TULISAN serial ini merefleksikan lebih jauh gagasan dan gerak-gerik Paus Fransiskus terhadap cara berpastoral Gereja Katolik.
Tantangan internal penggembalaan Gereja
Bila dicermati gerakan Paus Fransiskus pada masa kepausannya ini tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan aggiornamento Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II. Kendati ia tidak hadir dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), Paus Fransiskus, menurut para ahli, sangat berkomitmen ingin membawa perubahan yang dihasilkan oleh Konsili. Ia juga bertekad menyelesaikan pekerjaan Konsili yang belum tercapai.
Ada beberapa agenda yang dipandangnya perlu segera direspon.
- Gereja yang terbuka
Konsili Vatikan II merupakan tanggapan Gereja terhadap modernisme. Gereja mengakui bahwa sampai pada abad ke-18, ia tak mampu menanggapi perkembangan dunia. Gereja cenderung resisten terhadap perubahan.
Konsili Vatikan II menegaskan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).
Konsekuensi dari pernyataan ini ialah aneka pembaharuan harus dilakukan dalam tubuh Gereja baik dari konsep teologi, praktik perayaan iman, maupun cara bermisi di dunia.
Tetapi visi pembaharuan Konsili Vatikan II rupanya menimbulkan ketakutan dari beberapa pihak. Bagi sebagian orang, Konsili Vatikan II menimbulkan kebingungan. Atas dasar cinta terhadap Gereja, mereka menyelamatkan Gereja dari kebingungan dengan ide-ide mereka.
Sebagai misal, Kardinal Joseph Ratzinger atau kemudian menjadi Puas Benediktus XVI sedari masa mudanya terlibat dalam proses konsili Vatikan II. Ia semula adalah seorang teolog progresif. Namun ketika melihat dampak “kemerdekaan” yang diciptakan oleh Konsili Vatikan II, ia memutuskan untuk masuk ke dalam garis konservatif (keras).
Baca juga: Belajarlah dari Kesalahan: Kepemimpinan Paus Fransiskus (2)
Pada masa kepausan Paus Yohannes Paulus II, ia terkenal sebagai “pembela Vatikan” semasa bertugas di Praefek Kongregasi Ajaran Iman. Pada masa jabatan sebagai kardinal, banyak teolog yang disuspensi dan diekskomunikasi (mis. Gustavo Gutierrez, Tissa Balasuriya, Antony de Mello SJ, dan Aloysius Pieris SJ).
Para teolog tersebut sesungguhnya menyuarakan impian Konsili Vatikan II yang belum memenuhi harapan semua kalangan dalam Gereja. Gagasan mereka mengimplikasikan cita-cita Konsili Vatikan II dalam aneka ranah seperti:
- Restorasi dalam hirarki (leadership, korupsi, dan tanggungjawab)
- Gereja lokal (inkulturasi, kontekstualisasi, dan subsidiaritas),
- Pemberdayaan kaum awam (partisipasi, misi, dan keluarga),
- Sekularisasi (penurunan iman, dan spiritualitas globalisasi),
- Ekologi, dialog interreligious
- Perkembangan umat manusia (kemiskinan, migrans dan perdamaian).
Akan tetapi, sebagian orang tidak siap dengan gagasan mereka. Mereka melihat gagasan di atas mengusik stabilitas atau rasa aman.
Pembaharuan Konsili Vatikan II berhadapan dengan resistensi dalam rupa suasana legalisme, ritualisme, dan dogmatisme. Teolog dari Sri Lanka Pastor Aloysius Pieris SJ mengatakan kurang lebih sebagai berikut: “Pembaharuan Konsili Vatikan II yang telah berjalan selama lebih dari lima puluh tahun rupanya masih terhambat oleh sikap ‘manusia lama. Inilah ‘dosa.’ Dosa ini pertama-tama dikarenakan sebagian orang tidak mau meninggalkan masa lalu.”
Berhadapan dengan resistensi tersebut, Paus Fransiskus dengan sangat tegas kembali mengibarkan semangat keterbukaan terhadap pembaharuan dalam tubuh Gereja. Gereja jangan takut ber-aggiornamento.
- Misi yang semakin relevan
Tahun Kerahiman Allah yang telah dicanangkan oleh Paus Fransiskus tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan misi Gereja.
Paus Paulus VI mengatakan, “Kasih merupakan prinsip religius yang melekat bersama Konsili Vatikan II. Gelombang afeksi dan kekaguman dari Konsili mengaliri kemanusiaan zaman modern.”
Paus Paulus VI mendesak agar kasih menjadi prinsip gerakan Gereja di dunia ini. Sejak tahun 70-an, ia telah menyerukan tentang evangelisasi atau penginjilan. Pertanyaan dasarnya ialah: “Bagaimana warta Injil semakin kredibel dan terdengar di zaman sekular?”
