The New Normal is Coming

0
502 views
Panduan New Normal by Warta Kota

“CONSTANT transformation is the new normal”.

Itu ucapan Scott Anthony, penulis buku-buku bisnis yang sedang trending. Salah satu bukunya yang laris-manis adalah The Little Black Book of Innovation.

Apa “the new normal” itu? Mengapa hal yang sudah normal menjadi baru?

Banyak orang tak paham.  aya salah satu di antaranya.

Untuk lebih afdol, simak cerita seorang kawan lama saya yang baru saja pensiun. Puterinya, Sarah, lulus sarjana Strata-2 dari luar-negeri, dengan predikat cum laude, akan bekerja kembali di kantor. 

Work from Home hampir tiga bulan, sudah berakhir. Awal pekan ini masa transisi harus mulai dijalankannya.

Sarah bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi di kantornya nanti. Bagaimana tata cara kerja baru, selain mengikuti protokol kesehatan? Apakah proses-bisnis berjalan  seperti sebelum masa pandemi Covid-19?

Sarah berangkat kantor dengan was-was. Ketidakpastian menghadang di depannya.

Hanya dalam waktu tiga bulan, business environment berubah drastis. Ekonomi bergejolak kencang. Harga minyak terjun bebas. Pasar tak bisa diprediksi. Tatanan sosial gonjang-ganjing.

Bahkan perilaku individu bergoyang kesana-kemari. Semuanya dengan massif dan kecepatan tinggi. Apakah bisnis akan berjalan as usual? Dugaan saya, tidak.

Visi dan misi organisasi, kalau pun akan ditinjau ulang, tak akan bisa segera dilakukan. 

Yang paling mendesak adalah penyesuaian kapasitas organisasi jangka pendek.  Mungkin sampai tahun depan.  Pertama-tama “goal and objective” yang di-set tahun lalu, perlu direvisi besar-besaran.

Ada dua hal penting yang harus diselamatkan. 

Pertama adalah organisasi, dan yang kedua adalah people (SDM).  Sedapat mungkin bisnis harus bertahan (survive). Sedapat mungkin SDM tetap bersama dan di dalam organisasi. Ini mencegah daya beli bangsa jatuh bebas.

Kombinasi  ideal yang tak mudah dipasangkan. Sering tak dapat dengan harmonis diselaraskan.

Bila ingin perusahaan tetap eksis, organisasi dirampingkan, karena kapasitas turun. Dus, kualitas dan kuantitas SDM harus disesuaikan. Logika yang dengan mudah dicerna akal-sehat.

Sebelum kompromi dilakukan, simak saran Jim Hemerling, Managing Director & Senior Partner at Boston Consulting Group. “Leaders need to focus on putting people first.”

Diambil dari pengalaman beberapa kali  menghadapi krisis di masa lalu, plus teori-teori yang berhasil diadaptasi, beberapa langkah bisa dilakukan, setelah “Goal and Objective” yang “baru” berhasil disusun.

Pertama, buat organisasi “baru” yang streamline. Prinsip efektivitas harus diutamakan. Struktur organisasi yang memberi kesempatan anggota-anggotanya berkontribusi, berkembang dan beraktualisasi diri, dengan recognition yang proporsional.

Jangan lupa, organisasi adalah media subur untuk membentuk SDM yang align dengan budaya organisasi.

Kedua, susun kembali proses-bisnis yang baru. Semua tata cara kerja hampir pasti berubah. SOP dan sistem mengikutinya. Penyusunannya tidak sederhana. Pelaku pembuatan proses-bisnis harus berpengalaman dan smart, karena bisa kompleks dan taut-menaut. Banyak cara kerja yang berubah.

Langkah ini kritikal. Sistem akan membentuk perilaku dan habit SDM di masa depan. “Systems create culture”.

Ketiga, alokasikan sumber-daya (resources) yang tersedia. Termasuk  sumber daya manusia, yang berkaitan dengan langkah pertama. Penggunaan sumber daya harus minimal, dengan peningkatan nilai-tambah yang maksimal.

Penggunaan sumber daya lebih dari level minimalnya akan menjadi waste.

Ketiga hal di atas sama pentingnya dan saling bertautan. Absen salah satu diantaranya (apalagi lebih) membuat perjalanan transformasi berantakan.

Kembali ke nasib Sarah. Moga-moga dia tidak kaget ketika perusahaannya berhasil menyusun dan menerapkan ketiga langkah di atas. Proses yang awalnya aneh, makin lama makin wajar.

Yang ganjil menjadi genap. Yang normal menjadi normal-baru. Tentu tak bisa “sak deg sak nyet”. Semuanya berproses, meski kecepatan menjadi faktor utama.

Jangan lupa, norma-baru ini tak akan lama. Ia akan segera berubah menjadi “normal”, dan “normal-baru” yang baru akan segera lahir kembali.

Kata kuncinya bukan lagi optimalisasi atau ekspansi. Bukan lagi kenaikan produksi atau efisiensi. Bukan lagi target yang harus terpenuhi seperti zaman revolusi industri. Tapi, setiap insan organisasi harus  mencari terobosan yang berbeda, sekaligus lebih baik, secara terus menerus.

“I told the audience my belief is that the era of optimization, the era of disciplined expansion is dead.

Success now requires not just doing it better, but mastering the ability to do it differently.” (Scott Anthony).

@pmsusbandono 15 Juni 2020    

                 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here