”Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel—yang berarti: Allah menyertai kita.” (Mat 1: 23)
SETIAP Hari Raya Natal tiba, saya selalu terkenang dengan pengalaman turne Natal pertama saya, usai ditahbiskan menjadi seorang imam diosesan untuk Keuskupan Sintang.
39 paroki di Keuskupan Sintang, Paroki Ambalau terpencil
Keuskupan Sintang terdiri atas 39 paroki. Paroki-paroki itu tersebar di tiga kabupaten: Sintang, Kapuas Hulu, dan Melawi.
Dari ke 39 paroki itu, Paroki Ambalau boleh dikatakan satu-satunya paroki yang masih menjadikan sungai sebagai jalur utama aktivitas masyarakat.
Ke paroki inilah saya diutus sebagai pastor rekan setelah menerima rahmat tahbisan imamat tanggal 7 Agustus 2014.
Saya tentu menyambut dengan gembira hati, ketika di penghujung Perayaan Ekaristi waktu itu, Uskup Keuskupan Sintang saat itu Mgr. Agustinus Agus langsung mengumumkan tugas pengutusan tersebut. Namun, pada saat yang sama juga muncul ketakutan dalam diri saya.
Pasalnya, secara geografis Paroki Ambalau memiliki medan pastoral yang sangat berat dan menuntut nyali yang tinggi.
Terlebih ketika musim hujan, arus air sungai akan menjadi sangat deras sehingga sangat membahayakan keselamatan, karena sepanjang sungai penuh dengan batu-batu besar dan juga riam-riam.
Dua jalur utama menuju Paroki Ambalau
Paroki ini terbagi atas dua jalur utama, yaitu:
- Jalur Sungai Melawi dengan anak sungainya yakni Sungai Gilang;
- Sungai Ambalau yang mencakup dua anak sungai: Sungai Jengonoi dan Sungai Mentomoi.
Sebagai seorang yang berasal dari kampung yang letaknya sangat jauh dari sungai besar seperti Kapuas dan Melawi, sudah sewajarnya saya merasa takut.
Saya memang pandai berenang, tapi rasanya kepandaian itu tidak akan ada artinya ketika berhadapan dengan kekuatan arus riam yang begitu dahsyat.
Rasa takut memang ada. Akan tetapi, kesetiaan pada janji imamat yang telah diucapkan berada di atas segalanya. Ke mana pun saya diutus, saya harus selalu siap untuk menjalaninya.
Saya yakin dan percaya bahwa Dia yang telah memanggil akan senantiasa menyertai dan memberikan kekuatan kepada saya.
Dengan mengambil motto tahbisan: “Berdirilah dengan teguh dalam Tuhan” (Flp. 4:1), saya ingin agar dalam setiap tantangan dan kesulitan dalam mengikuti-Nya saya akan tetap teguh berdiri. Bukan dengan mengandalkan kekuatan saya sendiri, melainkan kekuatan Dia yang telah memanggil saya.”
Berbekal keyakinan bahwa Dia akan selalu menyertai, saya pun dengan mantap memutuskan untuk melakukan turne Natal ke jalur Sungai Melawi.
Menumpang perahu umat menuju hulu
Seperti kebiasaan turne pastor-pastor yang pernah bertugas di paroki ini, yakni selalu dimulai dari stasi yang letaknya paling hulu, waktu itu saya juga memulai turne Natal saya dari Stasi Kepala Jungai.
Untuk menuju ke sana, saya ikut menumpang perahu warga dari Stasi Kepala Jungai. Sebuah cara yang sebetulnya lumrah dilakukan oleh kami para pelayan pastoral, ketika hendak mengadakan kunjungan ke stasi-stasi.
Selain cara itu, kadang juga kami menggunakan perahu milik paroki. Di lain kesempatan, kadang juga kami menyesuaikan jadwal kunjungan ke stasi dengan jadwal pengobatan dari pihak puskesmas kecematan.
Tentu saja dengan tujuan agar kami bisa ikut nebeng perahu mereka.
Waktu untuk berangkat pun tiba. Perahu kami mulai melaju menuju tujuannya.
Mesin mati persis di riam sungai
Semula semua berjalan dengan mulus dan lancar hingga pada satu titik perahu yang kami tumpangi sampai pada satu riam.
