Akhir Juli 2007, Kapel Le Cocq d’Armandville diberkati. Suatu bangunan megah, dengan arsitektur mewah, berdiri di ujung Jalan Merdeka, Nabire. Ia tampak angkuh dibandingkan bangunan-bangunan sederhana dari papan di sekitarnya. Lantainya tidak cukup sekadar keramik, tapi granit. Suatu benda yang sangat baru di kota kecil ini. Jendela kaca patri yang juga belum ada pendahulunya di sini. Lalu, dua kolom beton nan perkasa itu pun belum tertandingi.
Atapnya menjulang tinggi, jauh lebih tinggi daripada semua bangunan di sekitarnya. Pun ia berdiri tegak terpisah rumah yang lain. Ia berdiri sendiri, tanpa bergandengan dengan yang lain. Ia diam. Ia bisu. Sekadar menjadi penanda yang mencolok di Jalan Ahmad Yani-Jalan Merdeka.
Tidak ada kehidupan yang memusat di gedung megah ini. Juga tidak ada derap kehidupan yang dipengaruhinya. Sungguh, ia memiliki kehidupannya sendiri.
Ia terlalu megah untuk menampung mama-mama yang bertelanjang kaki. Ia pun terlalu tinggi untuk menunduk pada anak-anak kecil pemulung kaleng. Mungkin, ia juga terlalu suci untuk para pemabuk. Juga, hatinya terlalu dingin untuk bisa turut menangis bersama dengan keluarga-keluarga yang kehilangan anak mereka.
Pagi itu, didapati salah satu jendela kaca patri itu remuk ditembus batu… Mungkin batu itu adalah ungkapan kemarahan seorang pendosa yang berharap menemukan Tuhan di gedung megah itu, tapi ternyata Tuhan tidak di sana.
Entahlah. Aku hanya menerka-nerka.
Orang yang tidak bisa membangun manusia, dia akan memilih membangun gedung megah. Mungkin itu lebih mudah…tetapi kalau bisa membangun keduanya agar sama-sama megah.