SEMARANG (12/11/2015), rangkaian ibadat dan doa di Gereja Katedral Semarang menandai upacara penghormatan terakhir untuk mendiang Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. Johannes Pujasumarta yang wafat pada hari Selasa (10/11/2015) setelah mendapat perawatan intensif selama kurang lebih dua bulan di RS.
Sejak pukul setengah lima pagi, umat sudah berdatangan ke Gereja Katedral Semarang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Mgr. Puja.
Pada pukul 05.30 WIB, Perayaan Ekaristi dipersembahkan oleh sembilan imam, yang dipimpin oleh Romo Kurnia Pr, salah satu dari empat romo yang berkarya di Katedral Semarang sebagai selebran utama. Ribuan umat hadir dalam Perayaan Ekaristi ini dan sesudah Perayaan Ekaristi, umat masih terus memberikan penghormatan terakhir dan mendoakan Uskup yang mereka kasihi.
Pada pukul 08.00 WIB, diselenggarakan ibadat pemberangkatan jenazah yang akan dibawa menuju Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, Yogyakarta dan akan dimakamkan di makam para Imam Praja (Diosesan) Keuskupan Agung Semarang yang berada di kompleks Seminari Tinggi tersebut pada hari Jumat (13/11/2015).
Ibadat pemberangkatan dipimpin oleh Romo Riyanto Pr. Sebelum ibadat dimulai, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang sudah hadir sejak seperempat jam sebelumnya memberikan sambutannya.
Dalam sambutannya, Ganjar mengatakan bahwa Mgr. Johannes Pujasumarta selama ini dikenal tak hanya sebagai Eyang dan Bapak, tetapi juga rekan seperjuangan dalam membangun kerjasama dan saling keterbukaan menuju suatu persaudaraan sejati. “Hatinya sangat terbuka. Banyak pintu bisa dimasuki dan semua diterima dengan hati yang penuh cinta.”
Selain Ganjar, sambutan juga disampaikan oleh Romo FX. Sukendar Pr yang selama ini menjadi Wakil Uskup Agung Semarang (Vikaris Jenderal) hingga wafatnya Mgr. Puja.
Dalam sambutannya, atas nama Dewan Konsultores Keuskupan Agung Semarang, Romo Kendar menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh umat dan masyarakat juga para tokoh masyarakat maupun agama yang memberikan perhatian kepada Mgr. Johannes sejak beliau sakit hingga meninggalnya.
Romo Kendar juga menyampaikan pesan warisan Mgr. Puja dalam bentuk RIKAS, yakni Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang 20 tahun ke depan, terhitung tahun 2016 hingga 2035 dalam rangka menyambut Yubelium Agung Kelahiran Yesus Kristus pada tahun 2033.
Menurutnya, Bapak Uskup bercita-cita melalui RIKAS untuk mengajak umat menjadi umat beriman yang bermartabat, sejahtera, dan bersaudara melalui peradaban kasih. Itulah gagasan dasar yang diwariskan Mgr. Puja untuk dua puluh tahun ke depan. Kita semua diajak untuk kian mewujudkan gagasan dasar itu melalui kehidupan kita.
Kecuali Ganjar Pranowo, hadir dalam upacara pemberangkatan ini para tokoh masyarakat dan agama, antara lain Setda Kota Semarang; Taslim dari FKUB Provinsi Jawa Tengah, Fatquri dari Masjid Agung Jawa Tengah, Kang Gunretno dari Sedulur Sikep Sukolela dan Kiai Budi Hardjana, pengasuh Pondok Pesantren Al Islah Meteseh, Tembalang.
Yang menarik adalah bahwa sesaat menjelang pemberangkatan jenazah Mgr. Johannes Pujasumarta dari Gereja Katedral Semarang menuju Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta, saat umat sedang menyanyikan lagu Ndherek Dewi Maria, Romo Budi mempersilahkan Kiai Budi menghadirkan tarian sufi dengan iringan lagu “Ndherek Dewi Maria” yang dinyanyikan oleh seluruh umat yang hadir tersebut.
Dan Kiai Budi pun dengan piawai dan khidmat maju dan berdiri di samping peti jenazah, memberi hormat lalu mulai menari selama lagu dinyanyikan.
