Teologi Pembebasan, the Black Pope vs. the White Pope (26)

0
5 views
The Black Pope Jesuit Superior General Pater Pedro Arrupe y Gondras SJ vs. the White Pope Pope John Paul II. (Ist)

SEJARAH Gereja Katolik Semesta pernah diwarnai -katakanlah- semacam ketegangan antara Tahta Suci Vatikan dengan Generalat Ordo Serikat Jesus (Jesuit).

Kedua institusi Gereja itu diwakili oleh masing-masing pemimpin tertinggi dari kedua lembaga gerejani ini.

  • Tahta Suci Vatikan terwakili dalam diri sosok Paus Johannes Paulus II.
  • Generalat Jesuit di Borgo Spirito No. 5 Roma terwakili dalam diri sosok Jesuit Superior General: mendiang Pater Pedro Arrupe y Gondra SJ (14 November 1907-5 Februari 1991).

Black Pope vs White Pope

Masing-masing “kubu” di atas mendapat julukan publik berdasarkan warna jubah yang selalu mereka kenakan sehari-hari.

  • Paus Johannes Paulus II selalu berjubah warna putih dan karenanya lalu disebut The White Pope.
  • Superior General Ordo Jesuit ke-28 Pater Pedro Arrupe y Gondra SJ selalu berjubah hitam dan karena itu dijuluki The Black Pope. Ia menjadi Superior General Jesuit kurun waktu 22 Mei 1965 sampai 1983 saat ia memutuskan mengundurkan diri karena sakit.
Jesuit Superior General Pater Pedro Arrupe SJ saat masih muda dan berkarya di Jepang. (Ist)

Awal ketegangan

Dalam sejarah Jesuit Internasional, sosok Pemimpin Umum Ordo Serikat Jesus mendiang Pater Pedro Arrupe y Gondra SJ dikenal sebagai tokoh sangat kharismatis. Ia menjalani hidupnya selama bertahun-tahun sebagai imam misionaris di Jepang. Bahkan ia juga pernah menjadi Provinsial (baca: Pemimpin Umum) Provinsi SJ Jepang.

Dalam sebuah perjalanan pulang dari Filipina menuju Roma tanggal 7 Agustus 1981 usai merampungkan kunjungan visitasi ke Provinsi SJ Filipina, Pater Pedro Arrupe y Gondra SJ mendapat serangan stroke ringan. Terjadi di dalam penerbangan pulang ke Roma. Rupanya,. serangan stroke ini dalam waktu kemudian menjadikan Pater Arrupe mengalami tubuhnya menjadi setengah lumpuh dan ia tidak mampu bicara dengan jelas.

Karena penyakit stroke inilah yang membuat efektivitas kepemimpinan tertinggi Ordo Jesuit jadi “kedodoran”. Atas dasar itulah, Tahta Suci Vatikan di bawah Paus Johannes Paulus II lalu “meragukan” efektivitas dan kemampuan manajerial Pater Pedro Arrupe sebagai Superior General Jesuit.

Singkatnya, Paus Johannes Paulus II bertanya apakah derita sakit stroke itu tidak menghalangi Pater Pedro Arrupe y Gondra SJ bisa menjalankan fungsinya sebagai “Jenderal” alias Pemimpin Umum SJ.

Tentu saja jawabannya “Ya” dalam huruf besar.

Tahun 1983, Pater Pedro Arrupe y Gondra SJ secara resmi memutuskan mengundurkan diri sebagai Superior General Jesuit. Ia menjadi “Pater Jenderal” Jesuit pertama yang mengundurkan diri.

Posisinya kemudian digantikan oleh Jesuit asal Libanon namun berkebangsaan Belanda: Pater Peter-Hans Kolvenbach SJ. Sebelum Pater Kolvenbach SJ dari Libanon-Belanda mengambil oper peran dan fungsi baru sebagai Jesuit Superior General, Generalat SJ di Borgo Spiritu No. 5 Roma dipegang oleh pemimpin umum ad interim: Pater Vincent O’Keefe SJ, Jesuit Amerika Serikat yang pernah menjadi Rektor Fordham University di New York.

Ilustrasi: Graffiti berisi pesan gagasan dan paham Teologi Pembebasan. (Ist)

Teologi Pembebasan melawan junta militer Amerika Latin

Pertanyaan kritis dan keprihatinan Paus Johannes Paulus II di atas itu juga menemukan dasarnya dalam sejarah politik Vatikan dan Gereja Katolik Semesta. Terutama, ketika Gereja Katolik Semesta saat pemerintahan Paus Johannes Paulus II secara masif dan intensif sangat “didera” oleh persoalan politik sangat rumit di wilayah negara-negara Amerika Latin.

