SUDAH menjadi kegiatan tiap tahun. Utusan Komsos tiap Keuskupan di regio mengadakan Temu Komisi Komunikasi Sosial. Kali ini, Regio Jawa (TKRJ) juga menyelanggarakan forum pertemuan tersebut.
Tahun 2024 ini, TKRJ berlangsung empat hari (23-26 Mei 2024) di wilayah pastoral Keuskupan Bogor. Karena Keuskupan Bogor menjadi panitia dan tuan rumah pertemuan tersebut.
Tema TKRJ 2024 kali ini adalah “Bercengkrama dengan Teknologi, Alam, dan Budaya.
23 penggiat komsos di Regio Jawa
Ada 23 peserta yang hadir dan diharapkan menjadi kesempatan baik untuk belajar bersama dan sebagai wujud sinodalitas pastoral komsos baik tingkat Keuskupan maupun di Regio Jawa.
Misa pembukaan TKRJ dipimpin oleh Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM, Uskup Keuskupan Bogor. Sekjen KWI ini menyemangati para peserta terkait pentingnya momen ini.
“Ada pesan yang penting di balik tiga hal pernyataan ‘jika tangan dan kaki menyesatkan, penggallah; juga ‘jika mata menyesatkan, cungkillah’,” ungkapnya di awal homili.
Uskup yang rahmat senyum ini mengkontekskan tiga “kengerian” tadi dengan konten yang berseliweran di jagat maya hari-hari ini, terutama tentang ajaran Gereja. Banyak sekali konten-konten yang menyesatkan.
Komisi Komsos dipanggil untuk menyampaikan kebaikan dan kebenaran, yaitu Allah yang mengkomunikasikan diri sebagai kasih. “Komunikasi diri Allah kepada manusia bertujuan agar manusia berlaku benar,” ujar Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM.
Uskup dari Ordo Saudara Dina (OFM) ini juga membesarkan hati peserta TKRJ. “Saat ini, Komsos amat sentral dalam memainkan perannya,” tambahnya.
Ketika mempresentasi materinya, ia menyampaikan hal serupa secara radikal: “Di zaman ini, Komsos harus menjadi prioritas dalam reksa pastoral Gereja. Maka, komsoser harus mengarah pada semangat sinodalitas yang disuarakan oleh Paus Fransiskus,” tandas Uskup Mgr. Paskalis.
Sinodalitas itu dipahami sebagai modus vivendi (cara hidup) dan modus operandi (gaya berkarya) Gereja, di mana komsos memiliki peran strategis di dalamnya.
“Sepanjang empat hari ini, kita akan berdiskresi bersama: apakah komsos membuat umat bergerak bersama, membangun persekutuan, merasa diutus untuk misi dan didorong untuk berpartisipasi dalam pengutusan?,” tanya Uskup Keuskupan Bogor ini.
Di akhir homilinya, para komsoser diingatkan bahaya kegiatan di komsos jatuh dalam rutinitas dan teknis belaka.
Harapan dan peranan
Hari kedua, peserta diberi bekal tentang harapan akan peranan Komisi Komsos di keuskupan oleh Mgr. Paskalis. Juga tentang hal-ikhwal Artifisial Intelijen (IA) oleh Prof. Richardus Eko Indrajit.
Dalam paparan materinya, Mgr. Paskalis mengingatkan soal sinodalitas dan kolaborasi. Untuk sampai ke arah itu:
- Perlu adanya tim pemikir yang melihat tanda-tanda zaman sebelum dieksekusi oleh tim teknis.
- Komsoser menyadari dan menempatkan diri sebagai corong paling mutakhir saat ini.
- Membangun networking yang semakin luas, dan membangun jejaring dengan media yang memproduksi konten ke-Katolik-an untuk memberi pertimbangan dan pandangan.
Mgr. Paskalis memimpikan adanya kolaborasi dan gerak bersama menyebarkan konten dari KWI ke keuskupan masing-masing, sehingga pesan penting dan menggembirakan semakin masif tersebar kemana-mana.
Prof. Richardus Eko Indrajit bicara tentang AI (Artificial Intelligence) dan kebijaksanaan hati dengan tema: “Kecerdasan Artifisial dan Kebijaksanaan Hati: Strategi Menuju Komunikasi Sosial yang Lebih Personal di Era Society 5.0 dan 6.0”.
Pada lima menit pertama, Prof. Indrajit mengingatkan, komsos tidak sebatas menyampaikan kabar gembira. Tugas komsos adalah berkomunikasi.
Komunikasi yang berhasil, apabila penerima pesan melakukan apa yang diharapkan oleh pemberi pesan. Maka kurangi terjadinya noise: noise pengirim dan penerima pesan, noise pesan, noise kanal dan noise konteks.
Nah, AI bisa membantu mengurangi noise, pesan semakin spesifik dan personal sehingga lebih menyentuh dan menggerakkan orang.
Prof. Indrajit juga menegaskan bahwa AI dibuat untuk membantu manusia. Ini bisa dilihat konteks munculnya society 5.0.
Tahun 2017, Jepang menggagas masyarakat 5.0 karena pada masa itu negaranya mengalami krisis demografi dan revolusi 4.0 mencapai puncaknya. Angka kelahiran menurun, jumlah penduduk non-produktif meningkat, aksesibilitas dan mobilitas pelayanan publik semakin sempit.
Maka, untuk mengatasi situasi itu, Jepang merancang masyarakat 5.0 di mana orang Jepang menggunakan alat transportasi tanpa sopir, teknologi robot, teknologi sensor, teknologi nirkabel, Code QR dan teknologi drone.