Kiai Budi sendiri sengaja hadir dalam upacara itu setelah ditelpon oleh Romo Aloys Budi Purnomo Pr yang menjadi sahabatnya dan bertugas sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang bahwa Mgr. Puja wafat.
Saat ditelpon, Kiai Budi masih berada di Tuban. Kiai yang mahir menari sufi dan banyak santri penari sufinya itu langsung pulang demi persahabatannya dengan Mgr. Puja selama ini. Tarian sufi itu juga dipersembahkannya sendiri sebagai tanda persahabatannya dengan mendiang Bapak Uskup Agung Semarang itu yang setiap Hari Raya Idul Fitri bersilaturahmi ke pondoknya.
Bahkan di saat sedang berjuang dengan sakit yang dideritanya, Mgr. Pujasumarta tetap bersilaturahmi ke Ponpen Al Islah pada Hari Raya Idul Fitri 2015 yang lalu.
Sesudah Kiai Budi selesai menari sufi, jenazah langsung diberangkatkan menuju Yogyakarta diiringi dentang lonceng Katedral dan isak tangis umat serta imam yang masih dirundung duka atas meninggalnya Uskup yang dikasihi umat itu. Perjalanan menuju Yogya ditempuh melalui jalan biasa, tidak melalui jalan tol atau pun jalan lingkar, mengingat umat di Ambarawa dan Bedono juga siap menyambut jenazah Mgr. Johannes yang melintasi daerah itu.
Mgr. Johannes Pujasumarta merupakan Uskup, Gembala dan Pemimpin yang mengumat dan merakyat. Itulah yang selama ini ditangkap banyak orang, termasuk Romo Budi yang sempat beberapa kali berkunjung dan berdialog dengan beliau selama dirawat di Ruang Anna 402 Rumah Sakit Elisabeth Semarang. Beliau sangat kebapakan dan baik hati dalam kesederhanaan dan kecintaan kepada umatnya.
Bahkan beliau menghayati sakitnya sebagai bagian dari kecintaan kepada umat dan masyarakat. Itulah sebabnya, beliau memilih dirawat dengan cara seperti umat dan meninggal juga seperti umat, dengan tidak mau dirawat di ICU apalagi berobat ke luar negeri.
Sugeng tindak sowan Gusti ing Swarga Monseigneur Johannes Pujasumarta! Beristirahatlah dalam damai sejahtera. Doakanlah kami yang masih berziarah di dunia ini.
Kredit foto: Kiai Budi didampingi Romo Budi menari sufi disamping peti jenazah Mgr. Johannes Pujasumarta. (Lukas Awi Kristanto/INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan)
Semoga toleransi ini bisa terus dan semakin terjalin dan semoga juga bukan hanya karena Monsinyur tapi semoga toleransi juga berlaku bagi kami kaum kecil pelaku sebenarnya kehidupan bermasyarakat….
Terharu membaca betapa persahabatan dan penghormatan terhadap sesama manusia tidak melihat apa agamamu … pak kiai Budi terima kasih sudah memberikan contoh yg amat sangat bernilai untuk kerukunan umat beragama di tanah air tercinta ini … semoga seluruh umat beragama di tanah air kita ini tidak begitu mudah ter-provokasi sekelompok/segelintir orang untuk memecah belah kerukunan umat beragama hanya demi kepentingan mereka semata dgn membawa-bawa atribut keagamaan … ingatlah kita semua berasal dari satu Pencipta yaitu Allah. Allah menciptakan kita sebagai mahluk yg sempurna dan Allah memberikan kebebasan kpd kita untuk berbakti, memuja dan beribadah kepadaNya melalui keyekinan agama kita masing2 …. Allah saja memberikan kebebasan kenapa kita mahluk ciptaannya justru menghalangi dan menghujat kebebasan yg telah diberikan Allah kepada kita …. jadi siapa sebenarnya yg lebih berkuasa ? Provokator itu kah atau Allah sang pencipta kita ? …. silahkan menilai dan memberikan jawaban sendiri ….
Sekali lagi terima kasih kiai Budi atas contoh yg indah untuk kerukunan umat beragama ….