BERDOA menuntut iman. Ada doa yang segera terkabul; ada pula doa yang seakan tidak dikabulkan.
Peristiwa di bawah ini menggarisbawahinya.
Ketika bangsa Israel berperang melawan bangsa Filistin, mereka dipukul kalah; kehilangan empat ribu pasukan. Tentu mereka berdoa memohon pertolongan Tuhan.
Lebih dari itu, mereka membawa Tabut Perjanjian ke tengah perkemahan. Mereka mengira kalau tabut perjanjian Allah dibawa di tengah medan perang, pasti mereka akan menang.
Ternyata, mereka tetap kalah. Bahkan lebih parah. Kehilangan tiga puluh ribu pasukan. Apakah Allah tidak menjawab doa mereka?
Berbeda dengan pengalaman seorang penderita kusta. Tatkala bertemu dengan Sang Guru Kehidupan dia berkata, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan saya” (Mrk 1: 40). Karena belas kasih-Nya Sang Guru menjawab, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” (Mrk 1:41).
Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir (Mrk 1: 42). Doanya didengarkan dan terpenuhi yang dimintanya. Saat itu juga.
Dua peristiwa di atas menegaskan dua cara berbeda dalam berdoa.
Bangsa Israel itu seakan mau memaksa Tuhan berpihak pada mereka dengan membawa Tabut Perjanjian. Tetapi Tuhan tidak berkenan.
Sedangkan penderita kusta itu menyerahkan jawaban atas doanya kepada Tuhan (“Jika Tuhan mau, Tuhan dapat mentahirkan saya”). Tuhan berkenan mengabulkan doanya.
Ada orang yang mengalami doanya segera dijawab. Bersyukurlah. Ada pula yang lambat dikabulkan atau bahkan tidak dijawab sama sekali.
Berimanlah. Terkabul tidaknya suatu doa itu tergantung kehendak Tuhan.
“The basic purpose of prayer is not to bend God’s will to mine, but to mold my will into His.” (Timothy Keller).
Kamis, 13 Januari 2022