KETIGA perumpamaan dalam Luk 15:1-32 mencerminkan dinamika dalam gereja awal. Para pengikut Yesus sering dipandang oleh orang Yahudi sebagai sebagai orang yang kurang taat pada ajaran agama turun-temurun.
[media-credit name=”google” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]
Maklum generasi pertama dan kedua umat kristen belum amat membedakan diri dengan umat Yahudi. Banyak orang dari kalangan ini merasa dijauhi orang-orang yang tadinya tidak memusuhi mereka. Sanak saudara, teman sekerja, lingkungan kini agak mengasingkan mereka.
Keadaan ini mulai dirasakan di kalangan orang Yahudi yang kemudian menjadi pengikut para murid Yesus. Mereka tentu saja merasa terintimidasi dan bertanya-tanya apa sepadan menanggungnya. Mereka bertanya apa mereka itu sungguh “sesat” seperti anggapan sanak saudara dan kawan-kawan mereka. Injil Matius menjawab persoalan ini dengan perumpamaan domba yang hilang dalam Mat 18:12-14.
Di situ ditegaskan bahwa Bapa tetap menyayangi mereka. Taruh kata mereka tersesat, mereka akan dicari sampai ketemu. Dalam Injil Matius perumpamaan itu ditujukan bagi orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus.
Perumpamaan yang sama diolah Lukas bagi kelompok yang berbeda. Komunitas Lukas terdiri dari orang asal Yahudi dan bukan Yahudi. Golongan kedua ini makin bertambah besar dan melebihi yang pertama. Namun, kebiasaan-kebiasaan kerap kali masih digariskan oleh orang dari kalangan Yahudi. Bahkan mereka acapkali memandang orang lain dengan sikap curiga dan merendahkan.
Mereka menganggap orang baru seperti murid yang tidak utuh komitmennya. Orang-orang baru ini dianggap “pemungut cukai” dan pendosa yang sebenarnya tak patut mendekat ke ajaran yang benar. Ditolerir, tapi tidak sungguh diterima. Tentu murid-murid asal luar itu merasa dianggap orang kelas dua, dicap tidak sepenuhnya mau menjadi murid dan masih tetap “kapir”.
Ketiga perumpamaan dalam Luk 15 itu disampaikan untuk menghibur mereka. Tuhan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa mereka terpojok dan dipojokkan oleh saudara-saudara mereka sendiri. Penilaian seperti itu bahkan sudah dikenakan kepada Yesus sendiri. Ia dianggap mengotori diri bergaul dengan pendosa dan dengan para pemungut cukai sekalipun.
Dalam konteks seperti inilah orang-orang yang memandang rendah saudara-saudara seiman itu digambarkan sebagai “kaum Farisi dan para ahli Taurat” dalam Luk 15:1-3. Sekalipun demikian mereka tidak dikecam, melainkan diajak agar melihat persoalannya, diajak bernalar.
Lambang keutuhan
Apa tak berlebihan dikatakan dalam perumpamaan ini pemilik domba meninggalkan kesembilan puluh sembilan ekor domba untuk mencari seekor saja yang tersesat? Untuk memahami gaya bicara ini baik diingat bahwa perumpamaan ini mulai dengan menyebutkan pemilik domba yang memiliki “seratus” ekor domba.
Seratus itu kelipatan sepuluh, angka yang melambangkan keutuhan. Keutuhan dalam arti ukuran yang penuh, tak mungkin bertambah lagi. Memiliki “seratus” ekor domba berarti mempunyai kekayaan yang serba melimpah dan tak perlu ditambah lagi. Juga dalam perumpamaan kedua, “sepuluh” dirham berarti juga jumlah yang utuh, milik yang sebesar-besarnya yang dapat dipunyai.
Tetapi kalau kurang satu saja maka tidak utuh lagi. Juga kehilangan satu dari seratus domba berati kekayaannya menjadi tak utuh lagi. Ada kekurangan yang mengusik. Maka jelas mengapa pemilik domba dan perempuan yang kehilangan satu saja dari miliknya itu berusaha keras untuk menemukan yang bakal membuat milik mereka utuh. Dan bila terjadi, pemilik domba atau perempuan itu bisa bergembira dan mengajak orang lain ikut bersukacita. Mana unsur yang menonjol?
Bila dipandang secara menyeluruh, yang paling menonjol bukan perihal kehilangan, bukan pula kegembiraannya, melainkan usaha mencari yang bakal membuat milik utuh kembali. Baru bila berhasil, kegembiraan dapat dinikmati.
Jadi usaha menemukan itulah yang hendak disampaikan dalam perumpamaan tentang domba yang hilang dan dirham yang terselip itu. Hendak digambarkan betapa besar perhatian Tuhan. Ia belum puas bila masih ada sebagian kecil umat manusia yang belum mengenalNya, serasa masih ada satu ekor domba yang sesat, masih ada dirham yang terselip, dan dalam perumpamaan ketiga, sang anak bungsu masih menderita hidup serba kekurangan di luar.
Tidak mengherankan bila dikatakan pemilik domba itu “meninggalkan yang sembilan puluh sembilan” untuk mencari seekor yang hilang. Tak perlu ditafsirkan sebagai melalaikan jumlah yang besar tadi atau kurang beperhatian kepada anak sulung. Justru maksudnya untuk membuat jumlah yang besar tadi menjadi utuh, membuat anak sulung ikut menikmati keutuhan milik ayahnya. Baru bila berhasil, kegembiraan bisa diperoleh.