Ketika itu, banyak pastor -termasuk juga para Jesuit- telah berramai-ramai ikut “terjun” masuk ke dalam politik praktis untuk melawan rezim pemerintah yang sedemikian otoriter dan anti kritik.

Banyak negara di kawasan Amerika Latin waktu itu asyik menerapkan gaya kepemimpinan militeristik sehingga kemudian dikenal istilah junta militer.

Taruhlah itu terjadi di Argentina zaman Paus Fransikus masih menjadi Pater Jorge-Mario Bergoglio SJ dan kemudian di usai masih sangat muda -umur 36 tahun- lalu dipilih untuk mengampu fungsi dan tugasnya sebagai Provinsial SJ Provinsi Argentina.

Praktik pemerintahan junta militer macam ini juga terjadi di El Salvador, Cuba, Chile, Colombia, Peru, dan negara-negara Amerika Latin lainnya.

Ilustrasi: Para uskup dan imam menjadi simbol tokoh perjuangan yang menentang rezim otoriter junta militer. (Ist)

Para pastor lepas jubah, angkat senjata

Sementara di tataran pemerintahan junta militer, aktor-aktor pemimpin negara bertindak sangat otoriter. Kadang juga tidak sungkan menculik para aktivis sosial. Makanya, di dalam elemen masyarakat, sejumlah aktivis sosial-politik kemudian ikut “bergerilya”.

Bahkan sejumlah aktivis sosial-politik tersebut malah juga bertindak “keras” dengan mulai angkat senjata melawan pemerintah. Dilakukan secara bergerilya tentu saja.

Dalam konteks inilah, para imam Katolik di kawasan negara-negara Amerika Latin itu kemudian “turun” ke lapangan dengan meninggalkan altar dan pastoran untuk bersama-sama masyarakat bergerilya melawan pemerintah otoriter. Bahkan, banyak pastor kemudian juga angkat senjata.

Semua ini terjadi karena arus pengaruh besar Teologi Pembebasan.

Nah, karena sejumlah imam Jesuit juga ikut mempraktikkan teori dan paham Teologi Pembebasan itu, maka Tahta Suci Paus Johannes Paulus II bereaksi “marah” kepada Jesuit.

Intinya, Vatikan langsung menegur Superior General Pater Pedro Arrupe SJ agar segera “menertibkan” para anggotanya di Amerika Latin. Baik mereka yang diam-diam mempraktikkan paham Teologi Pembebasan.

Atau menertibkan mereka (baca: menyuruh mereka dimissio – secara sukarela tanggalkan jubah dan kemudian keluar baik-baik sebagai Jesuit) yang malah secara terang-terangan tinggalkan jubah mereka tapi kemudian berseragam ala gerilyawan di hutan melawan pemerintah di kota. Jadi, mereka masih resmi berstatus imam, tapi kok juga mulai ikut panggul senjata.

Ketegangan “diplomatik” antara Vatikan vs Borgo Spirito

Ketegangan “diplomatik” antara Vatikan (baca: Paus Putih) melawan Generalat Jesuit di Borgo Spirito No 5 Roma (baca: Paus Hitam) semakin memuncak, ketika sakit stroke-nya Jenderal Jesuit Pater Pedro Arrupe SJ semakin parah. Juga karena juga faktor usia lanjut.

Menghadapi situasi sangat pelik ini, tiba-tiba saja di tahun 1981 Paus Johannes Paulus II nekat “melantik” Pater Paulo Dezza SJ (3 December 1901–17 December 1999) menjadi delegatus resmi Vatikan untuk Generalat Jesuit.

Pater Dezza SJ waktu itu sudah menjadi tokoh penting di Vatikan, karena mengemban tugas sebagai Rektor Universitas Kepausan Gregoriana.

Sebagai delegatus resmi Vatikan untuk -katakanlah- untuk segera “memimpin” Ordo Jesuit, posisi Pater Paolo Dezza SJ menjadi ganjalan birokrasi bagi Generalat SJ. Setelah huru hara politik drama krisis politik Vatikan vs. Generalat itu usai, 10 tahun kemudian Pater Dezza malah diangkat menjadi Kardinal oleh Paus Johannes Paulus II tanggal 28 Juni 1991.

KI-ka: Rektor Universitas Kepausan Gregoriana Pater Paolo Dezza SJ vs. Penjabat Pemimpin Umum Jesuit Rektor Fordham University Pater Vincent O’Keefe SJ dari Amerika. (Ist)

Upaya Vatikan menjinakkan para Jesuit

Langkah “tidak biasa” Paus Johannes Paulus II yang mengangkat Pater Paolo Dezza SJ sebagai delegatus Vatikan itu oleh Generalat Jesuit dianggap sebagai aksi “campur tangan” Vatikan.

