Terkotak-kotak

0
251 views
Terkotak-kotak

Renungan Harian
Senin, 4 Oktober 2021
PW. St. Fransiskus Assisi
Bacaan I: Yun. 1: 1-17; 2: 10
Injil: Luk. 10: 25-37
 
“SEBAGAIMANA telah menjadi kebiasaan keluarga kami, setiap menjelang Hari Natal kami sibuk membantu ibu.

Sejak sepekan sebelum Natal, ibu selalu menyiapkan kue-kue kering dan kacang bawang untuk menyambut tetangga-tetangga yang datang mengucapkan Selamat Natal.

Sehari sebelum Natal, ibu membuat kue bolu untuk hantaran bagi tetangga-tetangga.

Itulah kebiasaan di kampung kami. Setiap Natal, tetangga-tetangga datang ke rumah kami untuk mengucapkan Selamat Natal, dan ibu akan mengantarkan kue bolu ke tetangga.

Demikian juga saat Lebaran Idul Fitri, rumah kami kebanjiran ketupat opor sambal goreng dari tetangga yang merayakan Idul Fitri.

Setiap selesai solat Idul Fitri, kami sekeluarga akan berkunjung ke tetangga untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri dan bermaaf-maafan.
 
Natal tahun ini terasa amat berbeda, dan membuat ibu amat bersedih. Beberapa kue bolu yang dihantar ke tetangga banyak yang ditolak disertai permohonan maaf yang besar.

Ibu bukan hanya sedih, tetapi juga bingung dengan peristiwa ini. Ibu merasa hari-hari ini, juga selama ini, tidak ada masalah dengan tetangga-tetangga yang menolak kue bolu hantaran keluarga kami.

Bahkan tadi pagi beberapa dari mereka bersama-sama ibu ke pasar dan tidak ada masalah apa pun.

Ibu semakin terkejut dan sedih karena beberapa tetangga mengatakan mohon maaf bahwa mereka tidak bisa datang berkunjung ke rumah kami dan mengucapkan Selamat Natal. Karena dilarang.
 
Ibu duduk terdiam di ruang tamu, matanya basah oleh air mata. Ibu bertanya kepada bapak berkaitan dengan kejadian Natal tahun ini.

Ibu terkejut dan sedih dengan perubahan yang seolah datang tiba-tiba di kampung kami. Kampung yang sejak dulu guyup rukun; semua seperti saudara sekarang terasa ada sekat-sekat yang membatasi.

Meski dalam keseharian tidak terlihat sekat-sekat itu, tetapi saat perayaan keagamaan terutama Idul Fitri dan Natal terasa sekat itu.

“Ibu tidak usah berpikir yang berat-berat. Jangan terlalu diambil hati. Apa yang penting adalah kita jangan berubah. Kita mau mengantar bolu, ya mengantar bolu, kalau ditolak ya sudah. Nanti kalau Lebaran kita seperti biasa berkunjung kalau ditolak ya tidak apa-apa.

Sebenarnya mereka, tetangga-tetangga itu kasihan, karena mereka bertindak demikian karena takut,” kata bapak menenangkan ibu.

Ibu tidak menjawab tetapi sepertinya kata-kata bapak cukup menghibur dan menguatkan ibu,” seorang anak muda berkisah tentang perubahan di kampungnya.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Yesus mengajarkan agar kita membongkar sekat-sekat yang memisahkan persaudaraan antar manusia. “Dan siapakah sesamaku manusia?”
 
Bagaimana dengan aku?

Apakah aku berani membangun jembatan yang menghubungkan persaudaraan antar manusia?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here