TANPA orang dekat atau sahabat perjalanan hidup terasa berat. Untuk apa orang berjalan ketika tidak punya tujuan?
Bukankah motivasi menjadi salah satu daya penggerak hidup ini? Hilang harapan menyebabkan hidup tanpa arti.
Itulah yang dialami dua murid dari Emaus yang pulang ke kampung halamannya dalam putus asa (bdk Luk 24: 13-35). Kematian Yesus membuat harapan mereka pupus. Dalam keadaan bingung mereka pulang kampung.
Orang baru yang berjalan seiring mereka anggap orang asing (bdk Luk 24: 18). Muka muram hanya mampu memandang masa depan yang suram. Telinga tidak peka dan hati terkurung dalam rasa murung.
Penjelasan tentang isi Kitab Suci tidak mengubah hati, karena gundah terlanjur menguasai. Hatinya berkobar-kobar waktu mendengar (bdk Luk 24: 32), tetapi semangat tetap hambar.
Syukurlah, akhirnya mereka sadar dan kembali ke Yerusalem, berbagi kabar (bdk Luk 24: 33-35).
Pengalaman dua murid dari Emaus itu pengalaman banyak orang. Bahkan pengalaman kita. Bukankah kita sering menjalani hidup ini tanpa harapan pasti?
Banyak kerabat dan teman yang menguatkan. Namun kata-katanya terasa tak meyakinkan. Kita tenggelam dalam perasaan kelam.
Sabda Tuhan tidak segera memulihkan harapan. Tuhan Yesus yang hadir dan menemani tidak kita kenali. Hanya bila kita sungguh membuka mata dan ingat akan karya-Nya, kita memperoleh kembali kekuatan-Nya (bdk Luk 24: 31).
Dia menemani perjalanan mereka yang percaya kepada-Nya (bdk Mat 28: 20).
Apakah yang sesungguhnya sering terjadi? Allah mengabaikan kita atau kita yang tidak peka terhadap kehadiran-Nya?
Bukankah Allah, Sang teman seiring sering terasa asing?
Rabu, 20 April 2022