Di Indonesia, justru kebalikan dari Jepang – mengalami bonus demografi. Tingginya jumlah penduduk, kemiskinan, krisis pangan, rendahnya pendidikan menjadi masalah utama yang harus diatasi.
Maka, seharusnya Indonesia memikirkan bagaimana mengatasi masalah pengairan, pendidikan dan lain sebagainya. Indonesia perlu menggunakan AI dan bergerak ke society 5.0. Dengan demikian, keberadaan AI bagi manusia seharusnya semakin meningkatkan kualitas hidup manusia: bahagia, menikmati hidup, waktu interaksi keluarga dan sosial semakin tinggi.
Ketakutan-ketakutan masyarakat, termasuk kaum konservatisme agama terlalu banyak berkutat pada moralitas fakta adanya AI yang tak mungkin dibendung.
Hukum Asimov
Biasanya memandang AI sisi negatif. Itu semua mitos. “Hukum membuat robot itu sendiri menempatkan manusia sebagai tuan. Robot harus melayani manusia. Ada tiga hukum dalam membuat robot yang disebut Hukum Asimov.
- Pertama, robot tidak boleh melukai manusia atau melalui tidak bertindak, membiarkan manusia menderita.
- Kedua, robot harus mematuhi perintah manusia, kecuali jika perintah tersebut bertentangan dengan hukum pertama.
- Ketiga, robot harus melindungi dirinya sendiri, selama tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum pertama dan kedua.
Apa yang membuat robot mengalami error dan bisa saja bertindak jahat adalah tindakan manusia sendiri, ketika ia melihat dan merekam sesama manusia di hadapannya yang menyakiti sesamanya.
Jangan alergi pada AI
AI pun bekerja menurut perintah manusia. Maka namanya ChatGPT. Ia teman diskusi, teman hidup, pembantu manusia. Manusia bertanya kepada AI (prompting), Chat GPT memproses pertanyaan dan memberikan jawaban (prompt engineering).
Prof. Indrajit mengingatkan, bahwa AI tidak dapat melakukan apa-apa tanpa perintah manusia.
“Maka, ngobrol-lah dengannya mengenai apa saja, minta solusi, beri dia pekerjaan. Jangan takut. Dia pelayan kita,” ujar Prof. Indrajit.
“Orang takut kehilangan profesi, karena AI, IOT, Robot, drone dan lainnya, tetapi tidak. Sejatinya, yang terjadi adalah profesi apap un akan digantikan oleh profesi yang sama, yang menggunakan AI. Guru akan tergantikan oleh guru yang menggunakan IA, dan seterusnya,” sambung suami penyanyi Lisa A. Riyanto ini.
“Adanya teknologi tidak membuat manusia semakin malas, sakit-sakitan, dan bodoh,” tegas Prof. Indrajit.
“Meskipun demikian, AI harus digunakan dengan kebijaksanaan hati; seperti yang disampaikan Paus Fransiskus,” tutur Prof. Indrajit, lulusan Universitas Harvard.
“Bagaimana dengan 6.0? Ini belum definisi baku. Tetapi bisa lihat tanda-tanda dari karakternya: koeksistensi harmonis dengan teknologi – keseimbangan dengan alam – keterkaitan global yang kuat – etika dan keadilan teknologi – kesehatan dan kesejahteraan holistik – ekonomi sirkular dan berkelanjutan – pendidikan dan pembelajaran seumur hidup,” jelas Eko Indrajit.
Semua itu menjadi alasan kuat mengapa Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sedunia ke-58 mengangkat tema “Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Hati”. Di masa depan, manusia terus maju, semakin canggih. Semua itu harus diseimbangi dengan kebijaksanaan hati.
“Ingat, robot bisa sangat pintar, punya hati, punya otak tetapi semuanya itu artifisial (buatan). Sedangkan manusia punya kecerdasan, punya hati dan otak, yang semuanya humanis,” tandas Indrajit.
Tim Kerja Komsos Regio Jawa
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini, telah dibentuk Tim Kerja Regio Jawa (TKRJ) untuk periode 2024-2027. Tim inilah yang secara internal akan mengakomodir isu-isu strategis yang muncul dari inspirasi topik TKRJ kali ini.
Ada dua isu utama.
- Berjejaring dengan Komsos paroki dan Komsos keuskupan.
- Komsos KWI memegang wewenang pendataan: verifikasi akun yang mengatasnamakan diri dan akunnya Katolik.
Pada hari kedua dan ketiga, para peserta bercengkrama dengan budaya Baduy dan sekaligus dengan alam nan asri. Peserta mengalami suatu hidup yang kontras. Orang Baduy dalam menolak segala macam teknologi. Ke mana-mana mereka jalan kaki.
Dari apa yang tampak, seperti kesan salah satu peserta, “Kualitas hidup masyarakat Baduy tidak kalah menawan dengan kualitas hidup yang ditawarkan oleh AI. Mereka bersih, sehat, dan kuat.”
Setelah bercengkrama dengan suku Baduy, peserta bermalam di Citorek dan menikmati pesona negeri di atas awan pada pagi hari. Usai berdinamika cukup menantang dengan alam dan budaya, peserta menutup rangkaian TKRJ dengan Misa Minggu Hari Tritunggal Mahakudus, yang dipimpin selebran utama Romo Yohanes Suparto selaku Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor.
Misa dilangsungkan bersama para peziarah lain di Gua Maria Bukit Kanada, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Serang, Banten. Santap siang perpisahan diadakan penuh kekeluargaan di pastoran Paroki Santa Maria Tak Bercela, Rangkasbitung.