Karena -demikian anggapan umum yang beredar di kalangan Jesuit waktu itu- Vatikan terlalu jauh ingin “menggarap” Ordo Jesuit “dari dalam”. Terlebih dengan mau memanfaatkan “orang dalam” juga (baca: Pater Paolo Dezza SJ).

Vatikan memandang langkah tersebut sangat efektif guna bisa “menjinakkan” para jesuit di Amerika Latin. Caranya dengan memasang “kaki tangan” Tahta Suci (baca: Pater Paolo Dezza SJ) yang waktu itu punya dua pijakan: di Vatikan sebagai Rektor Universitas Kepausan Gregoriana dan di Generalat SJ sebagai delegatus resmi Paus. Intinya, Vatikan melalui Pater Dezza SJ ingin mengecilkan pengaruh Pater Vincent O’Keefe SJ.

Mau taat total kepada siapa?

Kisah menarik konflik ketegangan dua “kutub” antara the Black Pope vs. the White Pope ini terjadi kurun waktu tahun 1981-an. Konflik ini memaksa para Jesuit internasilan menjadi sedikit “bingung”.

  • Di satu sisi, harus taat sepenuhnya seperti Kaul Keempat Jesuit bak “sebuah tongkat di tangan orang buta” kepada Paus sebagai Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik.
  • Di sisi lainnya, juga harus taat kepada Superior General Ordo yang waktu itu kepada Pater Pedro Arrupe SJ yang sudah sakit parah dan yang kemudian fungsinya “digantikan”oleh seorang delegatus resmi Vatikan: Pater Paolo Dezza SJ.

Pater Vincent O’Keefe SJ, pemimpin internal ad interim

Yang menarik lagi, ketika kondisi Pater Pedro Arrupe semakin parah sakitnya, maka Generalat SJ lalu memutuskan Pater Vincent O’Keefe SJ -warga negara Amerika- untuk menjadi pemimpin ad interim Ordo. Dengan tugas penting adalah menyiapkan forum Kongregasi Jenderal (baca: Pertemuan Umum para pimpinan SJ dari berbagai negara dan Provinsi Jesuit) agar bisa menetukan siapa Superior General Jesuit berikutnya.

Alih-alih bisa melanjutkan mandat Ordo untuk tugas ini, Vatikan malah mengintervensi Ordo dengan menunjuk Pater Paolo Dezza sebagai delegatus resmi Vatikan di SJ.

Baik Pater Dezza SJ maupun Pater O’Keefe SJ sebagai sama-sama Jesuit pasti juga merasa tidak nyaman menjalani fungsi mereka masing-masing di tengah suasana “keruh” tersebut.

Catatan tambahan

Ordo Serikat Yesus -yang lebih dikenal sebagai Ordo Jesuit- adalah salah satu ordo religius paling berpengaruh dalam Gereja Katolik. Didirikan oleh Santo Ignatius dari Loyola tahun 1540, para Jesuit dikenal atas karya mereka di bidang pendidikan, misi, dan karya sosial-kemasyarakat di seluruh dunia, serta atas kesetiaan khusus mereka yang sangat mendalam kepada Paus – siapa pun Paus.

Superior General atau Pater Jenderal Jesuit. Pemimpin tertinggi Ordo Jesuit disebut Superior General atau secara informal dikenal sebagai Pater Jenderal atau Pemimpin Umum Ordo. Ia dipilih untuk masa jabatan seumur hidup (meskipun pengunduran diri dimungkinkan, seperti yang terjadi dengan Pater Jenderal Pedro Arrupe SJ) dan memimpin seluruh anggota Jesuit di seluruh dunia.

Paus Hitam – Julukan “Paus Hitam” diberikan kepada Superior Jenderal Jesuit (baca: Pater Pedro Arrupe y Gondra SJ) karena dua alasan utama:

  • Para Jesuit di belahan Benua Eropa dan Amerika secara tradisional selalu mengenakan jubah berwarna hitam.
  • Superior Jenderal, meskipun bukan seorang Paus, memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur kehidupan internal ordo Jesuit.
    Istilah ini kadang-kadang dibesar-besarkan dalam teori konspirasi, namun pada kenyataannya, sebutan ini lebih menekankan pada pengaruh besar Jesuit di dalam Gereja.

Paus Putih merujuk pada Bapa Suci Paus Johannes Paulus II.

Baca juga: 7 Mei 2025 Konklaf untuk memilih Paus baru (25)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here