Tamu Istimewa

0
1,080 views

Tamu istimewa datang berkunjung ke rumahku beberapa hari sebelum Lebaran tiba. Datang sendirian. Tanpa pasukan. Pagi hari saat ibu peri membuka pintu kamar depan dan mematikan bola lampu. Tubuhnya mungil. Lebih tepat lagi kurus. Rambutnya awut-awutan. Tatapannya nanar. Langkahnya limbung seperti pengemis dekil digempur lapar. Mulutnya meracau dalam bahasa yang tidak kukenali.

Rasa kasihan perlahan muncul seperti peluh yang menggembung di pori-pori saat gerah tiba. Mungkinkah dia seorang pengemis yang mengiba-iba. Ataukah dia seorang sahabat yang selama ini kulupakan dan mengetuk-ketuk pintu rumahku agar aku membukanya dan memberinya sepotong roti dan bukan seekor ular atau kalajengking. Mungkin dia adalah Maryam, Ibu Jesus, yang menyaru. Lalu bertandang ke rumahku seperti yang ia lakukan dua ribu tahun silam dengan mengunjungi rumah saudaranya, Elizabeth. Ah, jelas bukan! Mungkin seorang Maryam yang sedang bunting Anak Tuhan dan sedang berjalan dari pintu ke pintu untuk sebuah tumpangan karena jabang bayinya akan segera lahir. Ah, bisa jadi.

Bisa jadi dia seorang musafir yang tersesat. Mendadak dia lupa arah mata angin. Tidak tahu mana utara, mana selatan. Mana barat, mana timur. Atau juga dia Sidharta Gautama yang sedang menguji hatiku untuk sebuah pertolongan. Mungkin juga dia seorang malaikat yang karena melanggar perjanjian dikutuk dan diempaskan ke bumi ini untuk merasakan pahitnya cawan kehidupan. Bisa juga dia salah satu dari leluhurku yang harus menjalani reinkarnasi untuk menebus dosa-dosamasa lalunya dengan laku samsara.

Ah, semua itu bisa jadi. Tapi, di depan mataku, dia hanya seekor anak kucing yang kehilangan induknya dan merana. Badannya ciut. Kerempeng. Matanya belekan. Tulangnya menyembul berlomba dengan daging yang kian kisut. Tatapannya mendorongku untuk melakukan apa yang disebut Levinas dengan tanggung jawab etis. Dua biji bakpia kuserahkan padanya. Maaf tidak ada ikan asin di meja makan atau onggokan daging di kulkas. Tapi, kucing itu memakannya dengan lahap. Usai kenyang, kucing itu pergi dan tidak kembali lagi. Mungkin mengembara ke suatu tempat yang tak pernah kumengerti. Mungkin juga sudah menjelma lagi menjadi Sidharta Gautama.

Ah, ada-ada saja! Bagaimana kalau esok dia datang lagi dalam rupa manusia?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here