PAGI itu, ketika sedang meneguk kopi panas, suara ibu cengking dari dalam kamar, memintaku supaya lekas siap diri untuk pergi ke rumah ibadah. Aku cuek, tidak menyahut teriakannya. Begitulah watak asli ibu, kalau dia sedang naik pitam.
Walau aku cuek, namun suara teriakan ibu membangunkan memoriku akan sebuah rumah ibadah yang hancur dihantam oleh bom dalam berita di televisi tadi malam. Sebuah mini bus bermuatan bom meledak persis di depan sebuah rumah ibadah milik kaum minoritas di Timur Tengah.
Orang-orang yang sedang suntuk memuji Tuhan dalam rumah ibadah itu jatuh bersimbah darah dengan tubuh sudah tak utuh lagi. Kepingan-kepingan tubuh yang telah hancur menyatu erat dengan serpihan bahan peledak berserakan di lantai dan tanah.
Menyeramkan memang. Mereka yang nyawanya belum sempat dijemput oleh maut menangis histeris meminta pertolongan. Ratusan polisi, tentara dan tim medis tiba di TKP satu jam setelahnya. Para korban yang masih hidup dievakuasi ke rumah sakit terdekat. Mereka yang telah meninggal, jenazahnya dimasukkan ke dalam kantong jenazah.
Menurut polisi setempat peristiwa keji itu mencederai ratusan orang dan membunuh puluhan orang tak berdosa. Serangan tersebut dilakukan oleh kaum radikalisme agama yang sesat dalam menafsir ajaran agamanya.
Aku tak habis pikir. Mengapa orang-orang yang menyandang predikat agama saling membenci, memusuhi dan membunuh satu sama lain dengan kejam. Ayah menghampiriku di meja makan dan mukul bahuku.
Aku terkejut. Seketika fantasiku tentang tragedi serangan berdarah itu berlalu dan sirna. Ayah singgah ke meja hanya untuk menegaskan teriakan ibu tadi bahwa aku mesti pergi ke rumah ibadah, sebab hari ini pastor dari pusat paroki akan memimpin misa terakhir di kapelkami.
Secara adat dan etis memang tidak elok memasang punggung pada kata-kata orangtua. Kuturuti permintaan ibu dan ayah. Dengan muka yang masih malas-malas, aku berusaha bangkit, meninggalkan gelas kotor di atas meja makan.
Aku cepat-cepat ke kamar mandi membereskan diri. Setelah itu, kuambil sepeda reyot milik Ayah, mendayungnya dengan buru-buru menuju ke kapela yang sudah usang dimakan usia.
Kapel stasi pagi itu dibanjiri oleh lautan manusia. Sebelum misa dimulai, Pak Kobus Ketua Stasi mengumumkan kepada umat bahwa hari ini adalah misa terakhir dan perpisahan dengan Pastor Asto yang katanya akan diutus oleh kongregasinya melanjutkan studi ke Roma.
Di mana-mana kalau pastor mau pindah selalu ada pesta perpisahan. Sisi buruk dari acara perpisahan dengan seorang pastor ialah bahwa acara itu akan membuat umat sedih dan meneteskan air mata.
Wajah ibu-ibu kelompok Legio Maria dan OMK tampak sedih mendengar pengumuman Pak Kobus. Anggota seksi konsumsi acara perpisahan sedang sibuk menyiapkan makanan pesta di dapur yang berdempetan dengan aula kapela. Tak lama kemudian Pastor Asto tiba dengan sepeda motor Honda Astrea keluaran tempoe doloe.
Segera sesudah menyapa umat dan berkoordinasi dengan Pak Kobus, Pastor Asto memulai perayaan ekaristi karena dikejar oleh waktu. Barangkali akan ada perpisahan berikutnya di stasi lain.
Aroma masakan daging RW menembus masuk ke dalam kapel memporak-porandakan indra penciuman dan keseriusan umat. Kuperhatikan banyak orang sudah tidak serius dan konsentrasi mengikuti misa. Namun, Pastor Asto mencoba untuk tidak terpengaruh dengan aroma itu. Ia terus tancap gas membacakan homilinya yang membuat umat tertawa terbahak-bahak.
Di pertengahan homilinya, Pastor Asto menyentil tragedi serangan bom yang sempat kunonton tadi malam. Dengan nada keras berkali-kali Pastor Asto mengutuk aksi serangan bom mematikan tersebut.
Ia sungguh seorang tokoh agama yang gigih membela keadilan, kebenaran dan martabat manusia yang diinjak-injak dan dihancurkan dengan cara yang sadis oleh mereka yang tak bermoral dan tak berperikemanusiaan.
Sentilan homili Pastor Asto tentang serangan bom mematikan itu kembali mengusik pikiran dan nuraniku. Fantasiku kembali ke dalam peristiwa keji itu seperti di meja makan tadi pagi. Tragedi berdarah itu sungguh menodai ritual suci kaum minoritas dan mengkhianati prinsip kemanusiaan. Terlalu biadab cara kaum radikal itu menghabisi nyawa orang lain.
Aku tidak lagi konsentrasi dengan ritual misa yang sedang berlangsung. Pikiran dan batinku kacau dibayangi oleh peristiwa pelik itu. Gugatan dan pemberontakan batinku mulai bergelora dan meledak. Pelbagai pertanyaan silih berganti muncul di kepalaku.
Mengapa orang-orang beragama yang mengklaim selalu dekat dengan Tuhan dan biasa berbincang dengan Tuhan saling membenci, bertengkar, bermusuhan dan membunuh sesamanya dengan cara yang sangat brutal?
Apakah Tuhan mengizinkan pembunuhan? Jika Ia mengizinkannya, maka Ia adalah aktor di balik seluruh kejahatan yang ada dalam dunia ini.
