Takut

0
313 views
Ilustrasi - Menjadi saksi di pengadilan. (Ist)

Renungan Harian
Jumat, 8 Aprl 2022
Bacaan I: Yer. 20: 10-13
Injil: Yoh. 10: 31-42

BEBERAPA
tahun lalu, saya menerima tamu seorang bapak yang meminta saya untuk mendampingi sebagai rohaniwan katolik, karena bapak itu akan diambil sumpah. Saya dengan senang hati untuk mendampingi bapak yang akan diambil sumpah itu.

Awalnya saya mengira bahwa bapak itu akan dilantik untuk jabatan tertentu sebagaimana sering terjadi. Ternyata dugaan saya salah. Bapak itu akan diambil sumpah sebagai sebagai saksi di pengadilan.

Saya agak bingung dan ragu karena belum pernah ada permintaan seperti itu. Maka, saya mengatakan bahwa saya akan mendampingi sejauh ada surat permintaan dari pengadilan. Dan memang beberapa hari kemudian saya menerima surat permintaan resmi dari pengadilan.
 
Dalam perjumpaan itu bapak itu bercerita tentang apa yang sedang dihadapi di pengadilan. Bapak itu diminta memberi kesaksian atas apa yang ditemukannya sebagai tindakan penyimpangan keuangan yang masuk dalam ranah pidana korupsi.

Temuan itu membuat tempat dia bekerja menjadi heboh karena menyeret beberapa pimpinan di tempat dia bekerja. Ketika kasus ini diperiksa dan diselidiki semua karyawan di tempat dia bekerja terkena imbasnya, karena semua dimintai keterangan oleh penyidik.

Nampaknya kasus ini bukan hanya menyeret beberapa pimpinan tetapi juga beberapa karyawan akan terseret dalam kapasitas yang berbeda-beda.
 
Bapak itu mengatakan bahwa suasana di tempatnya bekerja menjadi tidak nyaman. Ada suasana di mana terjadi semacam pengelompokan untuk saling melindungi satu sama lain dan pada saat yang sama juga saling mencurigai satu sama lain.

Bapak ini mendapatkan beban yang lebih berat karena bapak ini menjadi “tersangka” yang membuat suasana tempat kerja menjadi tidak nyaman. Bapak ini selalu diawasi dan dicurigai oleh teman-temannya dan tidak jarang diamat-amati untuk dicari kesalahannya.
 
“Saat bapak melaporkan adanya temuan ini apakah bapak sudah tahu akan mengalami risiko semacam ini?” tanya saya.

“Saya tahu Romo, bahwa risiko semacam ini pasti akan saya terima. Akan tetapi saya berusaha untuk bekerja dengan jujur dan menyampaikan kebenaran,” jawab bapak itu.

“Wah hebat, luar biasa, bapak berani bertindak seperti ini, karena tidak banyak yang berani menempuh risiko semacam ini,” kata saya.

“Wah, sesungguhnya saya tidak seberani yang dibayangkan. Sesungguhnya hari-hari saya dihantui dengan ketakutan yang luar biasa. Sering saya sulit tidur membayangkan apa yang akan saya hadapi. Setiap bangun pagi dan hendak ke tempat kerja, sudah terbayang wajah-wajah curiga dan wajah-wajah yang mengamati saya. Setiap kali bekerja selalu terbayang kesalahan-kesalahan yang selalu dicari-cari untuk menjatuhkan saya.
 
Romo, sesungguhnya apa yang sekarang saya hadapi sungguh “menyeramkan” bagi saya. Namun ada hal lain yang membuat saya merasa bersyukur.

Dalam situasi yang menakutkan semacam ini membuat saya lebih rajin berdoa dan berpasrah. Iman orang kepepet Romo (bapak itu tertawa). Saya tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan seperti apa; hari-hari saya penuh dengan ketakutan karena ketidakberdayaan saya maka satu-satunya pegangan dan harapan saya adalah Tuhan. Tiap kali muncul ketakutan dan kecemasan saya selalu berdoa dalam hati: “Tuhan kuatkanlah hamba yang lemah dan berilah terang Roh Kudus-Mu.” Dan itu semakin hari menjadi semacam nafas hidup saya. Dan sungguh di dalam ketakutan dan ketidakberdayaan saya, hanya Tuhan sumber segalanya,” bapak itu bercerita.
 
Sebuah pergulatan yang luar biasa dan berani dalam diri bapak itu. Saya bisa membayangkan betapa hari-harinya menjadi amat berat dan sulit namun hal itu pula yang membuat bapak itu menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Yerimia, pengalaman nabi yang sungguh-sungguh hanya mengandalkan Tuhan. “Tetapi Tuhan menyertai aku seperti pahlawan yang gagah.”
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here