Puncta 22 November 2024
PW. St. Sesilia, Perawan dan Martir
Lukas 19: 45-48
KALAU kita pergi berziarah, pasti ada pedagang-pedagang berjualan aneka barang. Mulai dari barang-barang rohani sampai baju, daster dan jajanan kuliner aneka rupa. Tempat ziarah itu tidak ada bedanya dengan pasar tradisional.
Orang yang seharusnya pergi ke situ untuk berdoa tetapi mata kita lebih tertarik untuk berbelanja dan memuaskan selera konsumeristis kita.
Doa tidak lagi menjadi tujuan utama. Bertemu dengan Tuhan bisa diselewengkan oleh barang-barang yang dijajakan di tempat-tempat kudus seperti Gereja dan tempat ziarah.
Itulah yang diprihatinkan oleh Yesus ketika Dia berziarah ke Yerusalem. Kota Raja Daud ini adalah tempat suci karena di sana ada Bait Allah, tempat dimana Allah bertahta. Bagi orang Yahudi, pergi ke Yerusalem adalah impian setiap orang.
Bagi Yesus, Bait Suci adalah rumah Bapa-Nya. Sebagaimana waktu kecil Yesus “hilang” dan diketemukan di Bait Suci sedang berdiskusi dengan para ahli kitab. Dan Ia berkata kepada Maria, ibu-Nya, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”
Pastilah Dia marah ketika melihat rumah Bapa-Nya dijadikan tempat berjualan, bukan tempat berdoa, bertemu dengan Bapa. Halaman Bait Suci dijejali dengan para pedagang dan penukar uang yang cari untung dengan menindas orang lemah.
Mengapa para pedagang hewan dan penukar uang ada di situ? Banyak orang ke Yerusalem membawa korban persembahan. Ada lembu, kambing, domba, burung merpati dan lain-lain.
Di sana ada juga petugas yang berwenang untuk menilai halal dan tidaknya hewan persembahan. Ada instansi pemberi label halal dan tidak halal.
Untuk menjamin halal tidaknya hewan, di sana disediakan hewan-hewan korban. Tentu harus membayar lebih mahal. Demikian juga uang untuk membeli hewan harus uang resmi yang dipakai di Bait Suci.
Maka ada bisnis “Money Changer” di Yerusalem. Perdagangan ini pasti ada unsur pemerasan dan pemaksaan.
Penyelewengan fungsi Bait Suci inilah yang dikritik oleh Yesus. Rumah Ibadat menjadi tempat perdagangan dan pemerasan. Apakah kita juga merasa santai-santai saja kalau Gereja atau tempat ziarah tidak lagi menjadi tempat doa dan tempat berjumpa dengan Allah?
Awalnya mau berdoa di tempat ziarah,
Tetapi malah sibuk belanja barang mewah.
Gereja bukan lagi rumah doa yang ramah,
Jadi hingar bingar seperti pasar tumpah.
Wonogiri, kembalikan fungsi rumah ibadah
Rm. A. Joko Purwanto, Pr