Tetapi bukankah Tuhan itu adalah sumber kasih dan kebaikan seperti yang selalu aku baca dalam Kitab Suci dan kudengar dalam homili-homili para pastor dan tokoh agama lainnya?
Bukankah Ia selalu mengajarkan kepada manusia supaya mereka saling mengasihi, bertindak adil, jujur, saling membantu dan menghargai satu sama lain?
Tak kusadari, tiba-tiba Pak Kobus menyampaikan dari atas mimbar bahwa sesudah misa akan dilanjutkan dengan acara temu pisah dengan Pastor Asto di aula stasi.
Seluruh umat diundang tanpa terkecuali.
Sementara acara temu pisah berlangsung, Pastor Asto memanggilku. Aku menghampirinya dan kucium tangannya yang terurapi itu. Ia berbisik kepadaku untuk mengambil ramuan spesial di dalam tasnya.
Kuserahkan ramuan itu kepadanya. Ia mencapurkannya ke dalam arak kampung bernama MB. “Daging RW akan jauh lebih enak, jika ditolak dengan BM,” jelasnya kepadaku.
Lalu, ia menyodorkan segelas arak BM kepadaku. Kuterima dan kuhabisi arak BM itu satu kali teguk. Lima menit kemudian BM mulai mempermainkanku dari dalam.
Tiba-tiba, wajah Pastor Asto dalam pandanganku tampak dua wajah. Sifatku yang pemalu dan biasanya segan terhadap Pastor Asto lari menghilang entah ke mana.
Aku yang tadinya hanya berbicara satu dua kata, kini mulai berbicara lebih banyak dan lebih panjang dari Pastor Asto.
Dengan berani kutanyakan kepadanya tentang berita bom di depan rumah ibadah kaum minoritas yang sempat ia kutuk dalam homilinya. Katanya bahwa peristiwa keji itu terjadi karena kaum radikalisme sesat dalam menafsir ajaran agamanya. Orang lain seperti kaum minoritas yang berada di luar agama mereka adalah setan atau musuh yang mesti disingkirkan dan dibunuh.
“Apa alasan substansial sampai mereka bertindak brutal terhadap kaum minoritas?,” tanyaku dengan serius.
Pastor Asto tidak memberi jawaban apa pun.
“Sekarang kita menikmati dulu acara perpisahanku dengan umat. Setelah acara ini selesai akan kujelaskan secera mendetail tentang pertanyaanmu itu sebab ketika menggeluti ilmu filsafat di bangku kuliah, aku menulis skripsiku tentang kekerasan antarumat beragama dan terorisme,” katanya.
“Siip tuan, Pastor.”
Tak lama kemudian, Ketua Stasi merangkap seksi acara meminta Pastor Asto untuk menyampaikan pesan dan kesan terakhirnya kepada umat. Ia maju dan mulai menyampaikan isi hatinya. Suaranya tiba-tiba serak-serak basah.
Seluruh umat hening seketika. Sebagian besar mengeluarkan sapu tangan dan tisu untuk mengeringkan linangan air mata yang telah membasahi pipi.
Pastor Asto berusaha untuk teguh dan tidak menjatuhkan air matanya. Barangkali ia malu dan takut akan diejek sama teman-temannya, jika ketahuan. Ia mengakhiri sambutannya dengan merentangkan tangannya yang terurapi itu untuk memberkati kami. Pak Kobus ketua stasi memberi kesempatan kepada seluruh umat untuk menyalami Pastor Asto.
Sesudah acara salam-salaman usai, ia kembali ke tempat duduknya. Segera sesudah duduk, Pastor Asto berpaling kepadaku dan menjelaskan tentang akar dari kekerasan antarumat beragama.
“Akar kekerasan antarumat beragama yang tampak nyata dalam aksi terorisme sebagaimana yang baru saja terjadi dalam rumah ibadah kaum minoritas di Timur Tengah itu sesungguhnya berasal dari pikiran dan sanubari yang telah tercemar oleh racun kebencian, kemarahan, egoisme dan fanatisme agama yang sangat sempit.
Sebenarnya tidak ada persoalan orang berbeda agama sebab agama adalah cara dan jalan yang dipilih oleh setiap manusia untuk kembali kepada Tuhan. Adalah lucu dan keliru jika orang-orang beragama saling membenci, memusuhi dan membunuh.
Padahal Tuhan tidak pernah mengajarkan kepada manusia untuk saling membenci, memusuhi dan membunuh. Tuhan juga tidak pernah mendirikan satu agama apa pun. Dan, Tuhan sebenarnya tidak pernah menganut agama apa pun.
Tetapi itu bukan berarti Tuhan itu sama seperti kaum ateis. Tidak. Tuhan adalah Tuhan. Tidak ada Tuhan yang lain selain Tuhan itu sendiri. Tuhan itu netral dan adil. Dia adalah bapak serentak ibu bagi semua umat manusia yang berbeda agama maupun yang tidak menganut agama.
Agama-agama yang ajarannya mengandung kasih, kebaikan, persaudaraan, keadilan, kedamaian, kejujuran, kesetaraan, saling menghormati dan memahami itulah agama Tuhan”.
Ahhh, terlalu telak penjelasan Pastor Asto. Aku puas mendapat kuliah gratis yang sangat berbobot dari seorang tokoh sekaligus guru yang bijak.
Wawasannya jauh lebih luas dari samudra dan lebih bening dari sumber mata air di pegunungan.
Rupanya Tuhan tidak menganut agama, tetapi semua ajaran agama yang baik bersumber dari Tuhan.*
Keterangan
- RW: rintek wu’uk adalah masakan daging anjing (bahasa Minahasa).
- BM: bakar menyala, istilah ini populer di daratan Pulau Timor untuk menyebut arak yang sangat keras.