BOCAH berusia 11 tahun yang bernama Mark Sway (Brad Renfro) adalah sosok anak tipikal ‘pecah’ kepribadiannya lantaran di dalam keluarganya tidak atau jarang mengalami kasih. Bersama adiknya yang bernama Ricky, sejak umur dini ia tak pernah merasakan sentuhan kasih seorang bapak lantaran ayah kandungnya telah menceraikan ibunya. Kemiskinan membawa keluarga muda single mother ini hidup seadanya di sebuah kabin mobil trailer.
Karenanya, menjadi mahfum bahwa sejak kecil kedua abang-adik itu sudah mengakrabi rokok, suka diam-diam ‘mencuri’ kesempatan, dan menjadi terbiasa memaki-maki atau bersuara lantang menunjukkan emosinya yang meletup-letup. Pun pula, ibu kandungnya Dianne Sway (Mary-Louise Parker) juga hanya bisa mengisi hari-harinya dengan kesepian dan ketidakpastian dalam hal pekerjaan.
Diincar mafia
Perjumpaan tak sengaja Mark dan Ricky menyaksikan aksi bunuh diri Jerome “Romey” Clifford membuat perjalanan hidup kedua bocah malang ini menjadi ‘bulan-bulanan’ polisi, FBI, dan jaksa penuntut. Ia menjadi saksi kunci atas tewasnya penasehat hukum untuk kelompok jaringan mafia pimpinan Johnny Sulari.
Kematian pengacara mafia ini menyimpan misteri, karena dia menjadi satu-satunya saksi atas terbunuhnya seorang Senator asal Louisiana dan kunci untuk meretas informasi mengetahui dimana jasadnya telah dikuburkan oleh Barry “The Blade” Muldano (Anthony LaPaglia), kemenakan langsung Sulari.
Berada di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat. Inilah ‘nasib sial’ yang membawa Mark berurusan dengan mafia, polisi korup, dan jaksa penuntut “Reverend” Roy Foltrigg (Tommy Lee Jones) yang berambisi mendongkrak pamornya sebagai politisi.
Pengacara penuh kasih
Pada titik singgung inilah, Mark berkenalan dengan Regina “Reggie” Love (Susan Sarandon), seorang pengacara sukses yang meretas hidup baru setelah dirinya dibekap sejarah kelam sebagai pecandu narkoba. Susah bagi Reggie di awal kisah ini untuk mencoba ‘mengalahkan’ dan merebut hati Mark sampai akhirnya di ujung cerita, ia berhasil menyuntikkan benih-benih kasih kepada anak nakal dan kasar dalam perkataan dan pembawaannya ini.
Film The Client adalah produksi lawas di tahun 1994 yang ikut melambungkan nama Susan Sarandon sebagai calon penerima Academy Award untuk kategori pemeran utama perempuan. Meski Ocar sebagai best female actress tidak kesampaian, namun berkat The Client besutan sutradara Joel Schumacher ia berhasil mendapatkan penghargaan lainnya.
Film ini memang bicara tentang rumitnya dunia bukti-bukti forensik untuk memastikan sebuah kejahatan telah terjadi. Dan untuk hal ini, acting menawan Tommy Lee Jones dan Susan Sarandon layak mendapat pujian. Namun, bagi penulis The Client lebih nges lagi kalau gambar sorot ini ditinjau dari perspektif problem keluarga modern dimana anak-anak tidak atau jarang mendapatkan dan mengalami sentuhan kasih dari kedua orangtuanya.
Pentingnya pengalaman dicintai
Dan Mark Sway adalah contohnya. Perilaku brangasan (kasar) dan kosa kata kotor yang selalu keluar dari mulutnya itu jelas ‘buah’ dari ketiadaan cinta di keluarga tersebut. Untunglah, masuk ke relung hati Mark sapaan penuh kasih dari Reggie yang dalam hidupnya sendiri belajar memperbaiki hidup dari kegagalannya.
The Client, meski film produk lawas, kiranya bisa memberi gambaran nyata bahwa problem psikis anak-anak itu sering kali muncul bukan atas ‘kehendak’ mereka sendiri. Melainkan, rasanya lebih tepat menyebutnya sebagai efek reaksioner anak-anak ketika ‘hak mereka untuk dicintai’ oleh anggota keluarganya ternyata membentur tembok.
