TERGODA dengan tawaran “bunga” yang menarik, Prasetyo, kenalan lama saya, terjebak (atau menjebakkan diri) dalam “permainan uang” (money games).
Awalnya dia mencoba menanam uang tak seberapa untuk memperoleh “bunga” yang tinggi. Kailnya dimakan ikan besar.
Pras penasaran. Untuk meraup untung lebih banyak, dia menjual rumah satu-satunya.
Sebagian dipakai untuk membayar uang-muka rumah baru yang lebih besar. Sisanya untuk membeli money games.
Perhitungan yang nampaknya cukup logis. Bunga yang (akan) didapat sebagian untuk mengangsur kredit rumah. Sisanya untuk menambah biaya hidup.
Prasetyo membuka lembaran baru. Rumah besar, uang berputar cepat, pendapatan mengalir deras. Situasi yang sungguh menyenangkan.
Tapi keadaan berubah cepat. Permainan berlangsung hanya 6 bulan, dan kemudian berputar 180 derajat.
Bunga yang dihandalkan memutar “perekonomian gaya barunya” tiba-tiba berhenti mendadak. Bulan ke tujuh, Pras tak lagi menerimanya.
Bulan ke delapan, uang angsuran rumah (baru) tak lagi mampu dibayar. Investasinya hilang tak bisa dilacak.
Mereka yang dulu mendorong ikut bermain kabur entah ke mana. Yang tersisa diam seribu basa.
Kenalan yang dulu sama-sama bermain, idem ditto. Terpukul dan saling menjauh. Sebagian karena sedih, lebih banyak karena malu.
Prasetyo termenung seorang diri. Karena tak lagi mengangsur, rumahnya yang baru dihuni beberapa bulan disita bank. Lengkap sudah kisah sedih Pras.
Ada satu hal yang menarik untuk disimak.
Entah karena alasan apa, Pras cenderung malah berpihak kepada mereka yang telah menyengsarakannya. Tidak hitam-putih, tapi nada pembelaanlah yang keluar, bila mereka disalahkan.
Sambil prihatin dengan nasib buruk Prasetyo, saya teringat akan suatu sindrom psikologis yang dikenalkan oleh seorang psikiater dan kriminolg Swedia, Nils Johan Artur Bajerot (1921-1988).
Peristiwa terjadi di ibukota Swedia, Stockholm, pertengahan Agustus 1973. Dua penjahat ulung, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson menyerbu masuk bank dan menyandera empat orang karyawan yang terjebak di dalamnya.
Para sandera dikurung sekira enam hari. Mereka mendapat perlakuan kejam serta ancaman pembunuhan.
Drama belum usai. Ketika polisi berusaha membebaskan mereka, para sandera justru membela para penjahat.
Tak hanya itu, mereka bahkan mengkritik polisi yang tidak peka dan memahami para perampok itu. Keempat sandera juga menolak untuk bersaksi di pengadilan.
Singkat cerita, setelah korban mendapat tekanan yang represif selama sekian hari, maka mekanisme pertahanan diri para korban justru berbalik arah melawan si pembebas. Anomali perilaku terbentuk saat penjahat ditaklukkan.
Perilaku aneh itu dipelajari dan dirumuskan oleh Bajerot dan dinamakan Stockholm Syndrome.
Dalam perkembangannya, Sindrom Stockholm tak hanya muncul karena tekanan fisik saja. Tekanan psikis pun bisa. Memang, fisik dan psikis adalah dua aspek dalam diri manusia yang berkelindan sangat lekat.
Tekanan psikis dapat berupa kebiasaan dalam masyarakat, larangan, kisah fiktif, legenda, sejarah, ajaran atau apa pun yang sama sekali di luar nalar korban.
Kata kuncinya adalah “ketakutan” yang terus menghantui korban. Semakin lama dan semakin berat tekanan yang diderita, semakin cepat sindrom muncul dengan kadar yang semakin kental.
Kata kunci kedua adalah “sandera”.
Sering “ketakutan” menjadikan seseorang (seolah) tersandera. Melepaskan diri dari penyanderaan fisik atau psikis adalah jalan terbaik. Memang, tak semudah diucapkan.
Bisa dibayangkan betapa parahnya sindrom yang muncul bila tekanan itu dialami sejak kecil. Apalagi bila diperparah di kala remaja, dewasa sampai usia tua.
Sindrom Stockholm bisa reda bila sang korban berusaha “melupakan” ketakutan atau trauma masa lalu.
Akal-sehat yang rasional dan realistis dapat membantu menghilangkannya. Percaya pada “konon” atau “katanya” tanpa reserve justru melanggengkannya.
Mudah mengatakan, sulit melakukan.
Prasetyo dan korban sindrom ini bagai telor di ujung tanduk. Tak ada jalan keluar yang nampak di pelupuk mata.
Akal-sehat menjadi kunci utama. Ia adalah hadiah agung dariNya untuk manusia. Karena itu, gunakan terus akal-sehat sampai titik terjauh.
Sampai menyerah karena tak mampu lagi melanjutkan untuk berpikir. Tak mau menggunakan akal-sehat semata-mata karena takut salah adalah langkah yang kontra produktif.
“Common sense is the genius of humanity”. (Johann Wolfgang von Goethe – novelis, sastrawan, humanis, ilmuwan, dan filsuf Jerman, 1749-1832)
@pmsusbandono
30 Oktober 2021