Dengan kekuatan mesin 40 PK, sepertinya riam ini akan dengan mudah dilewati. Akan tetapi, tanpa disangka-sangka hal yang paling ditakutkan pun terjadi juga.
Ketika sampai di badan riam, mesin perahu tiba-tiba saja mati. Kontan saja perahu kami berbalik kembali ke hilir terbawa oleh arus riam.
Situasi seperti ini jelas saja menimbulkan rasa takut. Terutama bagi saya pribadi yang baru kali itu mengalaminya.
Dari cerita yang beredar, sudah ada warga yang menjadi korban saat mengalami situasi seperti ini. Sebab memang, dalam situasi seperti ini, kemungkinan terburuknya ialah perahu akan terbalik lalu karam dan tenggelam.
Untung saja, kami memiliki motoris andal. Dengan segudang pengalaman yang dimiliki, ia dengan cekatan namun tetap fokus dan tenang mengendalikan perahu agar tidak sampai terbalik.
Setelah melalui perjuangan yang cukup lama, perahu kami pun akhirnya berhasil melewati riam tersebut.
Kami pun bisa melanjutkan kembali perjalanan mudik menyusuri Sungai Melawi. Puji Tuhan, akhirnya kami bisa sampai ke tujuan dengan selamat.
Saya pun bisa melaksanakan turne untuk berbagi kasih dan sukacita Natal bersama umat Allah.
Tantangan berpastoral di pedalaman Kalimantan
Memang begitulah medan pastoral yang kerap dihadapi para pelayan pastoral di keuskupan-keuskupan yang ada di Bumi Kalimantan.
Bila hanya memikirkan kenyamanan dan keselamatan diri, lebih baik memilih tinggal di pastoran saja. Atau memilih kunjungan ke stasi yang medannya lancar dan nyaman.
Akan tetapi, kabar gembira kelahiran Sang Juruselamat harus saya wartakan kepada seluruh umat. Sebab, di dalam Dia yang lahir ke dunia, ada hidup, dan hidup itu adalah terang bagi manusia (bdk. Yoh 1:4).
Refleksi
Bahwa kami bisa selamat melewati riam itu sungguh merupakan sebuah peristiwa iman.
Bila hendak dilihat dalam terang iman akan inkarnasi, Allah menjadi manusia, peristiwa yang saya alami bersama dengan umat Allah itu sungguh mau menunjukkan bahwa Dia yang lahir sungguh Immanuel, Allah beserta kita.
Bahwa peristiwa ini terjadi di masa-masa awal perjalanan saya sebagai seorang pastor, peristiwa ini kiranya mau mengajari saya akan beberapa hal penting berikut ini.
Pertama, supaya tetap tenang ketika menghadapi masalah, tantangan dan kesulitan. Sang motoris dan juga mereka yang ada bersama dengan saya di dalam perahu, dalam hal ini menjadi teladan utama bagi saya.
Saya merasa yakin mereka juga pasti mengalami ketakutan seperti yang saya rasakan. Namun, rasa takut itu tidak sampai menguasai mereka. Sikap tenang dan tidak panik, percaya sepenuhnya kepada motoris, menjadi kunci mengalahkan rasa takut.
Berkat ketenangan yang mereka tunjukkan, perahu kami bisa dengan selamat melewati rintangan.
Kedua, melalui perisitiwa ini saya juga diingatkan untuk menjadi seorang pelayan yang rendah hati. Tetap tenang dan tidak panik memang menjadi kunci ketika menghadapi situasi seperti itu. Akan tetapi, di balik sikap tenang itu saya melihat kedewasaan iman umat.
Belajar rendah hati dari umat
Mereka tahu bagaimana mengandalkan Tuhan, berserah diri pada penyelenggaraan ilahi, namun di saat yang sama tetap melakukan yang terbaik agar bisa selamat dari bahaya.
Saya, yang tadinya bergulat dengan rasa takut, sungguh diteguhkan menyaksikan ketenangan yang mereka perlihatkan.
Pada titik inilah saya disadarkan untuk menjadi pelayan yang rendah hati. Secara lebih khusus lagi dengan rendah hati mengakui kalau iman saya tidaklah lebih dalam dari iman umat yang saya layani.
Kesadaran ini menghantar saya untuk terus menghayati apa yang dikatakan oleh Santo Petrus dalam suratnya:
“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.
Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” (1 Ptr 5:2-3).