MASA karantina ini membatasi dan mengubah pola komunikasi kami. Meskipun kampus ditutup selama masa karantina, pembelajaran tetap berlangsung.
Setiap hari kami berada di depan komputer dengan koneksi internet untuk mengikuti perkuliahan secara online. Sekretariat kampus juga bekerja secara online untuk mengatur perkuliahan.
Para dosen masuk ke ‘kelas virtual’ sesuai dengan jadwalnya dan mengajar layaknya di kelas.
Tidak hanya perkuliahan, formasi di seminari pun tetap berlanjut secara virtual.
Rektor kami bergabung dengan grup-grup whatsapp setiap angkatan dan menuliskan butir-butir rohani setiap hari.
Bersama dengan pamong, kami rutin bertemu secara virtual satu angkatan, mendengarkan lectio divina dari pembimbing rohani angkatan, sharing Kitab Suci, dan sharing pengalaman.
Semua dilakukan secara virtual.
Pada awalnya, kami bisa menikmati dan mulai terbiasa keadaan ini. Tidak sulit untuk menyesuaikan diri dan mempelajari semua fungsi yang disediakan.
Akan tetapi, setelah tiga pekan berjalan, tidak bisa dimungkiri bahwa kami rindu untuk melakukan semuanya seperti semula dan tidak lagi virtual.
Ada kelelahan tersendiri, ketika melakukan semuanya secara virtual, bukan sekadar soal kendala koneksi atau teknis yang lain, tetapi keinginan berjumpa untuk ngopi bersama atau obrolan ringan juga sangat kami rindukan.
Kalau biasanya teman-teman senang, ketika pulang ke rumah, kini semua rindu kembali ke komunitas.
Suasana yang kurang lebih sama mungkin juga sedang Anda alami saat ini ketika Perayaan Ekaristi hanya bisa diikuti melalui media komunikasi digital.
Saya tersentuh melihat posting-an Komsos KAS minggu lalu, ketika menampilkan foto-foto keluarga yang sedang mengikuti perayaan Ekaristi melalui kanal Youtube Komsos atau media lainnya.
Anggota keluarga berkumpul dengan dua lilin di tengah, salib, patung orang kudus, dan tentu saja laptop, smartphone atau televisi. Dengan segala cara, keluarga-keluarga Katolik tetap berusaha untuk mengikuti Perayaan Ekaristi.