melakukan perjalanan ke Stasi Potowaiburu. Stasi ini merupakan stasi yang terjauh nomer dua. Stasi yang terjauh adalah  Unito. Perjalanan ke Potowaiburu dapat ditempuh dengan dua cara.

Alternatif pertama adalah melalui laut.

Perjalanan melalui laut makan waktu kurang lebih 12 jam melintasi laur Arafura dan membutuhkan bahan bakar kurang lebih 250 liter. Sementara untuk alternatif kedua adalah menggunakan pesawat. Dari Kokonao terbang ke Timika selama lima belas menit dan transit di Bandara Mozes Kilangin. Keesokan harinya (biasanya hari selasa) melanjutkan penerbangan dengan pesawat terbang ke Potowaiburu selama satu jam.

Perjalanan yang cukup jauh dan menantang, terlebih lagi perjalanan melalui laut,  yang membawa kesan tersendiri bagi kami. Mesin 40 PK mendorong perahu kami yang panjangnya kurang lebih 13 m.  Sebenarnya perjalanan ini sungguh perjalanan yang indah, menantang dan tentu juga mengasikkan.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan para suster yang ikut dalam perjalanan itu. Saat itu tiga orang suster yang ada di perahu kami. Mereka merasa kesulitan untuk buang air kecil. Bisa dibayangkan di laut lepas dengan perahu yang lebarnya hanya satu meter, tentu tidak ada WC.  Saya sempat bingung mesti bagaimana?

Untunglah para suster sudah terbiasa dalam perjalanan seperti ini, sehingga mereka sudah melakukan antisipasi. Ternyata mereka membawa gayung (ciduk) mandi dan digunakan untuk membuang air kecil.

Secara bergilir satu persatu mereka membuang air kecil di gayung itu dan kemudian dibuang ke laut. Sementara dua suster yang lain membentangkan kain untuk menutupi suster yang kencing. Syukurlah bahwa semua acara buang air kecil dapat berjalan dengan baik.

Refleksi
Ada pepatah yang mengatakan, “tak ada rotan, akar pun jadi”  Kiranya pepatah ini cocok untuk menggambarkan kecerdasan pikiran kita yang memang  dikaruniai oleh Allah untuk berpikir  secara kreatif. Dalam situasi terdesak, dimana segalanya serba terbatas, pikiran kita dipacu untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada demi kebaikan bersama.

Kita pun ditantang untuk menggunakan karunia Allah berupa kemampuan untuk berpikir dan menggunakan apa yang ada. Dalam keterbatasan kerap kali kita justru mampu menemukan sesuatu yang berguna bagi hidup manusia. Mungkin kita tidak sekaya atau sehebat orang-orang.

Tetapi walau demikian, tidak berarti kita tidak dapat berkembang, karena dalam keterbatasan dan kelemahan, Allah mengaruniakan berkat pada kita untuk semakin kuat,  “Sebab jika aku lembah, maka aku kuat” demikianlah St. Paulus menasehati kita (II Kor 12: 7-10).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here