Evangelisasi bertujuan untuk menemukan cara baru Gereja untuk mengada di zaman ini. Evangelisasi hanya kredibel bila orang Kristen hidup dengan prinsip kasih.
Sejalan dengan harapan Paus Paulus VI, Paus Emeritus Benediktus XVI pun menyadari adanya penurunan mutu kekristenan yang ditandai dengan lemahnya pemahaman iman. Maka beliau mencanangkan “Tahun Iman” dengan mendongkrak pertumbuhan iman umat Kristen Katolik di dunia.
Tiada jemu-jemunya, ia menyerukan evangelisasi baru untuk dapat membawa umat kristen pada pertobatan personal dalam perjumpaannya dengan Kristus.
Paus Emeritus Benediktus XVI meletakkan kembali dasar-dasar iman dan tak jarang terasa keras bagi aneka kalangan. Namun rupanya, panggilan pertobatan personal ini kurang manis dengan situasi zaman yang semakin melepaskan diri dari hukum absolut.
Pada masa kepemimpinan ini Gereja dipandang terlalu konservatif dan tradisional.
Untuk melanjutkan para pendahulunya, Paus Fransiskus menegaskan misi Gereja pun harus nyata dalam cara bertindaknya. Maka cara bermisi Gereja pun harus disempurnakan dengan menyeimbangkan kata dengan tindakan.
- Kepemimpinan yang menggembalakan
Paus Franskiskus merefleksikan bahwa perjalanan Gereja untuk mencapai cita-cita Konsili Vatikan II dapat tercapai bila komunitas umat beriman Katolik semakin misionaris, semakin berbelaskasih, dan berani untuk berubah. Namun pewartaan Injil terhambat oleh “dosa” yang dirumuskan dalam sikap legalisme, ritualisme, dan dogmatisme.
Paus menambahkan klerikalisme sebagai penghambat lainnya. Gereja Katolik adalah komunitas umat beriman yang dalam banyak hal menjunjung “ketaatan” dan peran penting para gembala (uskup dan imamnya) dalam pewartaan Injil. Oleh karenanya, pembaharuan hidup umat dan pewartaan Injil sangat bergantung pada sikap para gembala yang menemani umatnya pada peziarahan di muka bumi ini.
Pembaharuan menyangkut pula perubahan dalam leadership para gembala. Secara nyata bapa Paus memulai dari struktur kepemimpinan Gereja dengan melakukan perombakan dalam tubuh kuria Roma, menempatkan sinode para uskup sebagai hal penting dalam mewujudkan semangat kolegialitas, mengganti sekretaris Negara, dan menekankan bahwa selibat adalah aturan yang tidak berubah kendati ini membuka pada perdebatan.
Singkatnya, penggembalaan Gereja, khususnya dari mereka yang dipercaya dalam mengelola umat, memiliki posisi penting dalam pembaharuan Gereja untuk semakin seturut dengan gambaran Gereja Perdana dan semangat injili. Tahun Kerahiman Allah tak lain dan tak bukan sebuah undangan pertobatan radikal bagi Gereja untuk hidup dengan semangat kerahiman atau belaskasih yang Kristus bawa ke dunia.
Sadar diri
Ketiga tantangan internal di atas secara riil bisa diamati dalam segala level komunitas orang beriman dimanapun berada. Dalam level keuskupan atau paroki tidak dipungkiri adanya imam atau umat yang memilih “progresif” dengan mengaplikasikan semangat Konsili Vatikan II. Tetapi ada pula sebagian yang cenderung menjaga Gereja dengan semangat “Benediktus XVI.”
Ini fenomena yang sungguh-sungguh terjadi.
Di level lingkungan di paroki, tak jarang dijumpai pribadi-pribadi yang menegakkan ajaran Gereja dengan cara kaku sehingga menimbulkan protes dari umat. Ada pula kelompok yang selalu meneropong gaya orang muda mengekspresikan imannya.
Di banyak tempat di Indonesia, gerakan pembaharuan dalam penggembalaan para imam pun mendapat perhatian yang kritis dari umat. “Surat domba” atau video kritik atas perilaku gembala yang arogan sudah bukan hal tabu lagi.
Banyak hal bisa lebih dicontohkan. Tetapi yang hendak digarisbawahi ialah tiga hal yang menjadi perhatian penting Paus Fransiskus di masa kepausannya membawa kita untuk sadar diri. Kita mesti selalu bercermin bahwa ada tantangan-tantangan dalam usaha kita membangun hidup seturut warisan Tuhan Yesus.